Surat Untuk Luna (Tentang Syukur)

Dear Luna.

Semoga harimu selalu menyenangkan.

Luna, dua hari ini. Atau beberapa hari sebelum ini, nampak biasa-biasa saja. Saat pagi tiba, aku luangkan untuk membaca beberapa buku yang tertutup semalaman. Dan sesekali membumbuinya dengan menyeduh kopi di teras rumah sebelum berangkat kerja.

Saat siang menjelang. Menepi karena terik atau jika hujan mulai datang. Meski setiap harinya bertemu dengan orang-orang yang selalu berbeda, tapi nampak biasa saja.

Petang pun demikian biasa. Melaluinya dengan perasaan lelah, dengan hati yang teramat biasa.

Pernah pada satu malam, tak ada kamu atau pun lirih lagu yang mengalun. Aku memaksa untuk diam saja, memandang langit-langit kamar yang sengaja aku padamkan sinarnya. Merangkai beberapa pola abstrak yang ada di sana.

Ya, hanya diam saja.

Kemudian aku memaksa otakku berpikir tentang satu keadaan. Keadaan yang memaksa otak bekerja supaya lelah, dan berharap aku lekas tertidur setelahnya.

Seolah-olah sekrup di poros encephalon bergerak begitu cepat.

Aku memikirkan, delapan hari setelah ini. Kemudian bergulir seperti roda-roda gila, menjadi delapan minggu setelah ini, kemudian menjadi delapan bulan setelah ini, dan semakin cepat menuju delapan tahun setelah ini. Entah, mengapa harus angka delapan. Mungkin aku sedang memikirkan satu keterbatasan dengan simbol angka itu.

Mungkin aku pula belum sadar, bahwa saat ini masih bulan baru: Januari. Tapi bulan ini, beberapa rencanaku sedang di revisi oleh yang maha menghakimi. Satu rencana ke Flores, satu rencana ke Sinabung, dan satu rencana lain menuju Ujung Pandang. Semuanya di revisi habis oleh Nya.

Mungkin aku terlalu sibuk melihat perut yang makin lama mulai berlemak, mungkin juga aku mulai mengalami kekikiran, atau juga aku mulai haus akan kenikmatan panca indra. Dan lupa bagaimana caranya berpuasa, mungkin juga aku lupa bagaimana caranya memberi dan mencintai.

Luna, pernah aku bertemu dengan satu kalimat. "Saat manusia menjadi biasa, ia telah bersyukur."
Tapi malam itu aku cuma bertemu dengan yang biasa di beberapa pikiran sepi dalam gelap.

Mungkin saat kamu bertemu dengan rasa syukur itu. Katakanlah, "Bagaimana caraku untuk menemuinya?" Aku begitu rindu dengannya, supaya malam-malamku terlelap dengan perasaan syukur yang luar biasa. Atau mungkin aku memutuskan untuk berhenti mencari saja?

Lama aku terdiam, kemudian perasaan lancang menyeruak untuk mengirim tulisan ini untukmu.



Balasan dari Luna untuk menyadarkanku.

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini