Reading
Pagi dengan matahari di pukul 8.00. matahari lancang masuk dicelah pori kamar. Memaksa mata ini untuk menyapanya. Membangkitkan malas dengan tegaknya punggung yang masih menempeli bantal. Aroma dapur dan jelaganya bertarung masuk berhimpitan dengan saliva hangat kemarin malam.
Saya beranjak menuju dapur. Membuka kulkas berharap ada
nyawa disitu, tak ada. Segera berganti ke meja makan, tak bertenaga. Duduk membayang,
di antara anak tangga dengan bekas dingin tadi malam, membayangkan kehangatan. Beranjak
takut terjadi lapar.
Jreess, bergesek petikan korek api menyalakan sumbu-sumbu
kompor, ya kompor minyak dengan harga yang melangit saat ini. Sabar menyentuhkan
tiap sumbu dengan anak api satu persatu dengan santun. Sampai semua menyala
menjadi api yang biru. Nesting bundar beli di loak’an penampung air untuk
segera duduk diperapian. Mendidihkan air dengan sabar hampir seperempat jam. Gelas
ukuran enamratus mili ku siapkan, kopi tumbukan nenek kemarin sore juga sudah
didepan tangan, tujuh sendok kecil dan tiga setengah sendok kecil telah masuk
di gelas, tapi air di perapian tak kunjung matang. Melamun dengan manyun.
Pagi ini tak buta.
Ceess, suara air bersentuhan dengan dinding nesting yang
panas. Didihan menggelembungkan sisi air yang bening itu. Kumatikan dengan
memutar kearah kiri jarum jam, serentak tiap sumbu memendek kearah dalam. Api yang
sebelumnya biru menjadi merah,kuning , lalu padam. Nesting berisikan air didih
yang mengepul karena panas siap bercampur di butiran kopi dan gula di gelas
enamratus mili-ku. Ces, suara pertemuan ketiga benda itu. Membuat saliva hangat
menjadi bisu.
Bening lalu menghitam, pekat seperti ceritaku kemarin malam.
Hening kemudian kelam, sama seperti kening yang mulai menghitam. Karena sujudku
disetiap malam.
Kuaduk empatpuluh kali sebagai penghormatan untuk angka
empat dan rasa mampat yang pernah terucap.
Satu titik berputar karena adukan, tik tik tik, suara manis
dinding gelas bersentuh dengan sendok pengaduk dengan genit. Tujuh sendok tiga
setengah gula, perasaan pagi setengah lupa. Duh..
Terlanjur bercampur dan memahit. Pantang untuk menjadikan
manis. Apa adanya pahit. Tujuh sendok tiga setengah gula, tujuh untuk kopi,
tiga setengah untuk gula.
Memang kopi harus pahit, karena manis itu gula. Tujuh sendok
tiga setengah gula, aku setuju, setengah lupa. Tak mengapa, karena pagi tak
buta. Banyak kata untuk pagi. Mungkin saat ini pagi sepi. Apalagi katamu september
terbenci. Mungkin kau tak mengenal kopi lagi. Kau mulai sombong dengan sepi. Kau
sudah lupa rasanya pahit. Kau terkelilingi semut yang menjelma imut. Mengerubutimu
dengan pulut. Mungkin juga kau seperti selaput, yang hampirku renggut tapi
terlalu jemawut hingga semrawut.
Tujuh sendok tiga setengah gula. Aku setuju, juga lupa.
Ternyata gula-gula telah lusa. Sekarang kopi yang pahit
meggigit sengit. Sudah aku seruput. Rasanya juga pahit.
Sudahlah aku memang sengit, jangan kau ingat lagi pahit. Sekarang
aku sedang duduk diantara celah pintu. Di depanku sekarang banyak yang aku
tonton, kamu, mungkin juga hawa, dan adam, mungkin juga setan yang jadi
pengganggu mereka. Aku sekarang lagi asyik, asyik dengan sepi dan juga pahit. Mungkin
gula nanti, biar nanti kuambil sendiri. Jangan kau meminta, aku yang merakit. Meski
awal ini pahit, ada juga yang manis. Semanis senyum kecil yang kau kalungkan
kemarin sore.
Kopi ini hampir habis. Dan tujuh sendok tiga setengah gula
tidak akan kulupa. Dan sebelum aku beranjak, “seandainya kopi ini gulanya
terlalu banyak”. Aku akan tamak, aku tak bertemu sepi, apalagi pahit.
(Aku menulis dengan berteman: Hiroko Kokubu – Eternity)