Bakso, Baju Olah Raga, dan Dimana Kamu Sekarang?



Kadang kamu bisa begitu kagum dengan bagaimana sebuah kenangan datang dan membuat sisa harimu berakhir. Tentang perasaan-perasaan sentimentil yang kamu kira telah hilang, tentang kerinduan-kerinduan klise yang terlampau murahan untuk diingat, tapi kamu mengingatnya dengan detil-detil yang begitu jelas. Kamu lantas terdiam, menyadari betapa waktu berlalu begitu cepat, dan kesibukan-kesibukan kita untuk hidup, pelan-pelan, telah membuat kita menjadi robot yang melupakan sisi kemanusiaan kita.

Ingatan itu sederhana. Tentang kamu yang menempuh jalan belasan kilometer, dengan sepeda minyak, menelusuri pohon-pohon asam sepanjang jalan, di tengah malam. Hanya untuk mengirim pesan kepada pria yang kamu sukai. "Selamat ulang tahun, coba tengok ke luar jendela," meski pada akhirnya kamu mesti ditampar kenyataan bahwa pria yang kamu sukai sudah tidur, dan ia tidak menyukai hal-hal, yang kau kira, romantis semacam ini. Tapi bukankah ini yang membuat kita hidup? Tentang memenuhi ekspektasi-ekspektasi diri, meski kemudian dihadapkan dengan kegagalan, tapi kita tak pernah menyesal. Kita tahu hasilnya, kita pernah mencoba.

Kamu masih di sini, di satu waktu dimana masa depan masih terlampau jauh, dan masa lalu berada di ujung belokan tadi. Mengingat bagaimana kamu berkejaran dengan waktu, menggunakan jam peralihan kelas, pura-pura sakit perut hanya untuk mencari momen melihat pria yang kamu suka di lorong jalan sekolah. Ia dengan seragam olah raganya yang kebesaran, senyum canggung dan alis mata yang tebal. Saat itu, kamu merasa jantungmu akan meledak, lalu menjalani sisa hari di sekolah dengan senyuman paling bodoh yang bisa kamu buat.

Kenangan itu adalah semangkuk mia ayam atau bakso. Di tengah hujan, sepulang sekolah, bersama seseorang yang kamu sukai. Ia yang tak pernah berani kamu ajak bicara, namun saat itu, pada momen itu saja, tuhan begitu murah hati padamu. Ia mempertemukan seseorang yang kau kira belahan jiwamu, tengah terjebak hujan di sebuah warung mi bakso. Bersamanya kamu akhirnya memutuskan untuk berani bicara. Sepotong kata "halo," yang akhirnya membuat kalian kemudian dekat, selamanya, meski bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai seseorang yang lebih mengerti daripada seorang sahabat.

Mungkin kamu hanya ingin kembali ke masa itu. Ketika kamu tak perlu pusing perihal hutang, ketika kamu tak perlu tertekan memikirkan cicilan. Masa masa di mana kamu hanya memikirkan dia yang kamu sukai. Masa ketika kamu masih menjadi manusia.

Memang benar, cinta memang tak pernah tepat waktu.

Pasang Iklanmu di sini