6 min Reading
Add Comment
Jarang sekali untuk
menuliskan resensi film, mungkin saya pikir “500 Days of Summer” adalah resensi
pertama dan terakhir saya. Menurut saya resensi film gak segampang jika
dibandingkan dengan membuat intenary
perjalanan, alias susah-susah gampang. Apalagi saya bukan tipe orang yang suka nganalisis film dengan apik dan jauh
dari harapan. Jadi sekalinya nulis resensi film, bisa dibilang saya sedikit ‘ngena’ dengan film tersebut, yah ujung-ujungnya curcol deh. Hehe.
Film ini memang gak bisa
dikatakan film baru, film yang awal release
sekitar tahun 2001. Saat saya masih duduk dibangku SMP dan baru dapat film ini,
awal masuk kuliah. Sangat lama. Film Korea yang terkenal dengan drama romance-nya yang bisa ngumbah (red: mencuci) perasaan kita
luar dan dalam. Saking ngenanya, saya
lebih dari lima kali menontonnya: “My Sassy Girl.”
Adalah Kyun-woo laki-laki lugu,
lucu, dan bodoh untuk bisa menyebutkannya dalam karakter ini. Bertemu dengan
Ji-hyun Jun wanita keras kepala, pemarah, galak, dan tak mau pernah mengalah
dengan siapapun. Pertemuan mereka berawal dari stasiun kereta yang cukup aneh
dan menggelikan. Saat itu ada seorang wanita yang berdiri melebihi garis kuning—batas
tanda larangan berdiri atau menunggu kereta tiba—di stasiun kota di Korea.
Seperti teler atau mabuk. Mungkin lebih pas untuk dibilang mabuk. Wanita
tersebut terlihat hampir jatuh ke perlintasan kereta saat kereta terlihat
meluncur dari arah kiri ia berdiri. kemudian wanita—Ji-hyun Jun—ditarik
kebelakang supaya terhindar dari kereta yang hendak melintas oleh seorang pria—Kyun-woo—yang
mengenakan tas selempang berwajah lugu. Bukannya berterima kasih, si wanita ini
malah melihat si pria dengan tatapan teler yang sangat aneh.
Kejadian ini berlanjut kedalam kereta,
si wanita mabuk ini bertingkah dengan menahan rasa mual akibat goyangan laju kereta. Dengan keadaan
berdiri tepat di hadapan seorang pria yang duduk mengenakan kaos berwarna
merah-muda. Kemudian ada seorang kakek tua yang berdiri tepat di hadapan pemuda
yang mengenakan kaos warna merah-muda, pemuda berkaos merah-muda ini tak
menghiraukan kakek tua yang berdiri dihadapannya. Kemudian spontan wanita yang
diperankan oleh Gianna Jun ini, mengeplak
kepala pemuda berkaos pink sampai ia
mengeluarkan permen karet yang dikunyahnya, tak cukup sampai disitu dia memaki
pemuda tersebut supaya berdiri dan mempersilahkan kakek tua yang berada
dihadapannya untuk duduk.
Akibat teler yang hebat, si wanita ini tak sadarkan diri. Sebelum ia
pingsan di dalam kereta, wanita ini—Ji-hyun Jun—memanggil—Kyun-woo—dengan
panggilan “sayangku” atau “kekasihku”. Sontak seisi kereta mengetahuinya,
alhasil Kyun-woo menggendong Ji-hyun keluar dari kereta karena pingsan. Kyun-woo
paling benci dengan wanita mabuk, tetapi ia tak cukup tega untuk
meninggalkannya sendiri. Sempat ia benar-benar ingin meninggalkannya di bangku
tempat penumpang menunggu kereta, tetapi ia kembali dan menggendong Ji-hyun
keluar dari stasiun kereta. Bingung karena wanita yang ia gendong belum juga
sadar dan terbangun dari telernya, ia
terpaksa mencari penginapan untuk mengistirahatkan punggungnya dan membaringkan
wanita teler tersebut.
Kejadian semakin rumit disini,
setelah Kyun-woo mendapatkan penginapan untuk mereka berdua. Bukannya terbebas
dari wanita teler yang ia gendong.
Melainkan ia sempat merasakan sel didalam penjara bersama segerombolan preman
yang berada satu sel bersamannya. Akibat ponsel Ji-hyun Jun berdering saat
mereka berdua di sebuah motel. Ternyata orang tua Ji-hyun menelpon untuk
menanyakan keberadaan putrinya. Dengan kondisi Ji-hyun yang masih tak sadarkan
diri, dengan terpaksa Kyun-woo mengangkat ponsel milik Ji-hyun dengan
mengatakan lokasi keberadaan mereka secara ditail. Setelah Kyun-woo
merampungkan acara mandinya yang sempat tertunda dengan suara ponsel milik
Ji-hyun, tiba-tiba polisi datang mendobrak pintu kamar mereka. Kyun-woo yang
tak mengenakan handuk atau sehelai kainpun kaget dan mengangkat tangannya, yang
tanpa sadar bagian “itu-nya” tak tertutupi oleh tangan. Mendekamlah sementara Kyun-woo
kedalam sel penjara akibat tuduhan pelecehan seksual.
Tak butuh waktu lama, keesokan
harinya Kyun-woo bebas. Dan Kyun-woo memutuskan untuk pulang kerumahnya. Tak
sesuai harapan saat ia sampai dirumah, dengan kondisi awut-awutan—hanya memakai
kaos dalam dan dengan rambut yang kucel—Kyun-woo
bertemu Ibunya yang sedang membersihkan lantai rumah dengan vacum. Malah gagang pembersih lantai (vacum)
menjadi pemukul yang empuk untuk Kyun-woo, karena ia telah berbohong pada
Ibunya karena tak datang menemui bibinya kemarin. Kyun-woo menggerutu, “semua ini gara-gara gadis mabuk.”
Sambil berlari menghindari Ibunya yang juga berlari mengangkat tongkat
pembersih lantai yang terus tertuju untuknya.
Saat ia tiduran dikamar sambil
membayangkan kisah hidupnya sewaktu kecil, ia mengingat kembali bagaimana ia dibesarkan
oleh keluarganya.
“Aku tahu sekarang, aku pelajar
biasa. Mahasiswa Teknik. Belajar?” Kyun-woo terbaring sambil menggaruk-garukkan
tangganya kedalam selimut yang menutupi dada dan bagian bawah tubuhnya.
“Aku pintar, tapi tidak pernah
belajar. Orang tuaku bisa membuktikannya.” Sambil cengar-cengir menikmati
garukan tangannya.
Ia ingat, saat ia masih kecil dan
nilai ujiannya mendapat nilai dengan tulisan merah ‘dua puluh’. Ia mendapat
hukuman dari kedua orang tuannya dengan mengangkat barbel dengan posisi tangan
keatas. Sambil diomeli oleh Ibunya.
“Kau pintar sepertiku, masalahmu
hanya belajar.” Ujar Ibunya kepada Kyun-woo yang masih mengangkat barbel dengan
kepala tertunduk.
Kemudian Ayah Kyun-woo yang duduk
disamping Ibunya juga ikut geregetan,
kemudian berkata sambil mengangkat tangan kearah Kyun-woo, “Karena Kau
mendapatkan kecerdasan dariku, Kau akan mendapat nilai lebih bagus jika belajar
lebih rajin.”
Kemudian ia kembali mengingat
saat tiga tahun setelah itu, ia duduk dibangku sekolah menengah. Dan setelah ia
menyelesaikan ujiannya, ia-pun masih mendapat nilai merah dan masih tetap
mendapatkan omelan dari sang Ibu
dengan ritual serupa—mengangkat barbel dengan tangan diatas—.
“Naik empat angka dalam tiga tahun.”
Kata Ibunya dengan ekspresi kecewa.
“Kau namakan ini kartu raport?”
sang Ayah juga menimpali dengan menunjuk-nunjuk kertas yang ia bawa dengan
angka merah bertuliskan angka ‘duapuluh empat’.
Kemudian kata-kata yang sama
diutarakan oleh Ayahnya kepada Kyun-woo, “Karena Kau mendapatkan kepintaran
dari Ibumu, Kau akan mendapat nilai lebih bagus jika belajar lebih rajin.”
Dalam lamunan-mimpinya Kyun-woo
berkata, “Ketika kau membesarkan seorang anak, jangan pernah katakan dia
pintar. Mereka tidak akan pernah belajar.”
“Tujuan hidupku?”
“Belum ku pikirkan.”
“Benar sekali, Aku Mahasiswa yang
tak mempunyai masa depan.”
Kemudian suara ponsel berdering
dibalik bantalnya, yang membangunkan lamunan-mimpinya. Tak disangka, ternyata
telpon yang Kyun-woo angkat bukan seperti yang ia harapkan. Suara galak nan cempreng itu dari seorang gadis. Ya
gadis mabuk yang ia temui di kereta, yang membuat Kyun-woo merasakan bagaimana bermalam
di dalam sel. Wanita itu adalah Ji-hyun. Begitulah awal mula bagaimana kisah
cinta mereka ditulis dalam manuskrip hidup mereka.
Selanjutnya saya tak ingin
berkata banyak lagi tentang film ini, biarkan anda melihatnya dan biarkan
perasaan anda terumbah (baca:tercuci)
dengan beberapa kejadian di film ini. Terutama saat wanita (Ji-hyun) berkata
kepada salah seorang prajurit yang telah patah hati dan benar-benar putus asa kemudian
hendak bunuh diri,
“Jika kau mati, dia akan cepat melupakanmu.
Apakah kau benar-benar mencintainya?, coba tanyakan pada dirimu
sendiri.
Jika kau benar-benar mencintainya, kau harus bisa melepaskannya.
Jika tidak, itu bukan cinta.
Apa yang salah membiarkan seseorang yang kau cintai menikah?.
Orang sepertimu harus belajar lebih banyak tentang cinta.
Jika kita ingin belajar,
maka kita harus tetap hidup!.” –Ji hyun–
“Takdir
adalah memberi jembatan kesempatan buat orang yang kau cintai“–My
Sassy Girl, 2001
0 komentar:
Posting Komentar