Commuter line: Madu atau Racun?


Matahari belum lagi muncul sempurna di Stasiun Depok, tapi orang-orang telah nampak berkerumun di sepanjang peron. Ada yang asyik membaca koran pagi, ada yang sibuk memainkan ponsel, dan tak sedikit pula yang mengangguk-angguk menahan kantuk. Semua menantikan datangnya kereta listrik yang akan membawa mereka ke arah Jakarta. Tak lama berselang, sebuah kereta merayap datang dari arah Citayam. Semua calon penumpang pun berdiri bak menyambut rombongan pejabat dari pusat. Seluruh kepala menoleh ke arah kanan, memandang kereta yang telah penuh sesak. Perlahan kereta berhenti, dan semua yang ada di peron merangsek maju mengerubungi pintu kereta. Beberapa yang tak sabar segera memanjat ke atas atap kereta, duduk dan menyalakan rokok. Sementara dua-tiga ibu dan perempuan muda menatap dengan masygul karena tak mungkin ikut berdesakan atau naik ke atap.


Kereta pun perlahan beringsut ke arah Depok Baru, meninggalkan suasana stasiun seperti semula. Sekitar 20 menit kemudian, kereta dari arah Citayam kembali datang dan pemandangan kembali berulang. Hanya saja kali ini kereta justru tampak lebih penuh dari sebelumnya. Untunglah, setelah kereta berhenti, ibu dan perempuan muda yang tadi hanya bisa diam kini sudah berdesakan masuk dan bergabung berbagi keringat dengan penumpang lainnya di dalam gerbong. Sebuah pagi yang sibuk.

Tentu saja bukan pengalaman yang mengenakkan, tapi itulah keseharian para komuter atau biasa disebut sebagai roker. Penggunaan kereta api sebagai sarana transportasi memang belum menjadi pilihan favorit bagi masyarakat Indonesia, karena masih ada anggapan bahwa kereta hanya untuk orang miskin dan di situ kita tak bisa duduk dengan santai. Padahal kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Banyak orang-orang berpenghasilan tinggi justru memilih kereta karena alasan efesiensi waktu. Menurut Agam Faturrochman, Humas KRL Mania, sebuah komunitas pengguna kereta listrik Jabodetabek, justru dengan kereta kita bisa lebih santai. “Dengan kereta listrik kita justru bisa lebih santai tanpa memikirkan kemacetan dan parkir mobil. Bukankah justru itu membuat kita jadi lebih santai?”.

Harus diakui, keberadaan kereta listrik memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengurangan kemacetan yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Secara kapasitas, kereta mampu mengangkut lebih banyak barang dan penumpang sekali jalan. Selain itu dengan jalur tersendiri, kereta juga tidak berurusan langsung dengan jalan raya sehingga tak menambah kemacetan jalan-kecuali pada lintasan-lintasan tertentu. Angkutan ini relatif aman, antimacet dan tidak menggunakan banyak lahan. Sayangnya, juga harus diakui bahwa pelayanan dan manajemen perkeretaan di Indonesia masih belum seperti diharapkan.

The World We Live: Berniat meningkatkan kualitas pelayanan, PT KAI/KCJ justru menuai hujan protes. Inti persoalannya sarana dan manajemen.

SOLUSI BERNAMA “COMMUTER LINE”

Pemerintah sendiri sepertinya juga memiliki kesadaran akan pentingnya kereta commuter sebagai solusi atas kemacetan lalu lintas dan pemenuhan kebutuhan transportasi bagi masyarakat. Lewat PT KRL Commuter Jabodetabek (KCJ) sebagai BUMN, pemerintah berusaha melakukan pembenahan. Berbekal studi banding sistem kereta single sevice di negara tetangga seperrti Thailand, Singapura, dan Malaysia, PT KAI pun menetapkan kebijakan baru. Konon, PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan melenyapkan sistem lama dan mendesain sebuah sistem perkeretaapian baru untuk sebuah tujuan strategis, yakni menjadikan kereta api sebagai tulang punggung transportasi pada 2019 agar bisa membantu keredakan kemacetan di Jakarta yang kian semrawut.

Maka, pada 2 Juli 2011, PT Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ) meluncurkan layanan baru Commuter Line yang juga menjadi akhir dari KRL Ekspres dan KRL AC Ekonomi. Menurut Corporate Secretary PT KCJ, Makmur Syaheran, Commuter Line merupakan salah satu bentuk penataan ulang pola operasi, di mana kereta ditargetkan menjadi tulang punggung transportasi pada tahun 2019. PT KCJ mengakui ada beberapa penyesuaian yang akan terjadi.

Pengelolaan antara kereta komuter AC dan ekonomi non-AC pun akan dipisah. PT KCJ akan khusus menangani kereta komuter AC, sedangkan untuk komuter non-AC yang masih subsidi oleh pemerintah lewat komitmen Public Service Obligation (PSO) ditangani langsung oleh PT KAI sebagai induk dari KCJ. “Untuk awal kita mengubah pola operasi. Semua KA berhenti di setiap stasiun agar distribusi pelayanan pada penumpang meningkat,” ujar Makmur pada media pertengahan Juni lalu. Pejabat PT KCJ ini mengungkapkan, semua kereta memiliki waktu tempuh yang sama sehingga tidak akan ada lagi susul-menyusul jadwal kereta seperti antara KRL Ekspres, KRL AC Ekonomi dan KRL Ekonomi.

Makmur juga mengakui mau tidak mau waktu tempuh jadi bertambah sekitar 15-30 menit jika dibandingkan dengan KRL Ekspres. “Ini memang mengubah jam biologis penumpang. Kalau ngurus satu-satu ya susah,” jelasnya. Selain persoalan waktu tempuh, tarif yang harus dibayar oleh penummpang juga mengalami perubahan, dari Rp5.500 menjadi Rp7.000 dari Jakarta Kota ke Bogor. Makmur menambahkan bahwa pembenahan yang dilakukan oleh KCJ juga menyentuh soal manajemen dan sarana-prasarana.

