Reading
Add Comment
Cerita sebelumnya: Rolling In TheDeep (Part 1)
![]() |
Cover Rolling In The Deep (Part 2) - Foto Savana Besar. |
Sepuluh maret, Pagi. Saya melihat jam tangan menunjukkan pukul 04:10. Udara yang menusuk persendian tulang, membuat saya terjaga diantara keinginan kembali tidur dan ingin membangunkan mata. Masih terdengar lirih putaran lagu di playlist handphone rekan saya. Saya memutuskan untuk tetap membuka mata, tapi enggan untuk membangunkan badan. Membayangkan kejadian semalam yang membuat kami terpisah menjadi dua tim. Meski udara menusuk persendian, saya bersyukur semalam sempat sedikit berpesta dengan memasak logistik yang lumayan melimpah. Tetapi pemilihan lokasi camp yang kurang baik, menyebabkan kami was-was dalam persediaan air yang kami miliki. Keadaan darurat semalam membuat kami memutuskan bermalam di jalur antara Savana Kecil dan Savana Besar yang tak ada sumber air ataupun aliran air.
Pukul 06:00, mas Aden leader tim yang semalam terpisah dari saya
dan tujuh rekan lain, terlihat menjemput kami. Mas Aden mengenakan pakaian yang
berbeda dari semalam tanpa membawa tas, ia mengenakan jaket hitam cosina dan celana jeans hitam. Mas Aden dan tiga rekan lainnya yang semalam lebih
dulu berjalan ternyata bermalam di Savana
Besar berada di Hm 63. Ada cerita menarik di sana (Savana Besar), saat mereka sudah mendirikan tenda untuk bermalam,
dan melakukan proses santap darurat dengan memakan makanan instant, karena tim yang bersama mas Aden tak membawa nesting. Saat mereka akan berangkat
tidur, mereka mendengar suara langkah manusia, serentak mereka berteriak dengan
kode kami, “Tuuuuuu”. Tapi tak ada sahutan yang biasa kami lakukan. Dan
mengulanginya untuk kedua kalinya dan sama, tanpa sahutan. Mas Aden dan ketiga
rekan kami mengira langkah itu adalah saya dan tujuh rekan yang tertinggal. Ternyata
di jalur pendakian dan beberapa lokasi tempat pendaki bermalam di kawasan Gunung Argopuro banyak tersimpan cerita
mistis. Hal serupa juga pernah diceritakan oleh salah satu rekan saya yang
sudah lebih dulu datang ke Argopuro. Saat ia dan beberapa orang rekannya bermalam
di Cikasur, terdengar suara deru
langkah manusia mirip seperti suara tentara berbaris dan berlari. Saat pagi
harinya mereka mengemasi tenda dan akan melanjutkan perjalanan selanjutnya,
mereka berada di dekat area bangunan peninggalan kolonial, tak ada satu jejak
manusia yang terlihat yang semalam mereka dengar.
Kami berkumpul satu tim lengkap
di Savana Besar pada pukul 7:41. Tim
mas Aden yang semalam lebih dulu tiba di sini sedang berkemas, dan menjemur
beberapa perlengkapan yang basah akibat hujan semalam. Kami beristirahat, dan bereksis sejenak sambil menikmati
keindahan Savana Besar yang subhanallah indahnya. Bertukar cerita
tentang kejadian semalam, tentang aroma wangi saat saya melewati Savana Kecil, dan beberapa kejadian
ganjil lainnya saat kabut mulai turun dan perjalanan menjadi sangat gelap.
Sungguh luar biasa top, seperempat perjalanan menuju puncak Argopuro.
Pukul 8:56 kami mulai berjalan
menuju Cikasur, meninggalkan Savana Besar. Perjalanan dan track yang kami lalui sangat bervariasi.
Tetapi menuju arah Cikasur pemandangan
yang kami temui lebih dominan savana. Dan beberapa pohon-pohon pinus dan semak-semak
jelatang (tumbuhan yang berduri -paling dihindari oleh pendaki- ). Berjalan
dengan irama santai, kami tiba di Sungai
Qolbu atau Sungai Cikasur. Luar
biasa senang ekspresi rekan-rekan saat mengetahui sudah berada di sungai ini.
Karena persediaan air yang kami bawa sudah habis akibat kejadian semalam yang
memaksa kami berjalan dan mendirikan tenda jauh dari sumber air. Seperti
namanya, sungai Qolbu (Sungai Hati) –penentram
hati-.
Kami berada di Sungai Qolbu-Cikasur pada pukul 10:11.
Kami segera mengisi botol-botol air yang kosong, untuk persediaan air saat
perjalanan selanjutnya. Kami memutuskan untuk mengisi perut di Cikasur, sambil menikmati sejuknya
udara Savana Cikasur. Ada beberapa hal yang menarik perhatian saya saat saya
berada Cikasur. Menurut cerita dan
pengalaman pendaki Argopuro yang
sudah pernah singgah di lokasi ini, dan sempat merasakan bermalam di sini.
Bahwa Cikasur merupakan tempat
bandara pada jaman kolonial Belanda dan Jepang. Sebelum kita bertemu Sungai Qolbu-Cikasur, terlihat dua
bangunan berbentuk kotak tidak diketahui secara pasti bangunan apa itu. Tetapi
menurut sebagian orang dari cerita mulut ke mulut bahwa bangunan tersebut
merupakan pos radio pada kependudukan Belanda, dan kemudian diteruskan oleh
Jepang. Jika kita telah melewati Sungai
Qolbu, maka akan terlihat pos atau shelter
Cikasur, bersebelahan dengan situs
bangunan menyerupai pondasi bangunan rumah. Diduga kuat bangunan tersebut
merupakan pos dari kependudukan jaman kolonial. Jika kita mengikuti arah jalan
setapak kita akan menemukan padang savana. Padang savana di Cikasur sangat terkenal selain dari
sisi keindahannya, juga dari cerita dan pengalaman para pendaki. Konon jika
kita bermalam di savana Cikasur,
lebih dari pukul 21:00 akan terdengar suara ringkihan kuda dan deru langkah
tentara. Dan diceritakan bahwa di Cikasur
adalah tempat penurunan tentara kolonial yang strategis sebelum turun ke
kota-kota untuk menghindari pantauan tentara Indonesia.
Dua jam lebih kami berada di Cikasur, istirahat, makan, dan sholat.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Cisentor
dengan start perjalanan dari Cikasur pukul 13:00. masih takjub
dengan pemandangan alam di Cikasur,
perjalanan kami sedikit jalan dan perbanyak pose.
Sampai pada savana setelah Cikasur,
kondisi sore itu mulai tertutupi kabut. Hujan mulai jatuh. Kami terus berjalan
dan menikmati kabut yang turun.
Pukul 17:00 kami tiba di Cisentor. Pada saat kami tiba di Shelter
Cisentor, sudah ada para pendaki
lain, terlihat mereka sedang memasak dan beristirahat. Pendaki yang berasal
dari ‘Kebo Keluyur’ dan 4 pendaki dari Malang (Universitas Merdeka). Cisentor merupakan lokasi percabangan
antara jalan menuju Puncak Argopuro dan jalan menuju Danau Taman Hidup (Bremi). Kami memutuskan untuk bermalam
di Cisentor, mungkin bagi sebagian
orang beranggapan kurang tepat untuk membuka tenda dan bermalam di Cisentor, karena Cisentor merupakan daerah lereng yang sangat dingin (lalu lintas angin
perbukitan). Tapi dua alternatif lokasi bermalam sebelum menuju puncak adalah Cisentor atau Rawa Embik. Jika Kalian
cukup tenaga dan waktu sebaiknya bermalam di Rawa Embik lokasi yang
cukup datar dan tak kawatir dengan sumber air, selain itu jika ingin mengejar sunrise di puncak memerlukan waktu yang
singkat. Cisentor juga terdapat
sungai untuk pemenuhan air, tetapi lokasi yang berada di lereng mengharuskan
kita mengantisipasi udara dingin yang siap membuat kita berjogetria. –bersambung.
Photos Story: Rolling In The Deep (Part 2)
Ikuti cerita selanjutnya: Rolling In The Deep (Part 3), Rolling In The Deep (Part 4)
0 komentar:
Posting Komentar