Reading
2
Comments
Orang yang tidak
pernah merasa kecewa adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita. –Pope.
Sekarang saya mengenalnya sebagai seorang reporter di salah
satu stasiun tv swasta di kota metropolis. Tapi siapa sangka wanita yang
sekarang sedang duduk bersama saya dan berbincang mengenai bagaimana ia
mencapai resolusinya menjadi seorang penulis dan repoter, yang delapan belas
tahun lalu adalah teman bermain di satu sekolah taman kanak-kanak pinggiran
Surabaya. Enam tahun lalu, kami juga bertemu di satu kelas yang sama, jaman
kuliah. Dunia ini sempit. Sebelum hilang dan menyusut, saya ingin merekamnya.
Dari tiga bulan lalu sebelum pergantian tahun, saya ingin
sekali bertemu dengan wanita berjilbab yang punya bakat ngomel ini. Mulai dari berbalas tweet
sampai berbalas pantun melalui email.
Mungkin tanggal 12 April kemarin, baru kesampaian rasa kebelet saya dengannya,
dia adalah @akustiqa.
Prolog via sms
Siman: Jeng,
kapan ada waktu?, ketemuan yuk. Ada yang mau tak diskusikan, tentang
jalan-jalan dan menulis. Sekalian pengin ngerti
gimana cara untuk publish curhat-colongan biar jadi buku seperti
yang kau lakukan akhir-akhir ini. J
Sitika: Bisa, ayo
kapan?, yuk diatur!. Lumayan tuh Men,
ngelatih kita pede buat nulis. Kapan
dan dimana?.
Siman: Jum’at,
12.April?. Siang, or Sore?, Ngerti Coffe Shop Ketintang?.
Sitika: Coffe Shop Ketintang kui sebelah endi?.
Siman: eaaa, cidak Kampus Unesa Jeng. Oke sore
ba’da Ashar, jam 15:30. Macak sing ayu
yee.. J
Sitika: sik tak golek’ane nang map. Macak gak macak, ancen dasare aku wes ayu..
Siman: preeett, bengesan sing kandel Jeng!.
***
Penulis buku jarang
intelektual. Intelektual ialah mereka yang berbicara tentang buku yang ditulis
orang lain. –Francoise Sagan.
Siman: Piye bukune laris Jeng?, saiki lagi sibuk apa?.
Sitika: Alhamdulillah
sampai tak bagi-bagikan, haha. Cuma
hari Jum’at free. Sabtu-Minggu masih ngeliput.
Siman: haha, saking larise sampek di obral. – setelah ini, saya akan merubah bahasa
kedalam bahasa Indonesia, supaya lebih mudah di pahami– J
Siman: Kalau
boleh sedikit tahu, bagaimana kamu mengawalinya?. Sampai seperti sekarang Jeng.
Sitika: Awalnya
berawal dari hoby baca Men. Lalu
semenjak pertama ada komputer di rumah waktu jaman SD dengan layar hitam sampai
biru, aku mulai nulis disitu. Tapi sebelum itu, aku sering nulis di kertas
macam diary gadis kolonial. Tapi
lama-kelamaan sering hilang, jadinya berpindah ke komputer. Masih inget dulu
belum ada hard disk dan flashdisk, lemariku penuh sama disket.
Siman: Lalu
beberapa buku dan cerita yang sempat menjadi buku itu, bagaimana inspirasi dan ceritanya
Jeng?.
Sitika: haha, ini sedikit nyempil di hati. Ceritanya sedikit kekanak-mudaan Men. Sebenarnya
secara garis besar, kita bisa dapet inspirasi dari banyak hal. Tetapi untuk
buku yang pertama, aku pakai cerita yang memang lagi ngena di hati. Mungkin itu buatku paling mudah untuk menulisnya.
Bahan dan ceritanya dari mulai kejadian paling seneng sampai paling sedih.
Siman: Hemm,
terus-terus..
