Rolling In The Deep – Peak Argopuro (Part 3)




Cover Rolling In The Deep (Part 3) - Foto Puncak Argopuro.

Sebelas Maret, pukul 6:16 diawali dengan Berdoa dan membuat lingkaran kecil, serta menyatukan tangan dan berteriak, “HUUUYYAAAAA!!”. Kami berangkat menuju Puncak. Rencana kami akan mengibarkan bendera Merah Putih di Dua Puncak yaitu Puncak Argopuro dan Puncak Rengganis. Sebelum menuju Puncak, kami singgah sebentar di Pos Rawa Embik untuk isi air dan ‘Krosing’ (Kroso ngising, Baca: Perasaan Buang Air atau Be’ol). Perjalanan dari Cisentor menuju Puncak memang melalui jalan yang menanjak dengan kemiringan rata-rata 30 derajat. Untuk pendakian menuju Puncak kami hanya membawa one-daypack yang berisikan air dan beberapa camilan, sedikit sobekkan tissue untuk be’ol darurat (ini penting). 

Suasana pendakian menuju Puncak cenderung lebih khidmat, maklum sebagian besar dari kami belum pernah mendaki Argopuro sebelumnya, dari jumlah dua belas orang yang sudah pernah mendaki hanya dua orang saja. Ditambah lagi referensi yang kami dapat untuk pendakian Argopuro rata-rata berinformasikan kejadian mistis, dan jalur tempuh yang sangat panjang (banget). Tak jarang para pendaki yang telah tuntas mendaki puncak Argopuro dan dua Puncak lainnya seperti P. Rengganis dan P. Arca, semakin kuat untuk mendaki gunung-gunung lain di Jawa. Mungkin secara fisik dan mental mereka terbentuk di perjalanan ini.

Jangan pernah membandingkan sebuah destinasi Puncak satu dengan Puncak lainnya. Karena setiap destinasi yang telah kita lampaui memiliki karakter dan tingkatan tersendiri disetiap momennya. Mungkin timpang jika kita membandingkan puncak Argopuro dengan Mahameru. Mahameru di film 5 centimeter nampak luar biasa pemandangannya, dengan gulungan awan yang menyerupai ombak di Puncak tertinggi Pulau Jawa itu. Di Puncak Argopuro jangan berharap lebih, untuk mendapat pemandangan serupa dengan Mahameru. Puncak Argopuro, dan Puncak Rengganis dari cerita rakyat merupakan tempat pertapaan raja-raja di Jawa. Selain itu, jika ingin mencapai Puncak tersebut, bukan perkara yang mudah untuk dapat melampauinya, kita harus melewati beragam jalur track yang naik dan turun. Saya sendiri di dalam hati sempat bertanya, sampai kapan kami tiba?, mlakue gak mari-mari cak, TOP!.

Pukul 9:13, syukur Alhamdulillah saya tiba di Puncak Argopuro dengan ketinggian 3.088 Mdpl. Dan mencium Merah Putih dengan begitu mesra. Memanjatkan doa kepada Allah SWT, yang telah memberikan keselamatan untuk saya sampai Puncak. Mungkin terdengar sangat hiperbolis, tapi inilah saya, sang pecinta momen yang diberikan oleh Allah SWT. Puncak Argopuro mungkin tak luas, mungkin sekitar empat meter kali empat meter. Tetapi perasaan luar biasa saat berada di sana. Antara mengalahkan diri sendiri dan teramat kecil.

Satu jam di Puncak Argopuro kami rasa sudah cukup, kami segera turun untuk meneruskan perjalanan menuju Puncak Rengganis. Perjalanan turun selalu lebih cepat dari perjalanan naik, tetapi tetap sama-sama menantang. Jika perjalanan naik, kita mesti pandai-pandai mengatur pernafasan supaya asupan oksigen dan ritme jantung stabil, jika perjalalanan turun kita harus berhati-hati memilih jalur. Tak jarang, para pendaki tersesat dan terjatuh saat mereka hendak turun dari puncak. Kita memiliki kuasa penuh untuk mengatur dan memilih kemampuan yang kita punya. Dan pasrahkan pada Tuhan.

Pukul 10:27 kami tiba di persimpangan antara jalan menuju P. Argopuro dengan jalan menuju P. Rengganis. Ada perubahan rencana di sini, saya dan rekan saya Ovrie tak dapat ikut serta ke Puncak Rengganis. Ovrie merasakan nyeri pada persendian kaki kirinya, dan dengan pertimbangannya memutuskan untuk tidak ikut ke Puncak Rengganis. Saya menemani Ovrie di persimpangan tersebut, mungkin Puncak Rengganis saya simpan lain waktu.

Perjalanan rekan-rekan ke Puncak Rengganis lebih cepat jika dibandingkan perjalanan menuju Puncak Argopuro, mungkin kurang lebih 1 jam perjalanan pulang-pergi dari persimpangan menuju P. Rengganis. Setelah rekan-rekan tuntas mengibarkan Merah Putih di P. Rengganis, kami segera ke Rawa Embik. Adu Lari tak terelakkan di jalur antara persimpangan Puncak menuju Rawa Embik. Ternyata adu lari tersebut memperebutkan lahan untuk ‘krosing’, Oh ternyata!. Perilaku teritori tak hanya terjadi saat hewan mencari makan, ternyata untuk urusan bongkar-muat perut manusia juga terjadi, Menggelikan..

Setelah tiba di Cisentor, dan menuntaskan pendakian menuju puncak: Argopuro dan Rengganis. Kami berencana akan melakukan perjalanan menuju Danau Taman Hidup. Ada beberapa opsi dari tim, bermalam semalam di Cisentor dan keesokan paginya meneruskan perjalanan menuju Danau Taman Hidup dan langsung ke Bremi. Tapi opsi tim berangkat langsung menuju Danau Taman Hidup setelah makan siang.

Sebelas maret 2013, pukul 13:45 Cisentor diguyur hujan hebat. Kami bersiap melakukan perjalanan menuju Danau Taman Hidup. Kami berdoa di bawah siraman hujan yang deras, dan mas Aden sang leader menyemangati kami dengan seruan, “Ayo Kita Pulang!”. “HUUUYYAAA!”. Meow, meoooowwwng..

Kami berjalan menyusuri jalur tracking yang diguyur hujan yang cukup lebat, mungkin dalam hati kecil saya mengatakan, “Bukan pilihan yang tepat jika kita berjalan di bawah hujan dan kondisi yang hampir gelap”. Mungkin ini kali kedua saya dan tim, berjalan melewati jalur track dengan hujan dan suasana yang hampir gelap. Saya mengira setelah dari Cisentor jalur track akan menurun dan semakin menurun, tetapi itu tidak semuanya benar kawan. Jalur track masih ada yang menanjak, lebih dari tiga atau lima kali. Dengan kondisi cuaca yang hujan lebat, dan sebentar terang, kemudian gerimis memaksa kita mengurangi tempo perjalanan. Kondisi jalan yang licin, tak jarang dari kami yang terpeleset dan berjalan jongkok untuk menuruni track yang sangat TOP ini. Syukur kami belum ngesot..

Jam tangan yang menunjukkan pukul 18:00, yang sedikit tak jelas karena tertutupi oleh air hujan di permukaan kaca jam tangan. Semakin tak jelas, karena langit sudah benar-benar menjadi gelap. Kamipun berjalan dengan mengandalkan lampu-kepala dan senter untuk memilah jalan. Hujan belum menunjukkan tanda-tandanya untuk mereda. Dan kami pun belum menunjukkan keinginan untuk berhenti. Sama-sama kerasnya. Karena jalur yang saat itu kami lalui, tak ada tanda-tanda yang memungkinkan mendirikan tiga tenda dom. Kami berjalan sudah dua jam, dan beberapa dari kami sudah menunjukkan gelagat frustasi dengan keadaan tracking malam itu. Opsi-opsi yang terlontar dari tiap orang, sepertinya tak menyurutkan dan mengganggu ketenangan sang leader, Aden. Kami masih terus berjalan dengan hujan dan kabut yang mulai pekat.

Kondisi semakin memaksa kami untuk menjaga ketenangan. Saling pengertian, dan bersabar. Lampu senter satu rekan saya mulai meredup dan tak dapat digunakan. Terpaksa saya berjalan sebentar dan menengok kebelakang untuk memberi cahaya pada langkahnya. Karena jalan yang kami lewati, terdapat ranting-ranting yang melintang rendah, jika kita tak berhati-hati kami akan tersandung. Dan beberapa rekan mempunyai kendala dengan sandal dan sepatunya yang tak nyaman untuk dipakai jalan, kita sering ‘break’ pada perjalanan ini. Badan menggigil sudah pasti di perjalanan ini. Sedangkan saya, langkah yang tak karuan, dan kata rekan saya: “Saya menggigau meminta untuk segera berhenti dan mencari lokasi bermalam.” Bicara yang sudah tak jelas di ucapkan maupun didengarkan, langkah yang semakin tak berirama dan sering tersandung adalah indikator seseorang mengalami hypotermia, dan waktu itu saya mengalaminya. –bersambung

Ikuti cerita selanjutnya: Rolling In The Deep (Part 4)

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini