Walking After You (Part 3) - Catatan Perjalanan Tiga Hari Tiga Ranu

Ribuan pendaki yang sudah lebih dulu tiba terlihat sedang membuka tenda. Shalat Jum’at di ketinggian lebih dari 2.500 mdpl. Ranu Kumbolo diselimuti kabut yang berubah jadi hujan deras. Saya setengah yakin minum air Ranu. Hujan memberi bantuan air, nesting saya lempar keluar. Lima belas menit sebelum tidur, saya masih mengira ini kamar yang nyaman dan hangat. Suhu mencapai minus, ada teman yang sedang sinus. Setelah Medina Kamil hilang dari dekapan kamera, sekarang giliran Sunrise yang tak terekam. Nikmatnya kretek dan coklat hangat di pinggiran ranu. Sarapan yang hebat, inilah yang saya nanti. Fenomena prasasti di kumbolo dan prasasti Gie yang akan diambil. Kami turun hari ini, sebelum hujan!.  –Abdurrahman Azhim-

***
 
Life in Kumbolo - Ranu Kumbolo menyambut saya dengan kabut yang lembut. Saya tiba di Ranu Kumbolo pukul 12:30. Para pendaki sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, beberapa terlihat memegang stick pancing, sepertinya ia mau cari peruntungan di Ranu. Semoga saja bukan acara memancing, yang sering saya lihat di televisi setiap weekend sore. Beberapa terlihat sedang menyiapkan nesting dan kompor parafin, sepetinya wanita yang saya lihat ini sedang meramu obat anti dingin: segelas coklat panas dan potongan sosis bakar. 

Saya berjalan melalui beberapa para pendaki, berjalan perlahan sembari menahan paha kiri yang terasa nyeri. Lima belas menit berjalan, tibalah saya di tepian ranu. Saya masih mencari lokasi yang pas untuk mendirikan tenda. Berharap saya dapat membangun tenda yang menghadap diantara celah bukit yang memunculkan matahari esok pagi. “Sepertinya esok akan jadi pagi yang indah”.

Tak butuh waktu lebih dari lima belas menit untuk mendirikan tenda. Dom Lafuma warna kuning muda dengan rangkaian tiga frame penyangga, sudah siap saya masuki tas beserta isinya. Sedangkan saya masih ingin duduk ditepian ranu sambil menikmati awan yang bergerak kearah timur. Mengeluarkan kretek yang 6 jam tersimpan saat saya trekking. kemudian mengambil pematik api yang saya selipkan diantara kantong tas dan beberapa transbag, saya sudah menduga dua barang ini akan melempem saat tiba disini. Dengan sedikit usaha, akhirnya saya bisa bercengkrama dengan kretek di tepian ranu. Sungguh nikmat!



 
Sapuan angin yang membuat jemari saya kaku, menjalar hingga di sisi lambung yang meronta ingin diisi. Maklum, 6 jam perjalanan yang saya tempuh, hanya terganjal dengan sebatang coklat dan 2 liter air. Saatnya kami mendapur bersama, sebelum hujan membatalkan selera makan kami. 

Lebih dari 45 menit sudah kami mendapur dan makan bersama, terlihat kabut yang mulai turun di balik bukit. Gerimispun sudah membuat kami panik, dan praktis mempercepat acara makan siang kami. Tidak lebih dari 15 menit kami berbenah peralatan masak, hujanpun mulai menggila, mulai membasahi tenda dan tanah sekitaran ranu. Ini hujan pertama saya di ranu kumbolo, dan saya menikmatinya didalam tenda bersama 2 rekan saya. 

Setelah makan, kami tak bisa tidur. Walaupun secara teori (teori orang Jowo), setelah perut terisi kita akan merasa kantuk. Saya lihat jam tangan menunjukkan pukul 14:30, tetapi kondisi saat itu seperti suasana menjelang magrib. Saya beranggapan saat hujan turun dengan lebatnya, pastilah air ranu akan pekat berbaur dengan tanah. Pertanda tak baik, walaupun saat kita di alam, kita tak bisa pilih-pilih. Bisa-bisa kita tak hidup, jika kita terlalu jijik atau apalah itu. Tapi kembali kepada kita, kita tahu apa yang pas menurut ukuran kita. Tanpa banyak kata, saya melempar sebagian nesting keluar tenda. Berharap bisa menampung banyak air saat hujan lebat, dan sebagian saya taruh dibawah sisi tenda.

Di dalam tenda saya merasakan udara dingin sudah mulai masuk, sleeping-bag yang memakan seperempat isi tas, saya keluarkan dan langsung saya selimutkan ke badan. Kalau begini, saya masih kuat untuk membuka pintu tenda, sambil tiduran menikmati suasana hujan diluar sana. Saya tak ingin mati bosan di dalam tenda, yang hanya memandang pantulan warna kuning terang dari tenda ini. Saya memutar lagu dari Coldplay - Yellow (Acoustic), setelah itu saya tak ingat lagi, “saya tertidur”.

***

Saya terbangun karena pergelangan kaki terasa kaku. Saya lihat diluar tenda, hari sudah mulai gelap. Sudah tiga jam lamanya saya tak sadarkan diri, tertidur berselimutkan sleeping-bag dan berhimpitan dengan barang-barang. Hujan nampaknya juga sudah mulai reda, suara para pendaki juga terdengar riuh. Masih enggan rasanya mengeluarkan kaki keluar tenda, tapi saya harus menengok nesting yang saya lempar sebelum tidur tadi, dan membuat obat anti dingin. Karena dapat dipastikan malam di Ranu Kumbolo lebih minus dari di Ranu Pani dan Ranu Regulo.

Ternyata selain saya yang setiba di Ranu Kumbolo dengan kondisi hidung yang tersumbat dan berair, ternyata rekan saya si Nizam juga sudah mulai bersin-bersin. Nampaknya ia sinusitis, suatu penyakit yang membuat penderita nyeri dan pusing saat flu, karena cairan tertahan di sekitaran kening dan tulang pipi. Bisa dibayangkan jika hari sudah mulai gelap, di pinggiran Ranu dengan suhu kurang dari 4 derajat penderita sinusitis ini merasa bagian mukanya lebam dan nyeri akibat dingin. Tapi sepertinya Nizam sudah tahu bagaimana cara untuk mengatasi penyakitnya itu, apalagi dia tak satu dua kali melakukan pendakian macam Ranu Kumbolo. “Dia adalah dokter spesialis, untuk dirinya sendiri saat ini”.

Ranu Kumbolo sudah mulai gelap, cahaya matahari yang tertutup kabut sekarang berganti dengan ratusan cahaya lampu senter dari para pendaki. Saya melihat miniatur kota malam, saat saya duduk dipinggiran Ranu sambil melihat lampu-lampu senter itu bergerak dan berkedip. Walau hari sudah gelap, ternyata aktifitas juga tidak bisa dibilang terlelap. Nampaknya setelah hujan berhenti, para pendaki mulai sibuk dengan acaranya masing-masing, terlihat ada yang menaiki jalur “penanjakan cinta”, dan beberapa terlihat di pinggiran Ranu sedang membersihkan nesting ataupun sedang mengambil air untuk dimasak. Malam ini saya tak dapat berbuat banyak untuk pendokumentasian, batere yang saya bawa sepertinya tak berfungsi, bukan karena daya habis melainkan suhu yang minus membuat batere tak dapat menghidupkan kamera

Meskipun Kamera tak dapat berfungsi dengan baik, saya tak mau hanya menghabiskan malam di dalam tenda dan tertidur berteman udara yang membuat ujung jemari kaki saya membeku. Kebetulan kebutuhan logistik yang saya bawa lumayan berlebih, saya bersama Nizam memasak air dan beberapa makanan ringan yang kaya lemak siap santap. (Bersambung)

2 komentar

  1. Seruuuu. tx ya, salam kenal. salam lestari.

    From Backpacker semarang.

    BalasHapus
  2. sama-sama semoga bermanfaat. salam lestari.

    BalasHapus

Pasang Iklanmu di sini