Sitika: Memang aku
pengen banget jadi penulis dari kecil. Awalnya mulai ngeblog, lalu lama-kelamaan jadi sering nulis cerpen. Dan ada penerbit
yang bisa dukung itu. Udah deh makin giat, kebetulan aku pernah bener-bener free dua bulan. Jadi pas nemuin
momentum yang sip buat bikin cerpen. Tapi aku Cuma bisa buat delapan cerpen Men.
Padahal penerbit mintanya sepuluh cerpen dengan ketentuannya.
Siman: Lalu?
Sitika: Udah
sempat hopeless, tapi yang namanya
udah ngempet pastilah ada jalan.
Akhirnya aku nemuin orang di twitter, lagi curhat tentang
keinginannya untuk wujud-tin resolusi
tulisannya jadi buku. Gayung bersambut deh Men, aku tawarin untuk compare tulisannya sama aku.
Alhamdulillah terwujud!.
Siman: Memang
sudah jadi cita-cita yah dari kecil jadi penulis?. Memang, kalau boleh tau
sebagian besar inspirasi tulisannya dari mana?. (sedikit kepo nih).
Sitika: Bener,
udah ngakar dan ngempet jadi penulis dan reporter. Dan tanpa sadar, semua sudah
terwujud, Alhamdulillah. Hemm, kasih tau
gak ya?.. sebagian besar ceritanya tentang aku si Men. Dulu waktu SD aku ngefans sama temennya kakakku. Waktu itu
aku liat cowok berkacamata itu beda dan bener-bener nampak keren. Dan dia
adalah temennya kakakku, sebut saja: MA.
Lama-lama ngamatin, semua yang di MA
punya, itu bener-bener klik di aku.
Siman: eciee, lalu si MA gimana?.
Sitika: Kalau
resolusi untuk buku dan tulisan, ibarat gayung bersambut Men. Tapi kalau
masalah ini, mungki nenek gayung yang mesti bertindak. (Meringkik lirih).
Siman: Serem
amat, yah kecewa dong?. Lalu si nenek gayungnya gimana?, eh salah si MA-nya maksudnya. Dia Ngeh gak sama kamu.
Sitika: Hemm, ibarat
cita-cita Men, cinta juga punya resolusi. Yah meski Tuhan sudah mastikan gender kita beda, untuk masalah ini kita
juga punya capaian. Masa’ selalu nunggu sih?. Cukup Siti Nurbaya, Men!.
Siman: Wuiiihh,
cadas mbak bro!. TOP!, So?
Sitika: Haus Men,
minum dulu. (pengalihan topik), --dia
cengar-cengir. Kode untuk close microphone--.
Siman: Btw nih,
sekarang resolusi jadi penulis dan wartawan sudah tercapai di umur belia. (langsung dicubit dalam-dalam sama Jeng tika).
Kira-kira resolusi yang akan dicapai apalagi?.
Sitika: MENIKAH
MEN!..
Siman: OOOOOOhh, (oke langsung buang microphone!). J
Sitika: (Gelas minumnya, tiba-tiba kosong, doanya
terdengar oleh Nenek Gayung).
Siman: Oke, mungkin
ada pesan untuk para pembaca Catatan
Siman yang mungkin punya resolusi yang sama dengan kamu, Jeng?
Sitika: (Mengangkat
tangan kanan, kemudian berkata dengan nada tegas, “Mas toiletnya sebelah mana ya?”). Men, aku kebelet sipirilii.
Siman: Hemm, baik
jadi kesimpulannya: “Jika kita sudah kebelet, jangan di empet (red: ditahan). Mending salurkanlah apapun resolusimu..” Resolusi
3600 mega pixel untuk Jeng Tika. Cheers..
“Setiap orang yang
mulai sesuatu, harus menempuh jalan yang sukar, dimana ia sendiri harus mencari
arahnya. Akan tetapi ia tak perlu menempuh jalan itu dalam kegelapan, kalau ia
bisa membawa cahaya pengalaman orang lain.” –Wannamaker.
2 komentar
hahahha, anjrit. ngakak bacanya. =)))
BalasHapusyaaahh,kepo nih.. :)
BalasHapus