Reading
1 Comment
![]() |
by_prie610 |
Awal Agustus dan dipertengahan Ramadhan 1433 H. Dimana momen
yang ditunggu mayarakat Indonesia, di dua momen ini. Jalanan mulai ramai dengan
semarak pedagang dan pikuknya sore menjelang berbuka. Dibagian lain,
umbul-umbul dengan dua warna yang menjadi kebesaran Negara dan rakyatnya mulai
tegak dan berlambai di udara, ‘merah-putih’ menghiasi disetiap sudut kota,
desa, dan teras rumah. Perlombaan sedang dimulai, menjadikan persiapan untuk
dua momentum sakral menjadi hiruk dan pikuk. Sisi religi yang santun sudah
mulai matang mencari apa itu arti malam seribu bulan, dan secara rutin
menyiapkan takjil disetiap surau sederhana. Sisi nasionalis bergerak perlahan
dan mulai berbenah menapaki angka 67 yang sudah mulai usang menganggap biasa
arti dari kemerdekaan.
Nasionalis 8 tahun silam
Mulai
memutar waktu saat Agustus tiba di 15 tahun lalu, merasa berbeda dengan saat
ini. Entah apa yang membuat sakral ini berbeda? Apa jamannya sudah berubah
seiring naiknya harga cabe dan kedelai yang membuat sedap warung pojok ‘penyetan’
pinggir kampus menjadi sepi perkara tempe yang kian menipis dan sambal mulai
encer dan tak garang lagi?. Masih jelas teringat saat menyambut peringatan ‘17an’,
eksistesi seorang bocah umur 8 tahun seperti saya dipertaruhkan, dengan
mengikuti macam lomba mulai dari makan krupuk ‘mlempem’ sampai gigit koin bekas
keringat om-om karang taruna. Tapi semua itu ikhlas saya lakukan untuk ‘ngabdi’
ke-Negara menunjukkan kalau saya bocah umur 8 tahun adalah warga negara
Indonesia dan harus diakui dengan menyambut perayaan kemerdekaan.
Religius 8 tahun silam
Delapan tahun lalu dengan momentum ramadhan, warnai baju
muslim dan sarung tenun dengan noda bekas jajanan takjil khas surau, tak
mengurangi ke-khusukan shalat jama’ah. Merasa bangga dan ter-eksistensi menjadi
bagian penting dari gerombolan anak-anak penabuh panci Ibu untuk mengelilingi
komplek perumahan membangunkan telinga dan mata penghuni komplek dengan
teriakan ‘Sahuuuurrr’, oh seribu Bulan! Dimanakah kau kini?.
Nasionalis dan religi bertunang di 2012
Momentum
besar dan sakral bersua di tahun ini, berbeda?, jelas. Mengapa demikian? Melihat
lingkungan sekitar tinggal kita, bagaimana momentum berubah menjadi ‘kikis’ dan
tak lagi syahdu seperti 8 tahun lalu. Siapa yang merubah? Masyarakat sendiri
secara tak langsung secara sadar dan tak-sadar menggeser dan mencampurkan
beberapa hal menjadi bagian yang ‘aneh’ menjadi biasa. Karena apa? Karena kita melakukan
dengan berkala dan terbiasa dan mem-budaya. Secara jujur kita temui saat ini
beberapa hal yang tidak kita jumpai beberapa tahun silam, Terasa biasa? Sangat biasa
dan mewajar.
Lalu bagaimana
kita menyikapi dua pertemuan momentum ini. Jika kita menilik-balik sejarah yang
menjadi mata ajar sekolah dasar waktu itu. Momentum prosesi kemerdekaan
Indonesia 1945 juga membawa semangat ramadhan sebagai perjuangan bangsa meraih
pengakuan dan perlombaan diri menjadi kesatuan yang utuh. Ibarat bertunangan,
memadukan dua pribadi beriringan mengenal dan menyatukan menjadi ikatan yang
utuh dengan semangat perjuangan.
Kita diibaratkan sebagai kolega dari ‘ramadhan’ dan
peringatan ‘kemerdekaan’ yang akan melangsungkan pertemuan di tahun ini, se-layak-nya
ikut berpartisipasi dengan semangat perjuangan karena kita menjadi bagian dari
sejarah bertemunya momentum ramadhan dan kemerdekaan menjadi kesatuan sejarah (lagi).
Kalau bukan kita yang menyemarakkan, lalu siapa lagi?.
1 komentar
momentum yang terulang, tapi dengan sejarah yang berbeda. jaman yang susah diperpuruk dengan sistem yang ambigu, akar budaya yang tak kuat nopang visi-misi mas. menarik mas gagasannya! inspiratif, lanjutkan.
BalasHapus