5 min Reading
Add Comment
Pengantar
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan
air juga akan meningkat. Sementara itu luas hutan yang berfungsi sebagai wadah
penyimpanan air terus berkurang, karena ditebang dan dikonversi menjadi lahan
pertanian, tempat pemukiman penduduk, kawasan industri dan tempat kegiatan
lainnya.
ngomel
opini
selebihnya dusta
Air merupakan sumberdaya alam
yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup organisme dan berbagai usaha
penigkatan kesejahteraan manusia seperti perikanan, pertanian, rumah tangga, perindustrian
maupun pembangkit tenaga listrik.
![]() |
Bukan Privat Beach. Lokasi Bali. |
Berkembangnya industri, pertanian
intensif dan aktivitas pembangunan lainnya tidak saja mengurangi jumlah persediaan
air, namun juga turut memperburuk kualitas air akibat pencemaaran lingkungan
oleh limbah yang dihasilkannya.
Pencemaran sumberdaya air baik
air tawar, air laut maupun air tanah oleh kegiatan industri, pertanian dan
rumah tangga akan menyebabkan berkurangnya manfaat air untuk kepentingan
pembangunan industri yang memerlukan air bersih, pembangunan pemukiman yang
membutuhkan air yang sehat untuk menunjang kehidupan berbagai komoditas hasil
perikanan.
Selain oleh adanya pencemaran,
degradasi (kerusakan) lingkungan perairan dapat pula terjadi karena eksploitasi
sumber daya perairan yang tidak rasional misalnya karena penangkapan ikan
secara berlebihan sehingga melampaui kemampuan produksi lestarinya.
Kerusakan-kerusakan pantai dapat terjadi karena pengambilan karang batu atau
pasir secara tak terkendali hingga dapat menyebabkan terjadinya erosi pantai.
Mengingat bahwa sumber daya
perairan dapat memberikan manfaat yang besar bagi manusia, maka perlu tindakan
pengelolaan sumber daya perairan, baik terhadap kuantitas, kualitas maupun
distribusinya untuk berbagai macam kepentingan. Selain itu perlu pula dilakukan
penanganan terhadap dampak negatif yang mungkin timbul akibat “aktivitas
manusia dengan segala bentuknya yang dapat merusak ekosistem perairan.”
***
Baru-baru ini, saudara kita di
Kalimantan mendapat musibah banjir dengan tenggelamnya 29 desa, yang sebagian
besar adalah suku dayak. Beberapa bulan yang lalu, Ibu Kota Jakarta juga
dibikin pusing oleh adanya banjir yang hampir menenggelamkan kota yang memiliki
11.362.396 unit kendaraan bermotor terhitung pada tahun 2010. Praktis kota
tersebut lumpuh.
Kontras dengan berita sekarang, yang
beredar dan tayang di media elektronik dan cetak, semakin maraknya kegiatan
pelancong menyusuri sungai dan menemukan pantai eksklusif. Dengan cerita diskripsi
ketakjuban, serta teriakan ala tarsan
kampungan mengatasnamakan backpacker.
Saya sendiri juga berkaca untuk ini. Saya adalah salah satu pelakunya, dari
berjuta pejalan lain yang demen
dengan pantai biru dan ombak tenang nan
tak berpenghuni (privat beach). Saya
bebas berteriak, bertelanjang dada dan jika saya ingin, “saya juga dapat tak
berbusana.” Memang gila, nyaris tak beretika.
Tapi hal semacam itu saya lakukan
tak cukup lama, dua pantai: Sukamade dan Trianggulasih menjadi saksi bisu
ke-tak-etika-an saya. Kemudian saya memutuskan untuk berhenti mencari apa yang
disebut itu: “privat beach.” Yang ada
adalah “privat bitch.”
Jika saya terus memburunya, saya
adalah seorang yang tak lebih dari manusia serakah haus akan keindahan kemudian
membagikannya dengan bahasa deskriptif sempit, kemudian berbagi kebodohan dalam
tulisan yang dibagikan ke beberapa juta orang yang penuh penasaran dengan
harapan eksistensi diri. Padahal kata Bambang Pamungkas dalam upload instagram-nya, “bahagia itu sangat
sederhana.”
