Reading
Ketika di penghujung Ramadhan, dimalam 25 masihku setia
mencari apa itu kenyamanan. Dengan berbekal kemeja hitam berbalut ikat sarung putih
yang semakin kencang saat kumulai takbir untuk shalat malam, dan bertasbih memunajatkan
batin untuk sebuah hajat yang memang benar-benar ghaib. Pertanyaan batin saat
memulai ini, selalu menderu dengan beku: Apa yang kau cari?
Keadaan kita memang terpaksa, dan harus semakin dipaksa. Untuk jadi bisa!
Salah seorang kawan lama dengan segala perangainya berucap
banyak kata, tapi beberapa kalimat lugas dengan kesederhanaannya menyadarkan. “Apa
yang dibicarakan manusia ya itu-itu saja, Bro!”. Beberapa hal saya sepakat
untuk ini, ini bisa kita lihat dan amati. Berapa banyak sudah gerai kopi dan
tempat ang-“kringan” sekarang yang merebak layaknya gerai-gerai elektronik
macam hape-oriental. Warung-warung mulai kelas luwak, sampe pangku pun ada di
kota ini, semua mengikuti pola jaman. Memang saya akui bagaimana pengaruhnya
bagi kita, rekreasi dan relaksasi yang kita ambil dari tempat semacam itu punya
pengaruh bagi kita. Seperti dalam buku self discovery memanfaatkan waktu
senggang, selain dengan meditasi kita juga dapat melakukan diskusi dengan
relaks, dimana? dimanapun.
Tradisi jeda sejenak yang biasa dilakukan orang dalam ritual ‘medang’ nya orang jawa, yang terkesan membuang-buang waktu dan malas, sebenarnya merupakan cara meditatif dan refleksi serta pengaktifan sistem penyembuhan mandiri secara tersamar... – AM Rukky Santoso –
Kebiasaan ini memang sedikit banyak terpengaruh di bulan ini
(ramadhan), saya paksa dengan biasa untuk merubah nokturnal dan se nokturnal
mungkin. Merubah kenyamanan yang selama sebelas bulan saya lalui, mungkin
beberapa malam dan hampir tanpa jeda, sebelum bertemu ramadhan, mimpi akan
kematian itu selalu lambat dan halus berselimut saat mulai memejam dan melarut.
Tuhan masih sayang padaku.
Bertemunya ramadhan 1433 H, syukur yang tiada dua. Ini
jawaban secara tak langsung yang Tuhan beri. Tuhan itu Ahad.
Terinspirasi dari beberapa teman yang jadi pengikut di
timeline, dan beberapa teman yang cukup membuat geregetan saat bercengkrama
dengan sebatang, dua batang tembakau instant dengan candaan muda-mudi kampus. Dengan
mereka sadari atau bahkan tidak, mereka membuat perubahan terhadap saya, hampir
disemua lini mereka masuk dan menjelma bawah sadar. Ditambah lagi perjalanan
romansa bocah yang beranjak gede, dengan upaya pemenuhan martabat dengan pencantuman
simbol update waktu itu, membuat labirin pemikiran ini jadi berontak. Memang setiap
perjumpaan ada pengakhiran, di setiap permasalahan ada beberapa opsi jawaban,
yang logis dan tak logis.
Melepas obrolan yang itu-itu saja, saya kembali menuruni
tangga masjid malam itu untuk mengambil wudhu, membasuh dengan rukunnya,
sembari berdoa. Malam itu cukup dingin dengan tiupan angin malam tengah kota,
sayup-sayup menghantarkan alunan merdu bacaan tasbih dan tahmit. Mulai memasuki
masjid beberapa lampu seperti macam lampu sorot panggung, yang membedakan ini
di dalam masjid yang sangat luas. Sambutan bacaan tartil Al-Quran, membuat
langkah kaki membeku dan keru.
Tuhan masih sayang padaku.
Dibeberapa sujudku untukNya, aku berdoa, dan menanyakan
dimanakah Engkau? Aku berusaha membatin dengan lirih menyebut dan memujiNya. Mengingat
apa yang salah dalam sebuah perjalanan hidup? Mengingat kembali perjalanan
dosa, yang banyak merugi dan menyakiti teman dan semua orang yang dekat kala
itu.
Tuhan masih sayang padaku.
Berada di kesembilan sujudku waktu itu, aku masih belum bisa
menangis. Aku menanyakan apakah ini kenyamanan hidup? Dengan semua berkah, yang
melupakan tanggung jawab dan bakti terhadap orang tua. Aku terus menanyakan itu
padaNya. Sampe pada suara keheningan masuk melalui celah rumah siput telingaku,
berbunyi dantum “ngiiing”, masih keras hati ini untuk menangis. Apakah masih
sombong batin ini untuk mengiba dan meminta. Walaupun kau nyaman, kau tak harus
sombong.
Tuhan masih sayang padaku.
Aku merasakan sakit disekitaran kening, yang semakin ku coba
lama untuk sujud dan berdoa. Terus menanyakan apa itu kenyamanan? Apakah yang
sama seperti saat wanitaku, berucap perkara kenyamanan dan aku hanya bisa diam.
Dan beberapa karib menyebutkan kenyamanan adalah proses yang membuat kita semua
ini bahagia dan tak ingin melepaskannya? Apakah sama halnya juga yang berkesan
dari konsep kenyamanan yang semua orang sebutkan. Kenyamanan, kenyamanan, yang
kau sendiri akan terbunuh olehnya.
Masih ingat dengan dalam, dulu saat wanitaku berbicara
tentang konsep kenyamanan. Yang merubah dan berpola seperti gelombang bheta,
theta, dan alpha. Mereka pikir ini masalah waktu? Dan beberapa hal yang menurut
mereka pantas dan tak pantas untuk diperjuangkan?
Karena Tuhan masih sayang padaku.
Aku coba didewasakan dengan keadaan, dengan beberapa
perjalanan untuk semakin menguatkan dan menemukan cara bagaimana bangkit saat
kau terlalu lama terduduk. Aku tau, Tuhan membuat jeda untukku. Untuk terasing,
dan diam sejenak. Mengibaratkan puasa sebagai perjalanan kembali dan berhenti
secara pribadi. Merenung menapaki arti dari apa yang kalian sebut dari
kenyamanan itu.
Tiada Tuhan selain Allah,
Karena ini aku bersujud, semakin bergegas untuk keluar dari
zona nyaman yang kubuat sendiri. Butuh keberanian untuk memastikan, butuh
kekuatan untuk melupakan, butuh diri untuk menapaki dan menggengam apa itu
ketakutan. Biarlah kau tau bahwa semakin lama kening ini memucat, kering, lalu
menghitam. Semua kudedikasikan untuk Tuhanku, dan Agamaku. Untuk semua dosa dan
kepalsuan itu. Biarkan kening ini sebagai pertanda, bahwa kenyamanan itu tak
ada, yang ada adalah perjuangan, dan pengharapan untukmu dan anak turunmu kelak,
bahwa kau adalah manusia anti kenyamanan!
Masih berani kau sebut ini kenyamanan?