Reading
Add Comment
“Salah satu cara jitu mengenal sebuah kota adalah menjelajahinya dengan
cara jalan kaki. Bertatap langsung ke obyek-obyek terlupakan setelah menelisik
situs yang tidak jarang terasa masih asing, berinteraksi akrab kepada warga
setempat untuk menggali kisah unik, sampai menelaah betapa putaran waktu telah
mengubah sebuah lokasi. Ujung-ujungnya, kecintaan dan kepedulian-pun muncul.”
Kalau Bambang Susantono dalam
bukunya yang berjudul –1001 Wajah Transportasi Kita– mengatakan, “Jangan hanya bisa mengeluh macet,” Saya
pun sependapat. Karena kemacetan juga kesalahan dari kita semua. Secara tak
langsung kita menjadi sumber dari kemacetan tersebut. Mungkin tak sedikit dari
kita yang enggan disalahkan kalau harus
dipertemukan dengan permasalahan semacam ini. Ujung-ujungnya hanya
teriakan-teriakan keputus-asaan untuk berkata, “Macet sana, macet sini.” Tanpa
ada solusi. “Salahin ini, salahin itu,” mungkin itu yang paling nyaman. hehe
Dari lima tahun yang lalu saat
saya masuk kuliah, jumlah sepeda motor di kampus bisa dihitung dengan jari.
Malah untuk memarkir motor bisa seenak kita untuk menaruhnya, saking luasnya
area parkir. Memang tak secara jelas dapat dikatakan kalau lahan parkir di
kampus saya seperti tempat parkir, malah menurut saya lebih mirip kebun dari
pada area parkir motor. Keasrian pohon-pohon yang telah berumur tua menjadi
keasyikan tersendiri buat saya untuk duduk dan menikmatinya. Apalagi saya hoby mengamati burung, burung-burung
yang terbang bergelanyutan dari dahan ke ranting pohon yang berada di area
parkir kampus menjadi pertunjukan yang sangat menarik untuk diamati.
Tapi tak bisa diharapkan sama
seperti waktu itu. Sekarang di tahun 2013, kampus saya lebih mirip area parkir Mal
yang penuh dengan beraneka macam merk sepeda motor. Tak cukup itu, dulu dua
pohon Trembesi tua yang selalu nampak rindang menjadi tempat peraduan
burung-burung Kaca-mata dan Cabe. Sekarang pohon tersebut telah sirna. Telah
ditebang dan nampak padang-jingglang.
Beraneka ragam pula alasan untuk menutupi ketiadaan pohon tersebut. Kalau dulu
saya ingat, semasih menjadi tawanan mahasiswa baru. Saya dengan teman-teman
mendapat tugas untuk membuat papan identitas untuk beraneka ragam tumbuhan yang
ada di sudut-sudut taman kampus. Namun sekarang ironis, pohon-pohon yang dulu rindang
sekarang telah kalah oleh pengendara motor.
Jika saya amati, mungkin disetiap
kampus memiliki Bis antar kampus. Atau angkutan kampus yang telah disediakan
untuk warga kampus. Sekarang, kampus masa kini luar biasa terfasilitasi jadi
tak diragukan lagi berapa angkutan kampus yang tersedia. Tapi jika kita lihat,
hanya beberapa orang saja yang menggunakan transportasi tersebut. mereka lebih
nyaman menggunakan sepeda motor, dan juga mobil. Lalu pada hakikat sebenarnya,
untuk apa angkutan kampus disediakan jika lahan parkir telah penuh dengan
kendaraan roda dua dan empat. Angkutan kampus hanya menjadi pantes-pantesan saja.
Sekarang fenomenanya berbeda
tetapi ada kesamaan yang dapat kita kaji. Sekarang, jika teman setelah lulus
kuliah dan mendapat pekerjaan. Mereka dapat dipastikan akan membeli kendaraan
baru, entah itu mobil atau sepeda motor. Jika dilihat kembali, mereka-mereka
juga sudah memiliki kendaraan sebelumnya. Dengan alasan yang beragam pula,
mulai “supaya nampak keliatan hasilnya,” dan “sebagai penyemangat kerja.”
Okelah, mereka semua memiliki argumennya masing-masing.
