Reading
Add Comment
Saya sering
membayangkan berjalan mengelilingi nusantara, sampai pada akhirnya
saya tertidur dengan memimpikannya. Beberapa tempat yang datang di
mimpi itu, sering menjalar menjadi semangat untuk keluar rumah.
Mengunjungi beberapa tempat dengan melepas-bebaskan panca indra untuk
berlari memungutnya untuk saya bawa pulang. Saya sempat menjadi
seorang superior saat tiba di rumah, setelah menempuh bermil-mil
perjalanan dan pulang dengan ribuan cerita. Bercerita dengan keluarga
dan rekan-rekan bagaimana tempat tersebut saya kupas di depan telinga
mereka. Maklum beberapa dari keluarga saya (kecuali Ayah dan
kakak-kakak sepupu), mereka hanya tertarik dengan rutinitas dan
memilih untuk menghabiskan sebagian waktunya di rumah. Saya bisa
mengatakan bahwa ini, “perbedaan yang indah dalam keluarga kami”.
Jika Roy Boy
H, mengatakan bahwa ia selalu merindukan rumah
kala berpergian. Setelah lelah di jalan, maka ia kembali menyeret
kakinya. Menuju rumah. Di rumah, segala kasih untuknya tercurah.
Sungguh indah mendengarnya.
Jika rumah
adalah sejuta dari kenangan yang membuat kita untuk merindunya, saya
pun mengamini. Saat di sebuah sore saya membaca ‘Foi Fun’ blog
milik Nuran dengan judul “Rumah yang hilang”, saya jadi teringat
bagaimana saya di besarkan dulu. Pada rumah tua yang didirikan kakek
saya pada pertengahan tahun 60an. Selain saya, ada beberapa dari
anggota keluarga yang dibesarkan di rumah dengan cat hijau yang
meberi aksen menyejukkan. Warna hijaunya sangat magis, menurut saya.
Rumah tempat
saya dibesarkan ini, mungkin tak terlalu istimewa menurut sebagian
orang. Letaknya yang berada dipaling ujung sebuah gang kecil yang
buntu. Rumah yang berada di pinggiran kota Pahlawan, yang terkesan
panas telah tersulap menjadi miniatur-miniatur taman, yang paling
tidak dapat membuat mata menjadi sedikit lebih segar. Memang dan
sangat gemar bertaman. Mungkin mereka ingin suasana pedesaan tetap
ada, mereka adopsi saat awal datang ke Surabaya. Sepertinya Kakek dan
Nenek saya, ingin memberikan kesan bagaimana mereka dulu tumbuh,
dengan menghadirkan suasana desa yang berada di sudut kota metropolis
ini.
“Menolehlah
pada akar sejarah. Temukan diri Anda sendiri. Hanya dengan menemukan
akar diri, kemudian kita manusia bisa bertumbuh.” Gede
Prama
0 komentar:
Posting Komentar