Reading
Add Comment
![]() |
Cover Rolling In The Deep - Foto Adib Muhammad |
Bersama rekan-rekan komunitas Germo Patas Jatim, saya mengunjungi Gunung
Argopuro pada tanggal 9-12 Maret 2013. Start
perjalanan pada tanggal 8, pukul 21.00 WIB di Terminal Purabaya (Bungurasih)
Surabaya. Jumlah kami dua belas orang, yang mempunyai profesi cukup heterogen, mulai mahasiswa sampai raja
minyak. Mulai yang single sampai
beristri dua, Hehe.. tapi memiliki
satu visi dan hobi yang sama, yaitu mendaki gunung dan menyusuri lembah.
Tujuan pertama keberangkatan kami
sebelum mendaki ke puncak Argopuro, adalah perjalanan menuju Besuki kemudian mendaki Argopuro dengan
start melalui Baderan. Kami tiba di Besuki
pukul 2:26 tanggal 9 Maret 2013, kami disambut dengan lantunan musik dangdut
dan beberapa aktivitas pedagang kaki lima yang menjual teh hangat dan wedang kopi. Di tempat kami turun
(alun-alun Besuki) terdapat pasar,
jika kalian ingin membeli beberapa keperluan logistik bisa membelinya di sini.
Di depan alun-alun Besuki juga
terdapat Indomaret, jadi untuk pemenuhan kebutuhan sebelum mendaki kita dapat
melengkapinya di sini. Saya membeli beberapa batere untuk keperluan penerangan dan persediaan cadangan daya
untuk kamera digital.
Tidak terlalu lama kami di Besuki, sebagian rekan kami langsung
mencari angkutan yang akan mengantarkan kami ke Baderan. Kurang dari setengah jam, kami segera diboyong oleh angkot
di Besuki menuju Baderan. Kami tiba di Baderan pukul 4:50. Terlihat beberapa
rekan-rekan sesama pendaki sudah tiba terlebih dulu dari kami. Dan terlihat juga
lebih dari 15 orang pendaki yang berseragam biru-oranye sudah mendirikan tenda
dekat Sekolah Dasar yang bersampingan dengan Resort KSDA. Sepertinya mereka
adalah pendaki yang sedang mengadakan acara Diklat dari luar Jawa Timur, karena
terdengar dari logat bicara mereka (cengkok sunda campur tegal). Sebelum kami
menuju Resort KSDA untuk melapor, kami sarapan terlebih dahulu di warung nasi depan
rumah Kepala Resort Pemangkuan Hutan,
BKPH Besuki, Sumber Malang. Kuliner pagi itu, mirip nasi pecel tapi condong
ke nasi campur (yang penting kami bisa kentut). Setelah sarapan dan bersih
diri, kami segera menuju Resort KSDA Baderan yang berada di selatan dari rumah Kepala Resort Pemangkuan
Hutan. Atau mengikuti jalanan naik menuju kearah Sekolah Dasar di Baderan.
Siapkan fotocopi KTP (Kartu Tanda
Penduduk) minimal dua lembar, dan KTP asli. Atau untuk berjaga-jaga selalu
siapkan materai 6.000 rupiah untuk surat ijin masuk kawasan Konservasi
(SIMAKSI). Tetapi pada saat kami melakukan registrasi dan pengurusan ijin, hanya
menyerahkan fotocopi KTP. Untuk memasuki kawasan dan mendapat ijin mendaki, tidak
ada ketentuan besaran biaya. Tetapi tetap secara kemanusiaan, kami menyumbang
untuk kesejahteraan penjaga resort yang menurut kami, dengan jumlah penjaga
resort yang terbatas (hanya tiga orang) tak sebanding dengan tanggung jawabnya
menjaga kawasan hutan lindung yang berada di Pegunungan Yang Timur di Baderan (Argopuro). Sekedar info, saat
kita mengunjungi dan mengurus perijinan mendaki kesiapan fisik dan mental harus
benar-benar menjadi prioritas utama, karena penjaga resort di Baderan tidak segan-segan melarang
calon pendaki untuk melanjutkan pendakiannya.
Kami berfoto bersama, sebelum
meninggalkan Resort KSDA di Baderan. Untuk kenang-kenangan
dan dokumentasi Resort KSDA Baderan. Kami berdua belas langsung dijemput oleh ojek yang sudah
menunggu, kemudian kami segera meluncur meninggalkan Baderan. Dari Baderan
menuju shelter 3 dapat
ditempuh menggunakan transportasi motor (ojek) atau dapat ditempuh dengan berjalan
kaki. Tergantung selera, tenaga dan budget.
Untuk satu transportasi ojek, saya mengeluarkan biaya ± Rp. 25.000,-/motor,
dengan pertimbangan efisiensi waktu dan tenaga. Mengingat jarak tempuh
pendakian melalui Baderan sangat
panjang, menguras tenaga dan mental. Kami tiba di shelter 3 pada pukul 9:27, kami sudah disambut
dengan gerimis yang bercampur udara dingin, setelah bergoyang dengan jalan
makadam (berbatu). Baru beberapa menit perjalanan menggunakan transportasi
ojek, saya benar-benar takjub dengan pemandangan bukit-bukit dan indahnya hutan
yang terhampar di sisi kanan saya. Siapkan kamera saku untuk momen-momen
langka, dan sapalah para petani yang ada dengan salam dan senyuman yang paling
manis.
Pukul 13:49 kami tiba di Pos Mata Air 1, beberapa dari kami langsung membuka
baju untuk aklimatisasi. Dan beberapa
rekan ada yang refill air di sisi
timur tempat kami membuka matras. Terdapat sungai yang mengalir, tetapi kita
harus berhati-hati karena pada saat cuaca hujan jalan turun menuju sumber air
ini cukup licin. Sedangkan sisi barat di seberang tempat kami duduk, jika kabut
tak menghalangi terlihat pemandangan beberapa air terjun yang menawan diantara
celah-celah hutan dan bukit, Subhanallah..
Setelah cukup mengisi perut untuk
waktu siang, kami melanjutkan perjalanan yang rencananya menuju Cikasur. Tetapi pada kenyataannya
perjalanan menuju Cikasur di luar
ekspektasi kami, kabut dan hujan mulai membuat badan kami gemetaran. Savana Kecil juga belum kami lewati padahal jam tangan sudah menunjukkan
pukul 17:15. Kami sudah mulai menyiapkan penerangan, headlamp, lampu senter, dan beberapa cahaya yang dapat diandalkan
untuk menembus kabut. Kami melewati jalanan setapak bercampur lumpur akibat hujan
deras yang membuat jalanan semakin licin. Kami berjalan tanpa tendensi lagi
alias pasrah, mata kami kompak melihat dua arah, bawah (jalan setapak) dan
sedikit melirik kedepan memastikan arah perjalanan kami benar. Perasaan saya
mengatakan, ini baru dimulai!.
Hari sudah benar-benar gelap, dan
kami masih terus berjalan. Tak terhitung berapa turunan dan tanjakan yang kami
lewati. Tapi yang pasti, kami telah melewati padang rumput yang dapat saya
pastikan ini Savana Kecil, setengah yakin dan setengah
sanksi. Saat saya melewati, saya mencium aroma yang sangat wangi hampir
sepanjang ± 300 meter aroma wangi ini muncul dan kemudian lenyap begitu
seterusnya. Aroma wangi ini kata salah satu seorang rekan seperti bunga lavender, tapi menurut saya lebih
mendekati wangi bunga kantil (jika
orang Jawa menyebutnya), atau mungkin wangi bunga Edelweis. Saya tak tertarik membahasnya saat saya masih berjalan,
mungkin hanya perasaan saya sendiri. Pandangan yang terbatas, membuat saya tak
dapat mendiskripsikan secara tepat wangi apa yang tercium. Kami terus berjalan,
dan tak jarang teriakan, “Break!!”, Terdengar
setiap 30 menit sekali. Dengan track
yang tertutupi kabut, membuat jarak dari kami semakin jauh merenggang. Kami
mengalami gap.
Sampai pada tanjakan setelah Savana Kecil, kami berhenti menunggu
rekan-rekan yang masih berjuang melewati tanjakan yang terjal dan tertutupi
kabut di malam hari. Jika saya dapat menggambarkan suasana malam itu, jarak
pandang kami antara setengah meter. Sedangkan kami yang sudah berada di atas
menunggu rekan-rekan yang berjuang dengan tracking
yang menanjak, tak terasa jari-jari kaki yang tak terbalut dengan sepatu
ternyata menjadi santapan empuk lintah (hewan penghisap darah). Beberapa rekan
kami yang merokok, terpaksa mengeluarkan bungkusan tembakau untuk penawar
lintah -sang penghisap darah-.
Beberapa rekan kami, dan termasuk
saya berjalan sambil menggigil, hentakkan gigi geraham berdentum membuat bunyi
yang khas. Langkah kami juga sudah mulai tak berirama, tak jarang kaki-kaki
kami menghantam batu dan kayu yang yang melintang di jalur tracking. Pandangan terhalang oleh hujan dan pekatnya kabut, dan
kami mulai kehilangan kefokusan dalam berjalan. Ditambah lagi beban bawaan kami
dengan cariel berisikan lebih dari
kapasitas 60 liter. Kami kehilangan kesepakatan untuk perjalanan kali ini. Tim
kami yang berjumlah 12 orang terbagi dua. Delapan orang termasuk saya
memutuskan untuk bermalam di antara jalur Savana
Kecil dan Savana Besar.
Sedangkan rekan kami yang berjumlah 4 orang yang sudah mendahului kami
berdelapan, terus berjalan jauh meninggalkan kami, entah mereka akan bermalam
di mana, kami kehilangan langkah dan komunikasi malam ini. –bersambung
Photos Story: Rolling In The Deep(Part 1)
Ikuti cerita selanjutnya: Rolling In The Deep (Part 2), Rolling In The Deep (Part 3), Rolling In The Deep (Part 4)
0 komentar:
Posting Komentar