Reading
Add Comment
Surah ke 13, Ar-Ra’d,
13 Januari 2013 Masehi
Bukan judul yang istimewa
dan bukan sengaja untuk mencari sensasi. Tapi bagi kami sekeluarga di
tanggal ini merupakan peristiwa spiritual yang membuat saya merasa
bahwa: “mati punya cara untuk berpesan.”
Pada 13 Januari 2013
masehi. Saya seorang cucu yang melihat seorang nenek yang dulu selalu
setia menggosok punggung saya yang berkeringat, karena kebiasaan
berulah sebelum tidur. Sekarang beliau hanya terbaring lemas dan
semakin kurus. Saya mengingat bahwa senyumnya yang memikat, membuat
seorang bocah akan merasa betah belama-lama untuk digendongnya. Tapi
sekarang saya mengerti, bahwa menggendong itu tak semudah yang kita
lihat. Saat kau dihadapkan dengan nenek yang kau cintai, yang
sekarang sedang kritis dan untuk menggerakkan tiap persendian, ia pun
merintih.
Saya merindukan olahan
masakannya. Terutama dengan memodifikasi sayap ayam yang dibentuk
seperti miniatur ‘Gada’, seperti senjata kesatria Bima di tokoh
pewayangan Jawa. Bagian sayap ayam yang tidak menarik itu diambil
kemudian dikumpulkan seperti bola di ujung tulang. Olahan tersebut
dibalut dengan tepung dan digoreng kering, berwarna coklat
kekuningan.
Saya dulu memang
beruntung, karena tak pernah merasakan bagaimana rasa ayam cepat saji
jaman milenium. Karena nenek saya sangat jago memasak. Apapun olahan
yang ia sentuh, semua cucu, sampai menantunya dibuat takjub. Menurut
perawi, sang nenek adalah juru masak untuk kesatuan tentara
Indonesia yang berjuang di jaman Belanda sampai tentara Jepang
takluk. Ia adalah istri seorang pejuang RI yang pada jaman Soekarno
sampai Soeharto. kemudian mendapat penghargaan sebagai pahlawan
karena baktinya bagi Nusantara, pria beruntung itu adalah kakekku:
Alm. Siyo Utomo.
Setelah shalat magrib
saya berdoa untuk kesembuhan beliau. Setelah kabar Sabtu siang yang
mengagetkan. Ia kritis, sempat tak sadarkan diri beberapa jam. Dan
membuat Bude (kakak dari ibu saya yang tinggal di Madura) bingung,
dan kawatir. Saya memanggilnya Bude-Lik. Maklum, Bude-Lik kebetulan
sendiri, suami Bude-Lik (saya memanggilnya Pakde-War) sedang tugas
diluar pulau, dan tak dapat cepat pulang karena kondisi perairan
timur Madura sangat mengkhawatirkan. Ombak tinggi dan angkutan kapal
tak dapat mengantar. Jika memaksa, sekali jalan Pakde-War mesti siap
merogoh kocek antara 800-900 ribu. Sepuluh kali lipat dari biasanya.
“Allah
yang Meninggikan lagit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia Bersemayam di atas Arasy. Dia menundukkan matahari dan
bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia
Mengatur urusan (makhluk-Nya), dan Menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhan-mu.”
(Q.S. Ar-Ra’d : 2)
Minggu setelah kami
shalat Shubuh, kami tidak langsung beranjak dari sajadah dan kembali
dengan aktivitas masing-masing. Kami memutuskan untuk mengaji dan
bermunajat kepada Sang Khaliq untuk pemberian terbaik buat sang
nenek. Atas saran dari anak tertua dari nenek (Saya memanggilnya
Bude-Gun), kami dianjurkan untuk membaca Q.S Ar-Ra’d. Setelah
membacanya secara tartil dan bersama-sama, saya semakin penasaran
untuk membaca tafsirnya. Mengapa surat ini yang Bude-Gun pilih?.
Subhanallah, setelah membacanya sayapun menitikkan air mata.
“Allah
Mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang
sempurna dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala ada ukuran di
sisi-Nya. (Allah) Yang Mengetahui semua yang gaib dan yang nyata;
Yang maha besar, Maha Tinggi. Sama saja (bagi Allah), siapa di
antaramu yang merahasiakan ucapannya dan siapa yang berterus terang
dengannya; dan siapa yang bersembunyi pada malam hari dan yang
berjalan pada siang hari. Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat
yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan
tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Dan guruh bertasbih
memuji-Nya, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya,
dan Allah Melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang
Dia Kehendaki, sementara mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan
Dia Maha keras siksaan-Nya.”
(Q.S. Ar-Ra’d : 8-13)
“Hanya
kepada Allah doa yang benar. Berhala-berhala yang mereka sembah
selain Allah tidak dapat mengabulkan apa pun bagi mereka, tidak
ubahnya seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke
dalam air agar (air) sampai ke mulutnya. Padahal air itu tidak akan
sampai ke mulutnya. Dan doa orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia
belaka.”
(Q.S. Ar-Ra’d : 14)
Berat rasanya untuk pulang, meninggalkan nenek yang masih sakit.
Maklum senin sudah mulai datang, Ayah saya seorang pegawai negeri
sipil yang saya sendiri tak mengerti, menjelang masa pensiunnya
beliau tak menendorkan ikat pinggangnya. Ayah enggan titip cekklok,
apalagi bolos. Sedangkan Ibu adalah kepala sekolah sekaligus pengajar
di taman kanak-kanak, yang mungkin lebih ribet jika dibandingkan
dengan ayah. Karena harus mengurus adik kedua yang sebentar lagi
ujian nasional dan adik ketiga yang masih berumur 5 tahun.
Kami putuskan untuk
pulang dan berjanji untuk selalu memantau keadaan nenek dari
Surabaya. Pada saat kami ingin berpamitan, kami sekeluarga memutuskan
untuk mencoba berbincang dan bertegur salam dengan nenek. Meskipun
nenek tak dapat berbicara dengan jelas, kami yakin beliau mengerti
apa yang kami bicarakan. Saat seperti ini yang buat kami tak dapat
berbuat banyak, selain membisikkan kalimat-kalimat toyyibah di
telinga kanan dan kiri sang nenek. Kami berpamitan, dan nenek
merespon dengan berucap, “ya hati-hati.” (bersambung).
0 komentar:
Posting Komentar