Namun, sperti biasa, selalu ada pro dan kontra untuk sesuatu yang baru. Ketika uji coba, Commuter Line banyak menuai kritikan dari masyarakat. Banyak penumpang yang bingung dengan istilah Commuter Line dan mempertanyakan hilangnya pelayanan kereta ekspres yang biasa mereka gunakan. “Memang saya bingung, kok tahu-tahu kereta ekspres tidak ada dan ada nama kerta baru yang disebut Commuter Line. Sudah gitu harga tiket juga mendadak naik drastis, sampai Rp9.000” ujar Solihin, mahasiswa UI yang biasa menggunakan kereta Jakarta-Bogor.

Minimnya sosialisasi dan informasi saat dilakukan uji coba juga dikeluhkan oleh para pengguna kereta. Kebanyakan dari mereka merasa dipermainkan oleh perubahan-perubahan yang terkesan mendadak tersebut. “Kemarin itu sepertinya kacau sekali, saya datang ke stasiun dan melihat pengumuman kereta ekpres tidak ada karena digantikan oleh Commuter Line, harga tiket naik, jadwal keberangkatan dan kedatangan berubah. Mau naik Commuter Line belum datang, mau naik kereta ekspres sudah tidak ada. Akhirnya ya mau enggak mau saya ikuti saja apa yang ada,” keluh Rini, jurnalis di sebuah harian di Jakarta.

Bahkan jika kita membuka halaman Facebook KRL Mania, kita bakal menemukan beragam ungkapan kekecewaan yang disampaikan oleh para roker terkait dengan Commuter Line. Sama seperti Solihin dan Rini, sebagian besar komentar mengeluhkan tarif yang naik tanpa disertai perbaikan-perbaikan yang nyata. Bahkan persoalan lampu di stasiun pun tak luput dari perhatian para roker yang tergabung dalam komunitas KRL Mania ini. “Seharusnya pihak KCJ mendengarkan apa yang kita sampaikan, karena bagaimana pun juga kami ini pengguna kereta yang merasakan bagaimana kualitas pelayanan mereka,” ujar Agam Fathurrochman.

BUKAN MENOLAK, HANYA MEMPERTANYAKAN

Sebagai komunitasnya pengguna kereta, tentu saja KRL Mania memperjuangkan kepentingan para pengguna kereta untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. “Kita bukan menolak Commuter Line, kita menyadari bahwa tujuannya pasti bagus. Tapi kita melihat ketidaksiapan baik di manajemen KCJ maupun di sarana dan prasarana,” ujar Agam.

KRL Mania jurusan serpong ini juga mengungkap beberapa ketidakberesan yang terkait dengan manajemen KCJ. “Banyak yang mengeluhkan mereka tidak menerima kembalian secara utuh karena petugas loket mengaku tak ada receh. Seharusnya petugas tiket mau mengembalikan uang kembalian sesuai tarif yang berlaku. Selama ini pelayanan dari KAI/KCJ tidak memuaskan. Berbagai masalah terus-menerus berlangsung tanpa ada titik terang perbaikan, keterlambatan, pembatalan kereta, mogok di tengah jalan, pengumuman yang tidak jelas, fasilitas stasiun yang amburadul, keamanan stasiun dan KRL,” ungkap Agam.

Sayangnya, menurut Agam, pihak KCJ juga pelit informasi dan terkesan ingin mengatakan, “keputusan sudah kami ambil dan kalian harus terima”. Padahal jika sedari awal ada dialog, mungkin akan ada titik temu sehingga kami tak perlu datang ke Kapolda dan berkirim surat ke Presiden SBY. Ini kami lakukan demi melawan mindset PT KAI/KCJ yang tidak menganggap konsumen sebagai stakeholder utama, jadi tidak menempatkan kepuasan konsumen sebagai hal utama. Mereka malah menuding dana public service obligation (PSO) yang kurang sehingga sulit meningkatkan kualitas” tambah Agam.

Untuk mewujudkan impian transportasi kereta yang lebih baik, KRL Mania telah mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Yudhoyono agar menambahkan dana subsidi atau PSO untuk sarana dan pra sarana kereta api ini. “Jadi selama manajemen dan sarana-prasarananya seperti ini, maka tidak akan berjalan dengan baik. Masih akan terjadi keterlambatan, kerusakan, gangguan dan lain hal sebagainya. Persoalan naiknya tarif seharusnya dibarengi dengan peningkatan kualitas, kami juga sudah mempertanyakan hal tersebut ke pemerintah.

Hidup di kota besar seperti Jakarta memang tidak mudah. Bahkan urusan transportasi pun bisa menjadi sesuatu yang berbelit-belit. Masyarakat menginginkan cepat, murah dan nyaman sementara PT KAI/KCJ sebagai perusahaan tentu juga mengharapkan keuntungan. Dan dengan logika “you get what you pay”, yang diterjemahkan sebagai tarif yang turun, maka jangan berharap pelayanan dan sarana serta prasarana juga membaik. Tapi paling tidak, bagi Dewi, seorang penumpang kereta api lain yang berprofesi sebagai pegawai Bank, “Commuter Line sangat membantu, jadwal keberangkatannya lebih cepat dan keretanya lebih banyak jadi mungkin enggak akan sepenuhnya ekspres.” Memang bagi sebagaian Commuter Line adalah racun, tapi tetap ada juga yang menganggapnya sebagai madu. Tapi satu hal yang pasti, sepertinya Jakarta masih sulit keluar dari ersoalan kemacetan.

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini