10 min Reading
Add Comment
Saya mungkin salah satu orang
yang sangat susah memiliki barang dengan jangka waktu yang lama. Saya
menyadarinya saat saya duduk di bangku taman kanak-kanak. Saat saya memiliki
sebuah mainan pertama saya waktu itu, yaitu ‘mobil gila’ yang tidak dapat terbalik,
berhenti dan selalu berjalan maju. Mobil gila dengan roda gerigi plastik
berwarna hitam yang saya miliki, dapat berjalan dengan 4 buah baterai, keunikan
dari mobil gila ini jika menabrak dinding atau rintangan yang sulit sekalipun,
ia akan terus berjalan dan berbalik seperti semula dan kembali bejalan. Mungkin
pada awalnya Ayah dan Mamak saya memberikan mobil gila ini, supaya dapat dipakai
dalam waktu yang lama karena ketangguhannya, dan mungkin pada saat itu kondisi
ekonomi Ayah dan Mamak saya sedang berhemat, dengan asumsi membeli mobil gila
supaya saya tak meminta mainan baru dalam waktu yang singkat. Tetapi perkiraan
mereka meleset, belum satu minggu mobil gila ini berakhir di lubang WC saat
saya memainkannya di kamar mandi.
Ketika saya masuk sekolah dasar,
obsesi permainan saya berubah. Saya mulai menyukai permainan dengan sistem
kompetisi, atau perlombaan. Saya lebih suka bermain atau melawan teman yang
sangat jago dalam permainan itu. Seperti permainan kelereng, dan permainan
kartu yang memiliki gambar jagoan seperti power
ranger, sampai kartun beruang madu. Pada permainan tersebut indikator
pemenang atau jagoan dapat kita lihat dari seberapa banyak pemilik mempunyai
jumlah untuk tiap kelereng dan jumlah kartu tersebut. pada waktu itu, kalau
boleh sedikit menyombongkan diri, dari 3 sekolah dasar di daerah saya tak ada
yang tak kenal nama Rahman ‘si-bocel’. Aneh memang sebutan si-bocel yang
teman-teman berikan. Tapi kata ‘bocel’ sendiri bukan tanpa alasan bagi mereka
untuk memberikannya pada saya, karena tiap permainan kelereng bersama saya, tak
ada kelereng lawan yang bisa keluar mulus. Lebih sering kelereng mereka ‘bocel’
atau pecah. Mungkin ini bakat bawaan dari Ayah saya yang semasa kanak-kanak
sangat suka bermain kelereng. Kekuatan jari-jari Ayah mungkin menular pada
saya. Tetapi permainan ini, tak membuat nyaman saya, karena sang Mamak selalu
uring-uringan saat saya pulang dari sekolah. saya yang selalu membawa kurang
lebih kelereng sebanyak separuh isi topless khong-guan, membuat ruang keluarga sempit
dengan topless-topless isi kelereng. Dan akhirnya kelereng-kelereng yang saya
miliki, Mamak sumbangkan kepada saudara di desa untuk dijadikan bahan pemanis
lantai dan ubin. Mungkin Mamak balas dendam, karena perkara Mobil gila
pemberiannya berakhir di WC. Mungkin juga tidak.
Masih di bangku sekolah dasar,
saya beralih ke permainan elektronik. Saat saya memutuskan untuk memberanikan
diri ber-Khitan. Saya meminta Nitendo sebagai penghapus rasa sakit. tapi saya
beruntung tak sempat merasakan penyakit autis jaman sekarang yang anti-sosial
jika sudah dihadapkan dengan gadget tak
mengerti lingkungan sekitar, dan tak tahu waktu. Karena saya berprinsip apapun
permainan yang saya sukai, sebisa mungkin ada teman yang menemaninnya. Satu hal
lagi, saya berhemat dengan tak membeli kaset secara pribadi, karena saya pikir
sistem meminjam secara barter akan lebih hemat dan menantang. Terlebih lagi,
jika teman-teman ikut memainkannya akan ada semacam konspirasi keesokan harinya
saat kami bertemu di sekolah. Sangat menyenangkan.
Nitendo juga tak bertahan lama,
karena pada saat itu ada sebuah merk permainan yang berusaha menyainginya,
yaitu ‘Sega’. Saya merasa gaya permainan ini tak sehat, jadi saya hibahkan
kepada adik saya. Tanpa sadar, jumlah teman saya berkurang, saat saya memulai
menggumuli Nitendo dan Sega. Mungkin ada kesenjangan di sini.
Mulai memasuki akhir sekolah
dasar, saya sangat menggilai sepak bola. Sampai-sampai saya merayu Mamak dan
Ayah, supaya saya dimasukkan ke sekolah sepak bola. Waktu itu gedung Bulog
mempunyai lapangan sepak bola yang cukup luas, jika akhir pekan lapangan
tersebut dimanfaatkan untuk sekolah sepak bola. SSB Dolog Jatim namanya. Jika
kalian lahir di kisaran tahun 86-89, dan mengikuti SSB ini, besar kemungkinan
satu tim dengan saya. Saya adalah salah satu striker dan gelandang serang sisi kiri yang menakutkan. Pernah saya
jatuh terpeleset saat lapangan dalam kondisi basah, dan saya jatuh menindih
punggung bek lawan hingga ia tak sadarkan diri. Mungkin itu salah satu yang
ditakutkan lawan, karena saya tak mau rugi apalagi malu saat saya kehilangan
bola. Tanpa mengurangi sisi ke-suportifan bermain, saya selalu membantu tim
lawan untuk mengejar keunggulan tim saya. Saya pikir bermain bola lebih
menyenangkan dari sekedar menang atau kalah, mungkin pada saat itu.
Sepak bola bersama tim Dolog juga
tak lama, karena Ayah tahu saya punya bakat di atas rata-rata, saya diberi
pilihan masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri atau Sekolah Menengah Pertama
Swasta. Saya memutuskan, untuk fokus ke Ujian Nasional untuk bersiap masuk ke Sekolah
Menengah Pertama Negeri. Karena saya pikir, sepak bola adalah pelampiasan dari
keaktifan saya waktu itu. Dan saya rasa sifat hyperaktif yang saya miliki, masih dapat saya kendalikan.
Memasuki SMP, saya masih bermain
bola. Tapi saya mulai tertarik dengan bola basket. Karena saya pikir, sepak
bola memasuki tahapan tindakan kriminal dan anakis pada saat itu, dengan
bertaruh, dan adu jotos jika ada yang merasa tak terpuaskan. Berbeda dengan
bola basket, penonton olah raga ini lebih menyegarkan. Bagaimana tidak?, Hampir
90% cewek cantik yang menjadi kebanggaan sekolah akan melihat pertandingan bola
basket, meskipun itu hanya latihan. Berbeda dengan sepak bola, penontonnya
‘lontong’ semua. Permainan bola basket pada waktu itu, memang sedang naik daun.
Selain profesi sebagai perangkat OSIS, dan Pengibar bendera tiap hari Senin,
para pemain bola basket mempunyai tempat tersendiri bagi guru, apalagi
teman-teman wanita di sekolah. Ada sebuah kebanggaan jika kalian mengatakan: “Saya
anak basket, ini liat ketek gue basah!”.
Pada tahun kedua saya SMP, mata
saya mengalami kekacauan hebat. Akibat dari kegemaran saya bermain video-game dan ngumpulin novel stensilan.
Alhasil saya memakai ‘kaca-mata’. Kacamata pertama saya memang sederhana, mungkin
sang Mamak masih tak menyangka anaknya juga memakai kacamata seperti dirinya. Ada
sebuah momen yang saya masih mengingatnya. Setelah tiba di rumah, saya langsung
dibawa Mamak ke rumah temannya, sepertinya teman Mamak ini adalah teman waktu
Mamak sedang duduk di bangku SMA. Sebut saja teman Mamak ini adalah:
‘Nte-Ming’. Nte-Ming ini mempunyai toko optik di depan rumahnya. Dari namanya
saja Nte-Ming, bisa kalian prediksi seorang keturunan Tionghoa. Nte-Ming
memulai bisnis optik ini dari saat ia memutuskan kuliah di jurusan kedokteran.
Ia mengambil spesialis mata. Saya tak beruntung waktu itu, karena muka saya
yang bulat, dan sedikit gendutan, Nte-Ming menyarankan saya untuk memakai frame dengan kaca bulat, kata Nte-Ming
saya mirip ‘Bobo-Ho’. Najis. Dan Nte-Ming memberikan secara gratis. Praktis
Mamak-pun dengan kode mimik wajah yang memaksa, seperti mengatakan: “Sudah jangan
nolak rejeki!”. Dan saya-pun tak berdaya memakainya.
Sebulan saya memakai kaca-mata
aneh ini, sangat berdampak tak mengenakkan. Bukan karena ukuran minus yang tak
sesuai, melainkan efek dari memakai kacamata ‘Bobo-Ho’ ini saya menjadi ‘bulan-bulanan’
satu sekolah. Saya risih memakainnya, tetapi teman-teman sering mengatakan:
“Jika kamu sudah pakai kaca-mata, dan sering melepasnya. Akan berdampak pada
penambahan minus.” Waktu itu saya percaya, dan dibuat tak berdaya. Mental saya
teruji di momen ini, apalagi tiga hari lagi saya akan bertanding basket antar
sekolah. Pikiran buruk-pun menyertai, saat-saat intens latian bola basket, saya-pun seolah-olah tak takut jatuh
apalagi bertabrakan dengan lawan main. Saya berasumsi jika nanti terjadi
insiden seperti jatuh atau tertabrak, berharap kaca-mata aneh yang saya pakai
ini akan terlepas, jatuh, dan hancur. Dan terlihat banyak orang kalau saya tak
sengaja. Syukur-syukur bisa berkelit kalau lawan bermain sembrono yang
berakibat menjatuhkan kaca-mata saya, dan akan menggganti rugi kaca-mata saya
karena telah merusakkannya. Dan prediksi saya tepat, kaca-mata saya terpukul,
saat saya berusaha blocking shooting teman pada sesi latihan.
Kaca-mata saya jatuh dan hancur. Diluar dugaan, teman saya berjanji akan
menggantinya. Tapi kejadian ini berimbas pada pemilihan tim inti, karena
kejadian ini saya menjadi tim cadangan karena kaca-mata yang dijanjikan,baru
diganti minggu depan. Bukan solusi yang ideal.
***
Kaca-Mata
Pada pertengahan November 2012, tepatnya
tanggal 15 November. Saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah Taman
Nasional Bromo Semeru, bukan Bromo melainkan menuju tiga Ranu (baca:danau) di
kawasan Semeru: Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo. pada perjalanan ini
saya banyak bertemu kawan-kawan dari seluruh Nusantara, tetapi ada beberapa hal
yang membuat saya sedikit memicingkan mata, saat saya mengamati style para pendaki khususnya pendaki
dari kawasan Jawa Barat. Bukan karena norak, tapi sebaliknya. Para pendaki dari
Jawa barat, telah menebarkan racun pada mata dan obsesi saya. Mulai dari style berbusana, sampai cara mereka
memasak hidangan penutup malam, semua begitu sempurna menurut saya.
Setelah selesai melakukan
perjalan ‘Tiga hari Tiga Ranu’, saya memutuskan untuk membuat catatan
perjalanan. Karena saya melakukan perjalanan seorang diri. Sayang, jika tak
terliput dan tak terbagi kepada pendaki pemula seperti saya. Saya beranggapan,
di dunia ini sesuatu hal yang besar berawal dari hal yang sepele dan sedehana.