Tapi menurut saya, kok alasannya gak masuk blas ya. Malah dalam benak saya, kalau mendengar cerita Kakek-Nenek
saya yang dulu sempat merasakan bagaimana Trem Uap masih berfungsi. Dan
aktifitas bersepeda masih ramai. Kemudian indahnya melihat aktifitas pejalan
kaki berseliweran pinggir dalan. Saya
menjadi iri, mengapa sekarang tak demikian. Sekarang jika sudah memasuki pukul
07:00 WIB, sampai pada pukul 17:00 WIB di kota metropolis bisa di saksikan
bagaimana fenomenanya. Mungkin kita adalah generasi tuek nang ndalan (baca: tua di jalan). Takut di jalan lebih lama
dan memaksa memacu laju kendaraan dengan kecepatan maksimal ditengah keramaian
pengguna jalan lainnya. Sangat miris bukan.
Mulailah dari hal yang paling
terkecil. Jika kata teman saya yang bernama Ado, “Kita ini harus merubah dunia”. Sekarang pilihanya: “Merubahnya jadi baik, atau sebaliknya. Lah
tentukno dewe.”
Memang sangat klasik, jika
berkata bahwa “Mengawali itu lebih sukar
jika hanya meneruskan saja.” Saya sependapat. Untuk menjadi habit atau kebiasaan, kita harus
membiasakannya. Tentunya dengan cara yang konsisten. Ada sedikit pengalaman
dari saya, waktu itu saya punya ide untuk berjalan menyusuri kota metropolis
ini. Ide ini saya share ke rekan
saya, dengan harapan kita dapat merasakan bagaimana kondisi saat pejalan kaki di
kota metropolis berusaha bertarung dengan ganasnya pengguna kendaraan motor
yang terkadang sewenang-wenang memakai trotoar. Tetapi hanya tanggapan
pesimistis yang saya dapat. Saya tak dapat menyalahkan, karena memang rasa
nyaman mengalahkan kepekaan. Akhirnya saya mencukupkan ide dan diskusi tersebut
dan memutuskan biarlah ini menjadi pengalaman personal saya sendiri.
Sebenarnya sepele, saat saya memutuskan
untuk berjalan. Selain saya membiasakan diri untuk tak hanya berkata macet dan
panas. Saya juga ingin mengerti bagaimana kota tempat saya tumbuh ini,
melakukan perubahan dan siklusnya. Itu semua hanya dapat terekam dengan jelas
jika kita berjalan. Kenapa orang-orang negara maju lebih suka berjalan, kenapa
kita yang katanya, “ingin maju” tapi tak mau berjalan. Ada yang bilang, “panas”
kalau kita berjalan. Haha, lupakah
kita hidup di negara tropis?, kalau panas memang semestinya. Takut kulit
menjadi gelap?, kita terlalu termakan iklan dan TV. Semestinya kita hitam,
karena kita berada di lintang khatulistiwa. Kadar pigmen (zat warna) dalam tubuh kita sangat berbeda dari masyarakat
sub tropis, yang membuat kita (kulit tropis) lebih peka dalam merespon kadar
sinar matahari. Mereka (masyarakat sub tropis) ingin mebuktikan bagaimana
menjadi lebih gelap dengan datang ke sini (tropis) sunning-lah, sun-bathing-lah. Tapi kita tak akan berhasil jika kita
pergi ke sub tropis. Kita menjadi putih itu hanya sementara, yang paling sering
terlihat lebih cerah karena tak kumus-kumus
karena efek suhu yang dingin dan sejuk. Tapi tetap saja, jika sampeyan kembali
ke tropis muka kumus-kumus itu akan
nampak indah bagi bule-bule di sana. Percayalah itu, kemudian segera berdamai
dengan dirimu sendiri.
Sekarang ada yang lebih penting
untuk kita mulai dan galakkan. Yaitu bagaimana merevolusi gaya hidup yang tanpa
kita sadari, jika kita terus-menerus melakukan habit seperti ini (boros
berkendara motor), akan memperburuk diri kita dan orang lain. Kurangilah
kendaraan pribadi, dan mulailah berjalan. Mulailah dari diri kita, dan mulailah
dari yang paling dekat. Menjadi peka itu tak sulit. Mari kita berjalan, dan
berhenti berkata macet!.
0 komentar:
Posting Komentar