5 min Reading
Add Comment
Ceritanya pada Sabtu sore. Tepat saat saya sedang libur kerja. Kawan
saya: Hasan, yang sering saya panggil “Cepung” mengajak untuk bertemu di sebuah
kedai kopi ternama di Surabaya.
ngomel
Sedikit cerita tentang Hasan. Ia adalah adik angkatan saat kami
masih kuliah, ia satu tingkat di bawah saya. Ia bisa berbangga menjadi Alumni
sosiologi dengan predikat terbaik. Ia sekarang menjadi pemilik empat kedai
pulsa yang tersebar di kabupaten Gersik. Waow? Itu belum cukup. Sekarang ia
sedang meneruskan studi di salah satu Universitas Swasta termuka di Surabaya, ia
mengambil program pasca sarjana bidang Manajemen Bisnis dan Kewirausahaan.
Latar belakang Hasan adalah anak dari salah satu pengasuh bimbingan haji dan
umroh yang cukup terkemuka di Kabupaten Gersik. Sepertinya ia akan menjadi
kandidat kuat untuk meneruskan usaha bimbingan haji dan umroh milik orang
tuanya.
Tapi di depan saya, Hasan tidak lebih dari seorang pemuda yang
kesepian, butuh pelukan dan juga perhatian lawan jenis. Walaupun ia sangat pintar
menutupinya dengan gaya bicaranya yang sok ketuaan. Mengingatkan saya pada Kakek
dari adik Nenek saya: Mbah Prawoto. Tertata, dan mempunyai tekanan disetiap
kalimat.
Sampai saya menulisnya di sini, Hasan adalah salah satu kawan
terbaik saya untuk berbagi cerita mengenai kewirausahaan. Mengingat Hasan
sekarang adalah pelaku bisnis, membuat saya tidak ragu untuk bercerita dan
meminta pendapatnya. Dua puluh karyawan yang bekerja di kedai seluler miliknya
membuat ruang tersendiri bagi saya untuk meminta saran mengenai rancangan usaha
yang telah saya siapkan. Saya rasa, pilihan yang pas untuk memilih Hasan
sebagai lawan tanding obrolan kami sembari menikmati kopi sore itu.
***
Ijinkan saya sedikit bercerita mengenai pekerjaan saya. Saat ini
saya merupakan bagian penting dari perusahaan tempat dimana saya bekerja. Saya
mengawali pekerjaan di tiga bulan pertama sebagai staf ticketing dan tours
sebelum saya diangkat menjadi hotel chief
operation di bulan kedelapan saya bekerja, pekerjaan harian saya pada waktu
itu meliputi penanganan permintaan pelanggan perusahaan dalam urusan penjualan elektronic airlines ticket, dan penjulan
voucher hotel. Untuk pekerjaan lain,
saya bertanggung jawab sebagai pembuatan sales
order untuk berbagai program tour
wisata domestik dan internasional. Secara khusus bertanggung jawab membuat
paket wisata domestik di Jawa Timur untuk lingkup adventure dan special
interest. Sangat menarik untuk berada di posisi ini. Berkomunikasi dengan
banyak orang, dan menjadi garda depan perusahaan dalam kemitraan dan penjualan.
Banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di posisi ini.
Namun ada sisi yang membuat saya teramat jengkel, dan pingin
muntah-muntah. Terutama untuk pembuatan dan perancangan paket wisata. Dulu saat
saya belum bekerja di posisi ini, saya pernah mengkultuskan diri bahwa, lawannya
backpacker adalah travel agen! Saya
beranggapan bahwa jalan-jalan itu gak perlu mahal, semua bisa mudah dan murah. Hal
ini belum berlaku sebelum saya masuk di dunia travel agen. Namun sekarang, berbalik.
Saya harus menerima kenyataan bahwa saat ini saya adalah komponen penting pada
sistem penyelia jasa agen wisata. Saya harus merancang sematang mungkin paket
wisata orang lain, menentukan harga untuk setiap komponen wisata yang saya
sendiri pun terkadang belum tentu bisa mengunjunginya.
Sudah mendekati satu tahun saya berada di sistem ini, sedikit demi
sedikit saya memahami sistem di dunia penyelia jasa wisata. Bahwa bisnis ini
tidak luput dengan kepercayaan, pelayanan, dan juga penghargaan kepada sang
pelanggan.
Bisnis penyelia jasa wisata, ibarat angin. Bisa sepoi-sepoi, bisa
juga seperti badai. Bahkan, bisa jadi tidak ada angin yang berhembus sama
sekali. Inovasi dan kreatifitas pelaku bisnis adalah materi penting bagi sang
penyelia untuk mengatur ritme angin permintaan dari pelanggan. Seperti kondisi
pada awal bulan di tahun ini misalnya, kami menyebutnya low season. Permintaan akan paket wisata masih sepoi-sepoi, namun
tekanan dari pemilik dan pemegang saham di perusahaan kami sebaliknya. Tiada
hari tanpa omelan dan tekanan. Terkadang kefokusan karyawan menjadi bias,
pimpinan terkesan seenaknya sendiri dalam memberikan intruksi. Alhasil,
beberapa karyawan mengeluh dengan dalil: “Besar
permintaan, gaji pun kian tertahan.”
***
Saya di hadapan Hasan adalah kategori karyawan bandel, menurutnya.
Penuh provokasi yang meluap-luap. Begitu pun saat saya bercerita mengenai
kondisi yang saya alami di pekerjaan saya. Namun, sore itu Hasan bisa jadi
sedikit terbuka dan memahami mengenai kondisi karyawan pada umumnya. Bisa jadi
pemilik perusahaan seperti Hasan, juga harus mendengar kondisi karyawannya di
kedai kopi.
Setelah obrolan kami panjang lebar mengenai usaha yang akan saya
wujudkan. Saya mencoba menanyakan beberapa hal kepada Hasan. Saya bertanya
kepada Hasan:
“Bagaimana jika saya keluar dari pekerjaan saya saat ini yang
teramat membosankan, persetan dengan Bos yang seenaknya sendiri mengatur
karyawan. Mungkin inilah waktunya untuk memulai usaha saya sendiri?”
Hasan tersenyum kepada saya. Kemudian berkata kepada saya, dengan
gayanya yang mirip sekali dengan kakek saya. Ah dasar, plagiat!
“Kamu memilih menjadi ekor Naga, atau kepala Cicak?”
“Berada di belakang Naga dengan tangkapan luar biasa besar, namun
kamu selalu di belakang sebagai ekor. Atau menjadi kepala Cicak? Menangkap yang
kecil, namun kamulah kepalanya.”
Saya dibuat diam untuk memikirkan perkataannya.
Saya masih terdiam memikirkan perkataannya sembari melihat ke
langit-langit di kedai kopi sore itu yang mulai berwarna keemasan sambil
menyalakan rokok.
“Aduh, sepertinya saya butuh kopi lagi!”
“Hasan Asu!”
0 komentar:
Posting Komentar