Antara Troloyo dan Tebu Ireng (Part 1)

Makam Troloyo
 Jika anda adalah seseorang yang sangat sibuk dengan rutinitas di siang hari, dan tak terpikirkan untuk berwisata serta melakukan kontemplasi. Mari sejenak ikut bersama saya untuk berwisata malam. Destinasi kali ini bukan goa ataupun gunung, melainkan wisata religi yang sedikit membuka wawasan kita dalam sejarah Islam dan bagaimana para tokoh Islam membawa ajarannya sampai saat ini. Dengan pertemuan dua budaya, Hindu dan Islam dapat kita saksikan dari beberapa peniggalannya dari situs bersejarah termasuk komplek makam Troloyo yang berada di kecamatan Trowulan, Mojokerto. Kubur Pitu, dan Lengkung Kurawal adalah salah satu wujud kesenian Hindu yang masih dapat kita saksikan di Komplek makam Troloyo, tak kalah juga kaligrafi dan kutipan-kutipan dari Al-Qur’an dalam rupa relief batu disekitaran lokasi makam memberikan kesan kuat bahwa ajaran Islam dari para wali sebagai cara berdakwah telah masuk diantara lingkungan Majapahit. –Abdurrahman Azhim-

*** 



pintu masuk Troloyo
Semula saya berniat menyinggahi Mojokerto untuk beristirahat dan sekedar menyeduh kopi sambil menanti Indonesia vs Malaysia di ajang piala AFC. Ternyata Kota Maha Patih Gajah Mada ini memberikan ilham-ilham yang menarik, hingga saya putuskan untuk menetap selama dua hari dan mengurungkan niat menonton laga sepak bola yang bisa dipastikan akan mebuat jalanan kota menjadi sepi. 

Indonesia tertiggal 2-0 dari Negeri Jiran, dan semakin membuat hasrat saya untuk segera keluar rumah. “Sepak bola kita memang belum sepenuhnya dapat diandalkan, jadi saatnya menghibur diri dengan berwisata malam”. Dengan kondisi malam minggu yang sejuk setelah diguyur dengan hujan sore hari, membuat kota dengan jajanan Onde-onde yang khas ini semakin menarik untuk dijelajahi. Lupakan sejenak kekalahan Timnas.

Pukul 21:00 saya sudah siap untuk berangkat, dengan mengendarai kendaraan pribadi menuju arah Trowulan yang masih termasuk kabupaten Mojokerto. Kota Mojokerto hanya memiliki dua kecamatan yaitu kecamatan Prajurit Kulon dan Magersari, selain yang saya sebutkan termasuk kabupaten daerah tingkat 2 Mojokerto.

Trowulan memang terdapat berbagai kawasan penting peninggalan bersejarah dari kerajaan majapahit. Daerah ini terletak di antara perjalanan Mojokerto dan Jombang, yang dapat saya tempuh dari Mojokerto kota kurang lebih 30 menit dengan kendaraan pribadi (mobil). Perjalanan wisata malam saya termasuk lenggang, diantara malam akhir pekan diawal bulan Desember. 

Karcis masuk Troloyo
Tujuan wisata malam saya kali ini adalah makam Troloyo yang masuk di dukuh Sidodadi, desa Sentonorejo kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto. Kira-kira 750 meter di sebelah selatan Candi Kedaton atau Sumur Upas. Makam Troloyo adalah makam dari “puser” walisongo yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa, yaitu komplek pemakaman yang terkenal dari makam Syeikh Jumadil Kubro dan Syeikh Abdul Qodir Jailani. Komplek pemakaman yang berada di Troloyo ini sering menjadi tujuan wisata religi, terlihat pada saat saya datang ke lokasi tidak sedikit terlihat bis pariwisata yang parkir dan rombongan berjalan kaki menuju komplek pemakaman. Ternyata bukan hanya pengaturan lokasi parkir lokasi wisata religi yang mengalami perubahan, sepanjang jalan menuju lokasi pemakaman berjajar penjual makanan olahan daerah dan terlihat juga penjual perlengkapan ibadah untuk buah tangan para wisatawan, seperti peci dan beberapa topi buatan daerah setempat.

Menurut riwayat, dahulu komplek makam Troloyo berupa hutan pakis yang lebat terletak di sebelah selatan dari makam troloyo yang berjarak kira-kira 2 km. Makam Troloyo pernah diteliti pertama kali oleh PJ. Veth, dengan hasil penelitiannya yang diterbitkan dalam buu Java II pada tahun 1878. Selanjutnya peneliti dari Perancis, LC. Damais juga meneliti kawasan ini, dengan hasil yang dibukukan dengan judul “Etudes Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin de “Ecole Francaise D’ Extremen-Orient). Tome XLVII Fas. 2 pada tahun 1957. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI. Dari penelitian Damais dapat disimpulkan bahwa saat itu Majapahit masih berdiri orang-orang islam sudah diterima tinggal disekitar Ibukota (Majapahit).

Kawasan pemakaman Troloyo ternyata semakin malam semakin ramai, wisatawan atau peziarah yang menuju lokasi terlihat berbondong-bondong berjalan ke lokasi. Maklum lokasi parkir kendaraan untuk menuju ke lokasi berjarak kurang lebih 200 meter. Jika anda membawa rombongan yang sudah berusia lanjut, jangan kawatir disini juga terdapat angkutan sepeda motor atau “ojek” dengan tarif kurang lebih sekitar dua ribu rupiah. Tetapi kesan yang saya dapatkan dari adanya ojek ini, membuat takut para pengunjung wisata religi. Angkutan yang menggunakan sepeda motor ini nampak semrawut dan tidak terorganisir dengan baik, cenderung jasa ojek di lokasi wisata troloyo nampak berebut untuk mendapatkan penumpang. Untuk menuju ke lokasi, saya lebih memilih berjalan kaki sambil melihat-lihat apa yang dapat saya bawa pulang dari sini sebagai buah tangan. Ternyata tak sedikit dari wisatawan yang juga berjalan menuju lokasi.

Secara umum terdapat dua buah kelompok atau komplek pemakaman, sebuah komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat-laut). Yang menarik perhatian saya pada wisata religi kali ini adalah “kubur pitu” sebuah kelompok makam yang paling penting. Terdapat tujuh buah makam terdiri dari lima deret di bagian utara dan dua deret di bagian selatan. Makam-makam inilah yang dikenal sebagai “makam tujuh” atau “kubur pitu”. Sebagian dari nisan-nisan pada kubur pitu tersebut berbentuk “Lengkung kurawal” yang tidak asing lagi pada kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama dan unsur-unsur pendatang (Islam) nampaklah adanya akulturasi kebudayaan antara Hindu dan Islam. 

Makam Patas Angin
Komplek pemakaman Troloyo tidak hanya makam Seikh Jumadil Kubro yang dapat kita jumpai, melainkan juga terdapat Pendopo yang dapat dipergunakan oleh pengunjung untuk beristirahat. Beberapa makam lainnya, seperti makam “Patas Angin”, dan makam “Nyai Endang Roro kepyur”. Selain itu pengunjung dapat melihat “petilasan walisongo”. Makam yang berada di Troloyo ini, hampir sama dengan makam-makam para wali yang ada di Jawa dengan ciri khas makam yang berukuran panjang dan batu nisan yang diselubungi kain berwarna putih. Tetapi menurut yang saya baca, komplek pemakaman ini merupakan wali tertua sebelum walisongo ada. Dan selalu menjadi rujukan wisata religi yang pertama kali saat wisatawan meneruskan ke beberapa daerah lain di Jawa. Di komplek pemakaman Troloyo tidak melulu hanya makam, jika pengunjung ingin shalat, disini terdapat masjid yang berada satu komplek yaitu masjid Baitul Muttaqin yang bersebelahan dengan makam “sunan Ngudung”. Jika anda haus dan ingin menyeduh kopi sambil bersantai, anda dapat menuju area kantin atau warung yang berada di sisi belakang dari komplek pemakaman ini. Saya sempat mencoba beberapa menu minuman yang berada disini, dan harga yang diberikan untuk dua kopi hitam, kopi susu dan kopi jahe di tambah dengan 4 buah krupuk kulit sapi dengan harga tiga belas ribu rupiah

Makam Patas Angin
Warkop Troloyo
komplek makam Troloyo

Sama seperti lokasi lainnya, wisata religi yang berada di Troloyo sebelum pengunjung memasuki lokasi, pengunjung wajib mengisi buku tamu dan membeli tiket sebesar seribu rupiah per-orangnya. Uniknya dari wisata malam saya kali ini (wisata wali, dan wisata religi) umumnya selalu buka 24 jam, jadi bagi anda yang ingin mengunjungi lokasi-lokasi religi jangan kawatir tak dapat berkunjung karena tiba dilokasi pada larut malam. Selain itu bagi anda yang gemar berwisata malam, wisata religi atau wisata wali, mungkin bisa menjadi catatan penting bagi anda untuk mencoba berkunjung di kawasan ini.

Saya menengok jam tangan, masih pukul 23:00, sayang jika saya memutuskan untuk pulang. Saya akan melanjutkan perjalanan wisata malam saya menuju Jombang, menuju makam Alm. Bapak mantan Presiden RI yaitu Abdurrahman Wahid atau yang sering kita kenal dengan Gusdur. (Bersambung)

2 komentar

  1. Ternyata suka juga dengan wisata religi, saya kirim email. salam kenal mas Abdurahman. :)

    BalasHapus

Pasang Iklanmu di sini