6 min Reading
Add Comment
Cerita sebelumnya: Rolling In TheDeep (Part 1), Rolling In The Deep (Part 2)
![]() |
Cover Rolling In The Deep (Part 3) - Foto Puncak Argopuro. |
Sebelas Maret, pukul 6:16 diawali
dengan Berdoa dan membuat lingkaran kecil, serta menyatukan tangan dan
berteriak, “HUUUYYAAAAA!!”. Kami berangkat menuju Puncak. Rencana kami akan
mengibarkan bendera Merah Putih di Dua Puncak yaitu Puncak Argopuro dan Puncak Rengganis. Sebelum menuju Puncak, kami singgah sebentar di Pos Rawa Embik untuk isi air
dan ‘Krosing’ (Kroso ngising, Baca:
Perasaan Buang Air atau Be’ol). Perjalanan
dari Cisentor menuju Puncak memang
melalui jalan yang menanjak dengan kemiringan rata-rata 30 derajat. Untuk
pendakian menuju Puncak kami hanya membawa one-daypack
yang berisikan air dan beberapa camilan, sedikit sobekkan tissue untuk be’ol
darurat (ini penting).
Suasana pendakian menuju Puncak
cenderung lebih khidmat, maklum sebagian besar dari kami belum pernah mendaki
Argopuro sebelumnya, dari jumlah dua belas orang yang sudah pernah mendaki
hanya dua orang saja. Ditambah lagi referensi yang kami dapat untuk pendakian
Argopuro rata-rata berinformasikan kejadian mistis, dan jalur tempuh yang
sangat panjang (banget). Tak jarang para pendaki yang telah tuntas mendaki
puncak Argopuro dan dua Puncak lainnya seperti P. Rengganis dan P. Arca,
semakin kuat untuk mendaki gunung-gunung lain di Jawa. Mungkin secara fisik dan
mental mereka terbentuk di perjalanan ini.
Jangan pernah membandingkan
sebuah destinasi Puncak satu dengan Puncak lainnya. Karena setiap destinasi
yang telah kita lampaui memiliki karakter dan tingkatan tersendiri disetiap
momennya. Mungkin timpang jika kita membandingkan puncak Argopuro dengan Mahameru.
Mahameru di film 5 centimeter nampak luar biasa pemandangannya, dengan gulungan
awan yang menyerupai ombak di Puncak tertinggi Pulau Jawa itu. Di Puncak Argopuro jangan berharap lebih, untuk mendapat pemandangan serupa
dengan Mahameru. Puncak Argopuro, dan Puncak Rengganis dari cerita rakyat merupakan
tempat pertapaan raja-raja di Jawa. Selain itu, jika ingin mencapai Puncak
tersebut, bukan perkara yang mudah untuk dapat melampauinya, kita harus
melewati beragam jalur track yang
naik dan turun. Saya sendiri di dalam hati sempat bertanya, sampai kapan kami
tiba?, mlakue gak mari-mari cak, TOP!.
Pukul 9:13, syukur Alhamdulillah
saya tiba di Puncak Argopuro dengan
ketinggian 3.088 Mdpl. Dan mencium Merah Putih dengan begitu mesra. Memanjatkan
doa kepada Allah SWT, yang telah memberikan keselamatan untuk saya sampai
Puncak. Mungkin terdengar sangat hiperbolis, tapi inilah saya, sang pecinta
momen yang diberikan oleh Allah SWT. Puncak Argopuro mungkin tak luas, mungkin
sekitar empat meter kali empat meter. Tetapi perasaan luar biasa saat berada di
sana. Antara mengalahkan diri sendiri dan teramat kecil.
Satu jam di Puncak Argopuro kami
rasa sudah cukup, kami segera turun untuk meneruskan perjalanan menuju Puncak Rengganis. Perjalanan turun
selalu lebih cepat dari perjalanan naik, tetapi tetap sama-sama menantang. Jika
perjalanan naik, kita mesti pandai-pandai mengatur pernafasan supaya asupan
oksigen dan ritme jantung stabil, jika perjalalanan turun kita harus
berhati-hati memilih jalur. Tak jarang, para pendaki tersesat dan terjatuh saat
mereka hendak turun dari puncak. Kita memiliki kuasa penuh untuk mengatur dan
memilih kemampuan yang kita punya. Dan pasrahkan pada Tuhan.
Pukul 10:27 kami tiba di
persimpangan antara jalan menuju P. Argopuro dengan jalan menuju P. Rengganis.
Ada perubahan rencana di sini, saya dan rekan saya Ovrie tak dapat ikut serta
ke Puncak Rengganis. Ovrie merasakan nyeri pada persendian kaki kirinya, dan
dengan pertimbangannya memutuskan untuk tidak ikut ke Puncak Rengganis. Saya
menemani Ovrie di persimpangan tersebut, mungkin Puncak Rengganis saya simpan lain waktu.
Perjalanan rekan-rekan ke Puncak Rengganis lebih cepat jika
dibandingkan perjalanan menuju Puncak
Argopuro, mungkin kurang lebih 1 jam perjalanan pulang-pergi dari persimpangan
menuju P. Rengganis. Setelah
rekan-rekan tuntas mengibarkan Merah Putih di P. Rengganis, kami segera ke Rawa
Embik. Adu Lari tak terelakkan di
jalur antara persimpangan Puncak menuju Rawa
Embik. Ternyata adu lari tersebut memperebutkan lahan untuk ‘krosing’, Oh ternyata!. Perilaku
teritori tak hanya terjadi saat hewan mencari makan, ternyata untuk urusan
bongkar-muat perut manusia juga terjadi, Menggelikan..
Setelah tiba di Cisentor, dan menuntaskan pendakian
menuju puncak: Argopuro dan Rengganis. Kami berencana akan
melakukan perjalanan menuju Danau Taman
Hidup. Ada beberapa opsi dari tim, bermalam semalam di Cisentor dan keesokan paginya meneruskan perjalanan menuju Danau Taman Hidup dan langsung
ke Bremi. Tapi opsi tim berangkat
langsung menuju Danau Taman Hidup setelah
makan siang.
Sebelas maret 2013, pukul 13:45 Cisentor diguyur hujan hebat. Kami
bersiap melakukan perjalanan menuju Danau
Taman Hidup. Kami berdoa di bawah siraman hujan yang deras, dan mas Aden sang
leader menyemangati kami dengan seruan,
“Ayo Kita Pulang!”. “HUUUYYAAA!”. Meow,
meoooowwwng..
Kami berjalan menyusuri jalur tracking yang diguyur hujan yang cukup
lebat, mungkin dalam hati kecil saya mengatakan, “Bukan pilihan yang tepat jika kita berjalan di bawah hujan dan kondisi
yang hampir gelap”. Mungkin ini kali kedua saya dan tim, berjalan melewati
jalur track dengan hujan dan suasana
yang hampir gelap. Saya mengira setelah dari Cisentor jalur track akan
menurun dan semakin menurun, tetapi itu tidak semuanya benar kawan. Jalur track masih ada yang menanjak, lebih
dari tiga atau lima kali. Dengan kondisi cuaca yang hujan lebat, dan sebentar
terang, kemudian gerimis memaksa kita mengurangi tempo perjalanan. Kondisi
jalan yang licin, tak jarang dari kami yang terpeleset dan berjalan jongkok
untuk menuruni track yang sangat TOP
ini. Syukur kami belum ngesot..
Jam tangan yang menunjukkan pukul
18:00, yang sedikit tak jelas karena tertutupi oleh air hujan di permukaan kaca
jam tangan. Semakin tak jelas, karena langit sudah benar-benar menjadi gelap.
Kamipun berjalan dengan mengandalkan lampu-kepala dan senter untuk memilah
jalan. Hujan belum menunjukkan tanda-tandanya untuk mereda. Dan kami pun belum
menunjukkan keinginan untuk berhenti. Sama-sama kerasnya. Karena jalur yang
saat itu kami lalui, tak ada tanda-tanda yang memungkinkan mendirikan tiga
tenda dom. Kami berjalan sudah dua
jam, dan beberapa dari kami sudah menunjukkan gelagat frustasi dengan keadaan tracking malam itu. Opsi-opsi yang
terlontar dari tiap orang, sepertinya tak menyurutkan dan mengganggu ketenangan
sang leader, Aden. Kami masih terus
berjalan dengan hujan dan kabut yang mulai pekat.
Kondisi semakin memaksa kami
untuk menjaga ketenangan. Saling pengertian, dan bersabar. Lampu senter satu
rekan saya mulai meredup dan tak dapat digunakan. Terpaksa saya berjalan
sebentar dan menengok kebelakang untuk memberi cahaya pada langkahnya. Karena
jalan yang kami lewati, terdapat ranting-ranting yang melintang rendah, jika
kita tak berhati-hati kami akan tersandung. Dan beberapa rekan mempunyai
kendala dengan sandal dan sepatunya yang tak nyaman untuk dipakai jalan, kita
sering ‘break’ pada perjalanan ini.
Badan menggigil sudah pasti di perjalanan ini. Sedangkan saya, langkah yang tak
karuan, dan kata rekan saya: “Saya menggigau
meminta untuk segera berhenti dan mencari lokasi bermalam.” Bicara yang
sudah tak jelas di ucapkan maupun didengarkan, langkah yang semakin tak
berirama dan sering tersandung adalah indikator seseorang mengalami hypotermia, dan waktu itu saya mengalaminya.
–bersambung
Photos Story: Rolling In The Deep (Part 3)
Ikuti cerita selanjutnya:
Rolling In The Deep (Part 4)
0 komentar:
Posting Komentar