Dan pengalaman harus dibagi untuk sebuah proses belajar diri sendiri,
syukur-syukur berguna bagi pembaca yang lain. Saat saya memulai menulis,
membuat catatan perjalanan dan pada akhinya ter-publish di blog ini. Saya merasa pandangan saya sedikit kabur saat
saya selesai merampungkan catatan perjalanan. Saya kembali memeriksakan mata
saya, untuk sekedar mengetahui kondisi mata. Saya terkejut, ternyata minus saya
bertambah. Saya ingin tahu penyebab dari minus yang bertambah ini kepada dokter
mata. Dokter mata langganan saya mengatakan, kalau saya sering terkena paparan
sinar ultraviolet, yang berdampak pada bertambahnya minus. Dan sang dokter
menganjurkan untuk memakai lenda gelap atau hitam saat saya melakukan kegiatan outdoor.
Ribet. Itulah bayangan pertama
saya saat tahu saya harus memakai kaca mata hitam. Karena saya beranggapan
kalau di dalam ruangan saya memakai lensa bening, saat saya berada di luar
ruangan saya harus menggantinya dengan lensa yang lebih gelap. Memang di gerai
optik telah menyediakan kebutuhan saya, dan tak harus memiliki dua kacamata.
Tapi kita ketahui, harga kacamata yang sesuai dengan yang saya butuhkan tak
semurah yang kita bayangkan. Ambil contoh, Satu buah kacamata ber-merk ‘Oakley’ yang memiliki dua lensa
sekaligus dan bagian lensa yang lebih gelap dapat dilepas, dibandrol dengan
harga kurang lebih 4 juta. Saya menggelengkan kepala.
Terus memutar otak, dan terus
mencari. Karena bagi saya, mata adalah salah satu indera yang sangat vital.
Dengan mata saya menjadi manusia yang sangat supeior, karena dapat sedikit
mengejawantahkan ciptaan Tuhan yang Subhanallah tiada duanya. Ketakutan ini
sedikit tertolong, dengan kegiatan saya jalan-jalan di akhir pekan mengunjungi
gerai outdor. Salah satu gerai
outdor, menjual kacamata yang saya butuhkan. Setelah melihat cukup lama, saya
yakin ini yang saya cari, tetapi masalah muncul karena dompet sudah menipis,
dan belum beruntung membawa pulang kacamata sporty
ini. Saya akan kembali lagi minggu depan untuk membelinya.
Setelah uang tekumpul sesuai
dengan price tag kacamata, saya
kembali ke gerai tersebut. tak disangka, kacamata idaman sudah raib tebeli
orang. Belum jadi rejeki brooow...
Sebulan sudah, saya tak terlalu menginginkan
kaca mata itu lagi. Saya berpikir, kalau saya terlalu terobsesi, saya hanya
akan mendapatkan kekecewaan saja. Hal ini tak membuat saya berhenti untuk
menengok gerai outdor, karena saya
berasumsi jika sewaktu-waktu saya ingin melakukan perjalanan, saya sudah siap
untuk menyiapkan gear untuk
berpergian. Asumsi saya didengar, kacamata yang saya butuhkan ada. Kebetulan
juga saya membawa uang yang lebih untuk membelinya. Saya bersyukur untuk ini.
Kacamata yang ideal menurut saya,
untuk kegiatan outdor. Dengan frame berwana hitam untuk bagian telinga dan
ergonomis. Sedangkan untuk bagian kerangka tempat lensa berwana bening,
terlihat sangat sporty. Untuk penambahan lensa yang berwana gelap dapat dilepas,
dan juga dapat di lipat keatas secara horison. Untuk penyangga bagian hidung
dengan kacamata, jangan kawatir kacamata ini menggunakan bahan plastik yang
lentur tetapi tidak mudah copot seperti kacamata pada umumnya. Menurut saya,
yang lebih penting dari bagaimana kacamata yang saya peroleh ini, adalah bentuk
yang sporty, dan memiliki dua lensa: lensa minus (untuk kebutuhan mata-pandang
saya), dan lensa gelap untuk kebutuhan outdor supaya tidak terpapar sinar UV.
Berikut akan saya tampilkan kacamata yang saya maksud.
0 komentar:
Posting Komentar