Awalnya saya tak tahu apa akibat
dari tulisan bodoh semacam itu. Mari kita ambil contoh: jika kalian mengetik
kata kunci di mesin pencari dengan pertanyaan: “Bagaimana cara pergi ke
semeru?”. Saya yakin tulisan saya yang menjadi top list disitu. Kemudian pada awal tahun 2013, Semeru seolah-olah
menjadi bak penampungan sampah dari manusia yang berkoar-koar sebagai pecinta
alam. Kemudian apa saya harus berbangga akan hal ini?, jelas tidak!. Terkadang
saya sependapat dalam opini yang dituliskan Arman Dhani bahwa, “Perjalanan
semestinya jadi sebuah bagian personal. Bukan sebuah perayaan gegap gempita
yang semua orang harus tahu.”
Saya masih berpikir, saat saya
menuliskannya --bagaimana cara pergi ke semeru-- saya menuliskannya hanya
sampai pada terminal tumpang, kemudian selanjutnya saya yakin kesiapan
pengunjung Semeru-lah yang memutuskan. Melewati pos di Ranu Pani jangan dikira
mudah, kita harus berhadapan dengan Jagawana yang super disiplin juga ketat
untuk dapat terus melanjutkan pendakian menuju Semeru. Jangankan untuk menuju
Semeru, untuk menuju Ranu Kumbolo saja, saya tak dapat berharap banyak untuk
para pendaki pemula. Bukan meremehkan, tapi pikir lagi untuk memutuskan menuju
Semeru atau Ranu Kumbolo. Kalau hanya untuk berpindah tidur, makan, dan tak
dapat menjaga alam. Lebih baik jangan lakukan.
Pernah kita dengar keluhan
masyarakat lokal kaki gunung, saat ada kabar korban pendakian berlangsung
tersiar. Mereka sangat sedih, lebih repot malah. Mereka meninggalkan pekerjaan
utama sebagai petani dan pedagang untuk mengevakuasi korban menuju gunung. Tapi
pernah kita pikir setelah kita tuntas mendaki dan berteriak lantang di puncak, kemudian
kita pulang dan turun dengan perasaan pongah, tak jarang senyuman warga lokal
hanya sebagai penghias lelah kita. Kemudian berlalu begitu gampangnya.
“Menulis perjalanan adalah
usaha untuk menulis tentang manusia dan kemanusiaan. Jika tulisan perjalanan
tak bicara tentang manusia. Maka ia adalah tulisan yang mati.” –Agustinus
Wibowo-
Kemudian saya malu, sangat malu
ternyata. Sebuah perjalanan yang saya lakukan tak lebih dari sebuah cerita
pelarian, dan mencari eksistensi belaka. Para pejalan lain juga pernah mengalami
hal seperti ini, sebuah motivasi timbul untuk melancong juga berasal dari wujud
pelarian diri. Saya mengakui.
Saya terus bertanya, masihkah ada
yang ingin berburu pantai eksotis?, kalau hanya untuk menarik pengunjung
bercoretan vandal dan menambah sampah plastik yang tak mampu mereka simpan
dengan baik. Masihkah kalian datang, kemudian menginap dirumah warga lokal,
kalau hanya untuk tidur, makan gratis dan menunggu sunrise atau sunset
keesokan harinya. Kenapa tak kau tuliskan kepada menteri sekalipun, bahwa
mereka sebenarnya merana saat kalian datang. Mi instant yang tinggal 2 bungkus
untuk makan dua hari tlah lenyap saat kalian datang. Dan mereka rela tidur
seadanya, saat kalian datang tanpa hubungan muhrim yang jelas. Lalu apa kata
tetangga.
Kemudian sisi kanan saya
menjawab: mereka selalu ada, dan tetap ada. Tapi kami bukan Traveler Gembel, yang hanya bisa
bercerita tentang sekian juta untuk omong kosong. Dan kami juga bukan Traveler Goblok yang hanya bisa
bercerita tentang birunya pantai, berburu pantai eksklusif bersama kekasih tanpa
bercerita tentang kemanusiaan. Kami sangat ‘ber-e-ti-ka’ untuk tidak
mencobanya. Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar