5 min Reading
2
Comments
Ribuan pendaki yang
sudah lebih dulu tiba terlihat sedang membuka tenda. Shalat Jum’at di
ketinggian lebih dari 2.500 mdpl. Ranu Kumbolo diselimuti kabut yang berubah
jadi hujan deras. Saya setengah yakin minum air Ranu. Hujan memberi bantuan
air, nesting saya lempar keluar. Lima belas menit sebelum tidur, saya masih
mengira ini kamar yang nyaman dan hangat. Suhu mencapai minus, ada teman yang
sedang sinus. Setelah Medina Kamil hilang dari dekapan kamera, sekarang giliran
Sunrise yang tak terekam. Nikmatnya
kretek dan coklat hangat di pinggiran ranu. Sarapan yang hebat, inilah yang
saya nanti. Fenomena prasasti di kumbolo dan prasasti Gie yang akan diambil.
Kami turun hari ini, sebelum hujan!. –Abdurrahman Azhim-
***
Life in Kumbolo - Ranu
Kumbolo menyambut saya dengan kabut yang lembut. Saya tiba di Ranu Kumbolo
pukul 12:30. Para pendaki sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, beberapa
terlihat memegang stick pancing,
sepertinya ia mau cari peruntungan di Ranu. Semoga saja bukan acara memancing,
yang sering saya lihat di televisi setiap weekend
sore. Beberapa terlihat sedang menyiapkan nesting
dan kompor parafin, sepetinya wanita yang saya lihat ini sedang meramu obat
anti dingin: segelas coklat panas dan potongan sosis bakar.
Saya berjalan melalui beberapa
para pendaki, berjalan perlahan sembari menahan paha kiri yang terasa nyeri.
Lima belas menit berjalan, tibalah saya di tepian ranu. Saya masih mencari
lokasi yang pas untuk mendirikan tenda. Berharap saya dapat membangun tenda yang
menghadap diantara celah bukit yang memunculkan matahari esok pagi. “Sepertinya
esok akan jadi pagi yang indah”.
Tak butuh waktu lebih dari lima
belas menit untuk mendirikan tenda. Dom
Lafuma warna kuning muda dengan
rangkaian tiga frame penyangga, sudah
siap saya masuki tas beserta isinya. Sedangkan saya masih ingin duduk ditepian
ranu sambil menikmati awan yang bergerak kearah timur. Mengeluarkan kretek yang
6 jam tersimpan saat saya trekking.
kemudian mengambil pematik api yang saya selipkan diantara kantong tas dan
beberapa transbag, saya sudah menduga
dua barang ini akan melempem saat
tiba disini. Dengan sedikit usaha, akhirnya saya bisa bercengkrama dengan
kretek di tepian ranu. Sungguh nikmat!
Sapuan angin yang membuat jemari
saya kaku, menjalar hingga di sisi lambung yang meronta ingin diisi. Maklum, 6 jam
perjalanan yang saya tempuh, hanya terganjal dengan sebatang coklat dan 2 liter
air. Saatnya kami mendapur bersama, sebelum hujan membatalkan selera makan kami.
Lebih dari 45 menit sudah kami
mendapur dan makan bersama, terlihat kabut yang mulai turun di balik bukit. Gerimispun
sudah membuat kami panik, dan praktis mempercepat acara makan siang kami. Tidak
lebih dari 15 menit kami berbenah peralatan masak, hujanpun mulai menggila,
mulai membasahi tenda dan tanah sekitaran ranu. Ini hujan pertama saya di ranu
kumbolo, dan saya menikmatinya didalam tenda bersama 2 rekan saya.
Setelah makan, kami tak
bisa tidur. Walaupun secara teori (teori orang Jowo), setelah perut terisi kita
akan merasa kantuk. Saya lihat jam tangan menunjukkan pukul 14:30, tetapi
kondisi saat itu seperti suasana menjelang magrib. Saya beranggapan saat hujan
turun dengan lebatnya, pastilah air ranu akan pekat berbaur dengan tanah. Pertanda
tak baik, walaupun saat kita di alam, kita tak bisa pilih-pilih. Bisa-bisa kita
tak hidup, jika kita terlalu jijik atau apalah itu. Tapi kembali kepada kita,
kita tahu apa yang pas menurut ukuran kita. Tanpa banyak kata, saya melempar
sebagian nesting keluar tenda.
Berharap bisa menampung banyak air saat hujan lebat, dan sebagian saya taruh
dibawah sisi tenda.
Di dalam tenda saya merasakan
udara dingin sudah mulai masuk, sleeping-bag yang memakan seperempat isi tas,
saya keluarkan dan langsung saya selimutkan ke badan. Kalau begini, saya masih
kuat untuk membuka pintu tenda, sambil tiduran menikmati suasana hujan diluar
sana. Saya tak ingin mati bosan di dalam tenda, yang hanya memandang pantulan
warna kuning terang dari tenda ini. Saya memutar lagu dari Coldplay - Yellow
(Acoustic), setelah itu saya tak ingat lagi, “saya tertidur”.
***
Saya terbangun karena pergelangan
kaki terasa kaku. Saya lihat diluar tenda, hari sudah mulai gelap. Sudah tiga
jam lamanya saya tak sadarkan diri, tertidur berselimutkan sleeping-bag dan berhimpitan dengan barang-barang. Hujan nampaknya
juga sudah mulai reda, suara para pendaki juga terdengar riuh. Masih enggan
rasanya mengeluarkan kaki keluar tenda, tapi saya harus menengok nesting yang saya lempar sebelum tidur
tadi, dan membuat obat anti dingin. Karena dapat dipastikan malam di Ranu
Kumbolo lebih minus dari di Ranu Pani
dan Ranu Regulo.
Ternyata selain saya yang setiba
di Ranu Kumbolo dengan kondisi hidung yang tersumbat dan berair, ternyata rekan
saya si Nizam juga sudah mulai bersin-bersin. Nampaknya ia sinusitis, suatu penyakit yang membuat penderita nyeri dan pusing
saat flu, karena cairan tertahan di sekitaran kening dan tulang pipi. Bisa
dibayangkan jika hari sudah mulai gelap, di pinggiran Ranu dengan suhu kurang
dari 4 derajat penderita sinusitis
ini merasa bagian mukanya lebam dan nyeri akibat dingin. Tapi sepertinya Nizam sudah
tahu bagaimana cara untuk mengatasi penyakitnya itu, apalagi dia tak satu dua
kali melakukan pendakian macam Ranu Kumbolo. “Dia adalah dokter spesialis,
untuk dirinya sendiri saat ini”.
Ranu Kumbolo sudah mulai gelap,
cahaya matahari yang tertutup kabut sekarang berganti dengan ratusan cahaya
lampu senter dari para pendaki. Saya melihat miniatur kota malam, saat saya
duduk dipinggiran Ranu sambil melihat lampu-lampu senter itu bergerak dan
berkedip. Walau hari sudah gelap, ternyata aktifitas juga tidak bisa dibilang
terlelap. Nampaknya setelah hujan berhenti, para pendaki mulai sibuk dengan
acaranya masing-masing, terlihat ada yang menaiki jalur “penanjakan cinta”, dan
beberapa terlihat di pinggiran Ranu sedang membersihkan nesting ataupun sedang mengambil air untuk dimasak. Malam ini saya
tak dapat berbuat banyak untuk pendokumentasian, batere yang saya bawa sepertinya tak berfungsi, bukan karena daya
habis melainkan suhu yang minus membuat
batere tak dapat menghidupkan kamera
Meskipun Kamera tak dapat
berfungsi dengan baik, saya tak mau hanya menghabiskan malam di dalam tenda dan
tertidur berteman udara yang membuat ujung jemari kaki saya membeku. Kebetulan
kebutuhan logistik yang saya bawa lumayan berlebih, saya bersama Nizam memasak
air dan beberapa makanan ringan yang kaya lemak siap santap. (Bersambung)
2 komentar
Seruuuu. tx ya, salam kenal. salam lestari.
BalasHapusFrom Backpacker semarang.
sama-sama semoga bermanfaat. salam lestari.
BalasHapus