7 min Reading
Add Comment
Matahari belum lagi muncul sempurna di
Stasiun Depok, tapi orang-orang telah nampak berkerumun di sepanjang
peron. Ada yang asyik membaca koran pagi, ada yang sibuk memainkan
ponsel, dan tak sedikit pula yang mengangguk-angguk menahan kantuk.
Semua menantikan datangnya kereta listrik yang akan membawa mereka ke
arah Jakarta. Tak lama berselang, sebuah kereta merayap datang dari
arah Citayam. Semua calon penumpang pun berdiri bak menyambut
rombongan pejabat dari pusat. Seluruh kepala menoleh ke arah kanan,
memandang kereta yang telah penuh sesak. Perlahan kereta berhenti,
dan semua yang ada di peron merangsek maju mengerubungi pintu kereta.
Beberapa yang tak sabar segera memanjat ke atas atap kereta, duduk
dan menyalakan rokok. Sementara dua-tiga ibu dan perempuan muda
menatap dengan masygul karena tak mungkin ikut berdesakan atau naik
ke atap.
Kereta pun perlahan beringsut ke arah
Depok Baru, meninggalkan suasana stasiun seperti semula. Sekitar 20
menit kemudian, kereta dari arah Citayam kembali datang dan
pemandangan kembali berulang. Hanya saja kali ini kereta justru
tampak lebih penuh dari sebelumnya. Untunglah, setelah kereta
berhenti, ibu dan perempuan muda yang tadi hanya bisa diam kini sudah
berdesakan masuk dan bergabung berbagi keringat dengan penumpang
lainnya di dalam gerbong. Sebuah pagi yang sibuk.
Tentu saja bukan pengalaman yang
mengenakkan, tapi itulah keseharian para komuter atau biasa disebut
sebagai roker. Penggunaan kereta api sebagai sarana
transportasi memang belum menjadi pilihan favorit bagi masyarakat
Indonesia, karena masih ada anggapan bahwa kereta hanya untuk orang
miskin dan di situ kita tak bisa duduk dengan santai. Padahal
kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Banyak orang-orang
berpenghasilan tinggi justru memilih kereta karena alasan efesiensi
waktu. Menurut Agam Faturrochman, Humas KRL Mania, sebuah komunitas
pengguna kereta listrik Jabodetabek, justru dengan kereta kita bisa
lebih santai. “Dengan kereta listrik kita justru bisa lebih santai
tanpa memikirkan kemacetan dan parkir mobil. Bukankah justru itu
membuat kita jadi lebih santai?”.
Harus diakui, keberadaan kereta listrik
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengurangan
kemacetan yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Secara kapasitas,
kereta mampu mengangkut lebih banyak barang dan penumpang sekali
jalan. Selain itu dengan jalur tersendiri, kereta juga tidak
berurusan langsung dengan jalan raya sehingga tak menambah kemacetan
jalan-kecuali pada lintasan-lintasan tertentu. Angkutan ini relatif
aman, antimacet dan tidak menggunakan banyak lahan. Sayangnya, juga
harus diakui bahwa pelayanan dan manajemen perkeretaan di Indonesia
masih belum seperti diharapkan.
The World We Live: Berniat meningkatkan
kualitas pelayanan, PT KAI/KCJ justru menuai hujan protes. Inti
persoalannya sarana dan manajemen.
SOLUSI BERNAMA “COMMUTER LINE”
Pemerintah sendiri sepertinya juga
memiliki kesadaran akan pentingnya kereta commuter sebagai
solusi atas kemacetan lalu lintas dan pemenuhan kebutuhan
transportasi bagi masyarakat. Lewat PT KRL Commuter Jabodetabek (KCJ)
sebagai BUMN, pemerintah berusaha melakukan pembenahan. Berbekal
studi banding sistem kereta single sevice di negara
tetangga seperrti Thailand, Singapura, dan Malaysia, PT KAI pun
menetapkan kebijakan baru. Konon, PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan
melenyapkan sistem lama dan mendesain sebuah sistem perkeretaapian
baru untuk sebuah tujuan strategis, yakni menjadikan kereta api
sebagai tulang punggung transportasi pada 2019 agar bisa membantu
keredakan kemacetan di Jakarta yang kian semrawut.
Maka, pada 2 Juli 2011, PT Kereta
Commuter Jabodetabek (KCJ) meluncurkan layanan baru Commuter Line
yang juga menjadi akhir dari KRL Ekspres dan KRL AC Ekonomi. Menurut
Corporate Secretary PT KCJ, Makmur Syaheran, Commuter Line merupakan
salah satu bentuk penataan ulang pola operasi, di mana kereta
ditargetkan menjadi tulang punggung transportasi pada tahun 2019. PT
KCJ mengakui ada beberapa penyesuaian yang akan terjadi.
Pengelolaan antara kereta komuter AC
dan ekonomi non-AC pun akan dipisah. PT KCJ akan khusus menangani
kereta komuter AC, sedangkan untuk komuter non-AC yang masih subsidi
oleh pemerintah lewat komitmen Public Service Obligation (PSO)
ditangani langsung oleh PT KAI sebagai induk dari KCJ. “Untuk awal
kita mengubah pola operasi. Semua KA berhenti di setiap stasiun agar
distribusi pelayanan pada penumpang meningkat,” ujar Makmur pada
media pertengahan Juni lalu. Pejabat PT KCJ ini mengungkapkan, semua
kereta memiliki waktu tempuh yang sama sehingga tidak akan ada lagi
susul-menyusul jadwal kereta seperti antara KRL Ekspres, KRL AC
Ekonomi dan KRL Ekonomi.
Makmur juga mengakui mau tidak mau
waktu tempuh jadi bertambah sekitar 15-30 menit jika dibandingkan
dengan KRL Ekspres. “Ini memang mengubah jam biologis penumpang.
Kalau ngurus satu-satu ya susah,” jelasnya. Selain persoalan waktu
tempuh, tarif yang harus dibayar oleh penummpang juga mengalami
perubahan, dari Rp5.500 menjadi Rp7.000 dari Jakarta Kota ke Bogor.
Makmur menambahkan bahwa pembenahan yang dilakukan oleh KCJ juga
menyentuh soal manajemen dan sarana-prasarana.
Namun, sperti biasa, selalu ada pro dan
kontra untuk sesuatu yang baru. Ketika uji coba, Commuter Line banyak
menuai kritikan dari masyarakat. Banyak penumpang yang bingung dengan
istilah Commuter Line dan mempertanyakan hilangnya
pelayanan kereta ekspres yang biasa mereka gunakan. “Memang saya
bingung, kok tahu-tahu kereta ekspres tidak ada dan ada nama kerta
baru yang disebut Commuter Line. Sudah gitu harga tiket juga mendadak
naik drastis, sampai Rp9.000” ujar Solihin, mahasiswa UI yang biasa
menggunakan kereta Jakarta-Bogor.
Minimnya sosialisasi dan informasi saat
dilakukan uji coba juga dikeluhkan oleh para pengguna kereta.
Kebanyakan dari mereka merasa dipermainkan oleh perubahan-perubahan
yang terkesan mendadak tersebut. “Kemarin itu sepertinya kacau
sekali, saya datang ke stasiun dan melihat pengumuman kereta ekpres
tidak ada karena digantikan oleh Commuter Line, harga tiket naik,
jadwal keberangkatan dan kedatangan berubah. Mau naik Commuter Line
belum datang, mau naik kereta ekspres sudah tidak ada. Akhirnya ya
mau enggak mau saya ikuti saja apa yang ada,” keluh Rini, jurnalis
di sebuah harian di Jakarta.
Bahkan jika kita membuka halaman
Facebook KRL Mania, kita bakal menemukan beragam ungkapan kekecewaan
yang disampaikan oleh para roker terkait dengan Commuter Line.
Sama seperti Solihin dan Rini, sebagian besar komentar mengeluhkan
tarif yang naik tanpa disertai perbaikan-perbaikan yang nyata. Bahkan
persoalan lampu di stasiun pun tak luput dari perhatian para roker
yang tergabung dalam komunitas KRL Mania ini. “Seharusnya pihak KCJ
mendengarkan apa yang kita sampaikan, karena bagaimana pun juga kami
ini pengguna kereta yang merasakan bagaimana kualitas pelayanan
mereka,” ujar Agam Fathurrochman.
BUKAN MENOLAK, HANYA MEMPERTANYAKAN
Sebagai komunitasnya pengguna kereta,
tentu saja KRL Mania memperjuangkan kepentingan para pengguna kereta
untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. “Kita bukan menolak
Commuter Line, kita menyadari bahwa tujuannya pasti bagus. Tapi kita
melihat ketidaksiapan baik di manajemen KCJ maupun di sarana dan
prasarana,” ujar Agam.
KRL Mania jurusan serpong ini juga
mengungkap beberapa ketidakberesan yang terkait dengan manajemen KCJ.
“Banyak yang mengeluhkan mereka tidak menerima kembalian secara
utuh karena petugas loket mengaku tak ada receh. Seharusnya petugas
tiket mau mengembalikan uang kembalian sesuai tarif yang berlaku.
Selama ini pelayanan dari KAI/KCJ tidak memuaskan. Berbagai masalah
terus-menerus berlangsung tanpa ada titik terang perbaikan,
keterlambatan, pembatalan kereta, mogok di tengah jalan, pengumuman
yang tidak jelas, fasilitas stasiun yang amburadul, keamanan stasiun
dan KRL,” ungkap Agam.
Sayangnya, menurut Agam, pihak KCJ juga pelit informasi dan terkesan ingin mengatakan, “keputusan sudah kami ambil dan kalian harus terima”. Padahal jika sedari awal ada dialog, mungkin akan ada titik temu sehingga kami tak perlu datang ke Kapolda dan berkirim surat ke Presiden SBY. Ini kami lakukan demi melawan mindset PT KAI/KCJ yang tidak menganggap konsumen sebagai stakeholder utama, jadi tidak menempatkan kepuasan konsumen sebagai hal utama. Mereka malah menuding dana public service obligation (PSO) yang kurang sehingga sulit meningkatkan kualitas” tambah Agam.
Untuk mewujudkan impian transportasi
kereta yang lebih baik, KRL Mania telah mengirimkan surat kepada
Presiden Susilo Yudhoyono agar menambahkan dana subsidi atau PSO
untuk sarana dan pra sarana kereta api ini. “Jadi selama manajemen
dan sarana-prasarananya seperti ini, maka tidak akan berjalan dengan
baik. Masih akan terjadi keterlambatan, kerusakan, gangguan dan lain
hal sebagainya. Persoalan naiknya tarif seharusnya dibarengi dengan
peningkatan kualitas, kami juga sudah mempertanyakan hal tersebut ke
pemerintah.
Hidup di kota besar seperti Jakarta
memang tidak mudah. Bahkan urusan transportasi pun bisa menjadi
sesuatu yang berbelit-belit. Masyarakat menginginkan cepat, murah dan
nyaman sementara PT KAI/KCJ sebagai perusahaan tentu juga
mengharapkan keuntungan. Dan dengan logika “you get what you
pay”, yang diterjemahkan sebagai tarif yang turun, maka jangan
berharap pelayanan dan sarana serta prasarana juga membaik. Tapi
paling tidak, bagi Dewi, seorang penumpang kereta api lain yang
berprofesi sebagai pegawai Bank, “Commuter Line sangat membantu,
jadwal keberangkatannya lebih cepat dan keretanya lebih banyak jadi
mungkin enggak akan sepenuhnya ekspres.” Memang bagi sebagaian
Commuter Line adalah racun, tapi tetap ada juga yang menganggapnya
sebagai madu. Tapi satu hal yang pasti, sepertinya Jakarta masih
sulit keluar dari ersoalan kemacetan.
0 komentar:
Posting Komentar