Reading
6
Comments
Tiga hari lagi saya akan
berangkat ke Gunung Argopuro. Bersama beberapa rekan yang kebetulan satu
kampung dengan saya. beberapa perlengkapan kami siapkan, baik itu untuk
keperluan pribadi maupun keperluan tim. Semua tertulis dengan lengkap dan rapi.
ngomel
Setiba di kamar, saya kemudian
berpikir sambil melihat beberapa list
yang tadi kami tulis dan sepakati bersama. Kemudian terbesit pikiran, “Bagaimana saya mengangkut semua barang
bawaan pendakian dengan tas yang sering saya pakai kuliah, dengan ukuran kurang
dari 20 lt ini?” Perlahan saya mulai mencemaskan hal ini. Singkat kata,
saya sms beberapa rekan yang aktif di kegiatan pecinta alam, dan beberapa rekan
perkuliahan. Namun hasilnya nihil. “Tas
yang anda maksud belum mau berlabuh ke punggung saudara.”
Kemudian saya membuka dompet dan
menghitung beberapa isi amplop gaji freelance
saya. Kemudian dengan menarik nafas yang panjang, saya memutuskan untuk pergi
ke beberapa gerai outdor dengan
maksud membeli tas caril sebesar 60 lt. Alhasil saya mendaratkan pilihan kepada
Cozmeed dengan ukuran 60 lt. Tak ada yang istimewa dari tas yang memiliki warna
abu-abu dan kuning keemasan ini. Saya pikir ia juga tetap akan terasa berat
saat saya memenuhinya dengan berkilogram dari daftar barang bawaan saya. Pundak
akan nyut-nyutan, dan punggung
mungkin akan sedikit terasa bergeser dari sumbunya.
Namun setelah membawanya pulang,
ada sisi batin yang ingin mengucapkan terima kasih. “Lebih baik buruk, jika itu milik kita. Daripada baik, jika itu milik
orang lain.” Kemudian perlahan saya mulai mencintai tas ini.
Sejurus kemudian, kami
berselancar menuju keindahan Gunung Argopuro. Kami merasakan bagaimana saya dan
tas ini menjadi sebuah tim yang solid,
saat saya melewati halang rintang menuju Hutan Argopuro yang lebat dan memiliki
trek pendakian terpanjang se-Jawa. Puji syukur kami berhasil melewatinya. Saya
banyak belajar dari pendakian ini, bahwa sebuah batas hidup itu terbentuk akan
dua hal, “Rasa utuh, dan rasa kehilangan.”
***
Kenangan di atas adalah penggalan
kecil dari cerita saya dengan tas caril yang saya beri nama: Sikonyen. Sikonyen
yang berarti tas berwarna kuning-keoranyean. Beberapa bulan lalu saya dengan
sikonyen juga sempat berpetualang sampai ke Lombok dan nyaris sampai ke Flores.
Saya bepergian berkilo-kilometer meninggalkan rumah dan segala bentuk kekhawatiran,
ketakutan, ataupun kenyamanan di dalamnya. Bersama sikonyen yang begitu setia
berada di belakang saya memeluk dengan erat pundak dan pinggang saya. Laiknya
seorang adik terhadap kakaknya, atau laiknya seorang kekasih yang sedang jatuh
cinta. Ia saya gendong begitu mesranya.
Sesekali saya juga sangat
keterlaluan terhadapnya. seperti saat saya melemparkannya ke dalam bagasi Bis, mobil
pick up, atau pun saat saya berebut
waktu untuk nebeng Truk sayur. Namun
ia tak pernah mengeluh terhadap saya atas perlakuan kurang ajar itu. Malah, ia
tetap rela menampung keinginan saya, menemani mimpi saya untuk berpetualang,
dan menjaga dengan aman apa yang saya khawatirkan.
Terlalu Banyak kenangan saya
bersama sikonyen tas caril yang lusuh ini. Andai saja sikonyen mengetahuinya, jika
saya menceritakan beberapa hal absurd kepada kalian, tentang kisahnya berada di
kubangan saat saya terbaring lemas tengah malam menahan tusukan hawa dingin pos
pendakian Cisentor Argopuro. Mungkin ia sangat marah. Baginya sebuah eksistensi
tak lagi penting dari apa itu fungsi/manfaat. Ya, sikonyen lebih memilih function not fashion. Ia lebih terlihat simple daripada tas kebanyakan. Ia lebih
senang untuk dipakai dan bermanfaat, daripada di pamerkan kebanyak orang.
Lagian tak lagi penting untuk diceritakan bagaimana saya tertusuk menahan hawa
dingin, bersama tas caril di kubangan. Sekali lagi, “bukankah nasib adalah
kesunyian masing-masing,” dan itu yang sering kita baca dan dengar di sosial media
bukan?
Sikonyen adalah tas caril yang
tiba-tiba ada karena sebuah proses saat saya membutuhkannya. Tiba-tiba saya
memberi sebuah nama kesayangan untuknya, karena saya mencintainya. Saya
menceritakannya kepada kalian, karena saya bangga pernah bersamanya. Ia mungkin
benda mati, namun tetap sebuah ‘makhluk’ dihadapan Tuhan. “Bukankah setiap
benda yang ada di muka bumi ini akan menjadi saksi atas semua perilaku kita
sewaktu hidup?” Kira-kira begitu firman Tuhan, jika saya tak salah mengutarakan.
Namun sekarang sikonyen berada di
lemari pakaian yang terbungkus rapi dengan plastik kedap, bersama shall berwarna
hitam pemberian mantan. Ia semakin tak terlihat karena bersebelahan dengan cardigan
ungu yang jarang saya pakai. Ia hanya diam menunggu untuk saya keluarkan.
Selama ini saya menjaganya dari penyakit yang bernama fungi dan beberapa debu yang mungkin sedikit binal, hingga membuatnya
nampak selalu baru. Terkadang saya sebelum tidur teringat beberapa momen bersamanya,
berlari menggendongnya untuk mengejar tumpangan. Melompat bersama melewati
terjalnya batu dan sungai yang begitu dalam. Saya pikir hanya dengan satu
lompatan panjang, kami dapat melewatinya. Namun ternyata salah. Walaupun
begitu, kami sangat menikmatinya. Kami sepakat, minimal kami pernah mencobanya
dengan sangat bahagia. Sikonyen pun mengiyakan dengan tanda robekan kecil
menyerupai senyuman manis gadis yang sedang jatuh cinta.
Situasi merubah kebersamaan saya
dengan sikonyen. Tas caril kesayangan saya ini, mungkin tak akan lama bersama
saya. Karena tiga hari lagi, sikonyen akan saya hibahkan kepada kawan saya
Yedha. Yedha akan melakukan perjalanan jauh, serupa dengan saya. Mungkin lebih
berat dari yang saya lakukan. Kawan saya Yedha bermaksud menukarkan beberapa
lembaran rupiah miliknya untuk saya. Sebagai ganti untuk caril yang ia bawa,
namun saya menolaknya. Yedha memaksa, namun sejurus dengan itu saya pun dengan
keras menolaknya. Biarkan sikonyen bersama Yedha yang membutuhkan, sebagai
teman perjalanannya. Saya cukup paham ketika seseorang melakukan perjalanan
seorang diri. Sepi dan begitu tersiksa. Saya hanya seorang kawan yang
berempati, sekedar membatu dengan melepaskan apa yang saya cintai untuk sebuah
kecintaan yang lain. Bukankah kesenangan terbesar adalah melihat orang lain
bahagia dan tersenyum dengan tulus. Saya mulai menyukai kalimat bijak itu akhir-akhir
ini.
Saya selalu punya cara untuk
merayakan rasa syukur. Salah satunya dengan cara mengingatnya. Seperti yang
saya lakukan kali ini, menuliskannya kepada kalian. Saya meyakini sebuah momen
bersama sikonyen adalah sebuah anugrah yang saya syukuri. Saya pun belajar banyak
dari sebuah tas yang mungkin bagi sebagian orang adalah benda remeh dan temeh.
Lebih dari itu semua saya memaknainya lebih, bahwa mencintai itu juga
melepaskan. Jika kita berani mencintai, kita juga harus berani melepaskan. Hal
terkecil adalah dengan melepaskan sikonyen; sebuah tas caril 60 lt dengan
kombinasi warna abu-abu dan kuning-keemasan, sehingga ia tetap dapat
berjalan-jalan dengan patner barunya Yedha kawan saya. Sedangkan saya, harus
berkemas-kemas untuk segera merampungkan thesis saya yang sudah lama tak
terjamah. Kemudian menyiapkan kembali perjalan yang baru, dengan tujuan dan
patner yang baru tentunya.
Surabaya, 29 Agustus
2013
*Sembari memikirkan,
Siapa lagi yang kawan saya yang akan traveling.
6 komentar
gak pernah bosen aku ngingetin tuan ali, tulisanmu kui jane apik. TAPI... lagi-lagi semua tulisanmu itu mesti sangat kurang nan nggilani di bagian EYD, pemilihan diksi, atau kalimat yang terlalu "hiperbolis" secara teknis (aku ngerti niatmu jane buat agak puitis).
BalasHapusya,, saranku sebelum di "publish", cek lagi pake situs KBBI online soal kata-kata yang bakal kamu pakai. Kalo kamu bilang hidup itu ada aturannya, begitupun soal nulis. aturan tersebut dibuat supaya lebih enak tulisanmu dibaca. toh katanya kamu niat ngeblog buat ngeshare kan? mosok tamu mbok suguhi rongsokan.
satu-satunya hal yang pasti itu perubahan. teknis tulisan yang gak baik pun juga seharusnya diperbaiki. masio bakal agak berubah. di fotografi ada rekayasa digital (photoshop), di koran/majalah ada editor, di dunia ada nabi. mosok koe hari ini podo wae ambek hari kemarin?
tulisan diedit bukan dosa kok. namanya juga diperbaiki.
:p *salim* (komenku dowo, tapi gak lemes, soale bukan roti)
tks. salim sama suhu asad. :)
Hapuswah ini tulisannya ka Rahman, sepertinya dari hati ini. :)
BalasHapusTiara-Bandung
haha, bisa saja. :)
Hapuskang, drybagmu hibahno aku. ape tak gawe nang luang jomblang november. hehehe, nek oleh loh yo.. -Gomblez-
BalasHapuslangsung kerumah mblez..
Hapus