5 min Reading
2
Comments
Minggu pagi sengaja saya luangkan
waktu untuk pergi ke arah barat meninggalkan Surabaya. Tepat pukul 06.00 WIB,
saya menaiki angkutan kota berwarna hijau yang akan menuju terminal Bungurasih.
Saya yang menggunakan jaket berbahan katun warna biru tua, dengan setelan
celana denim, duduk di sudut paling belakang angkota itu.
ngomel
selebihnya dusta
Muka yang mengantuk di dalam
angkutan hijau yang berjalan dengan kecepatan 20 km/jam, membuat saya ingin
tertidur saja. Sedangkan Jalanan kampung yang belubang dan ‘polisi tidur’ yang
tak ada matinya setinggi 20 senti lumayan mengganggu. Kepala yang saya balut
menggunakan buff membentur jendela
angkutan itu beberapa kali. Kepala terasa pening dibuatnya. Apalagi saat mobil
angkutan itu berhenti mendadak untuk membawa penumpang lain, sontak kepala
seperti dihantam dengan batu. Argh.. Ternyata begini rasanya tidur ayam-ayaman di dalam angkutan.
Setengah jam berlalu, saya masih
berusaha keras untuk tetap terjaga dengan gaya ayam-ayaman semacam itu. Ini akibat dari bergadang menonton
pertandingan bola. Saya yang benar-benar tak kuasa menahan rasa kantuk di dalam
mobil angkutan itu, memaksa diri untuk bersahabat dengan keadaan.
Angkutan melewati masjid
Al-Akbar, selang beberapa blok dari perumahan Menanggal Indah ada seorang
wanita terlihat dari sudut mata kantuk saya, ia mengenakan sweater merah muda dengan ransel daypack warna hitam,
memberi isyarat untuk ikut serta. Perlahan saya membuka kelopak mata yang amat
berat akibat kantuk. Wanita itu masih muda, mungkin usianya kira-kira 22 atau
23 tahun. Ia menggunakan sweater
merah muda dengan celana skiny biru
muda, membuat saya sedikit tertarik untuk melihatnya. Pandangan pertama
nilainya sembilan. Ia mengenakan jilbab hitam, tetapi saya tak dapat melihat penuh
paras wajahnya, dikarenakan masker hijau—model dokter rumah sakit— yang ia
kenakan menghalangi pandangan dan rasa penasaran saya.
Saya tidak bergairah untuk
melanjutkan tidur. Pencurinya adalah wanita berjilbab hitam ini. Saya teringat
dengan pertemuan dengan teman saya si Bagio kapan hari, bebicara tentang aurat
dan sesuatu yang tersembunyi. Semakin disembunyikan, semakin membuat penasaran.
Dasar manusia, sifatnya ya itu-itu saja. Siapa yang pandai menjaga pandangan,
apalagi menjaga ‘sesuatu’ hal yang tersembunyi, mereka adalah orang-orang yang
beruntung nantinya. Itu pesan kakek saat saya kecil.
Menurut saya, angkutan umum itu
sangat unik, khususnya bemo. Mengapa? Karena kita duduk bersebelahan begitu
rapat, jarak kiri-kanan sesama penumpang lain hanya berbatas celana atau
pakaian yang kita kenakan. Tak cukup di situ, jarak antara penumpang yang
berada di depan kita juga berbatas dua lutut paha orang dewasa, satu meter pun
tak ada. Terasa dekat. Kontak mata pun juga sering tak terelakkan di sini. Saya
lebih memilih untuk sering melihat ke arah jendela kaca yang berada di sisi
kanan saya, berharap pemandangan orang yang berkendara menjadi pengalih
perhatian yang ampuh. Berharap pula ada hal yang lucu dan menghibur di balik
jendela kaca tersebut. Pilihan untuk kembali tidur pun ternyata bukan pilihan
yang tepat saat itu. Apalagi di hadapan saya ada seorang wanita bermasker hijau
yang telah mencuri perhatian dan rasa kantuk. Sial, saya mulai salah tingkah
dibuatnya. Pikiran saya mulai kemana-mana, “licik benar ia, dapat melihatku
dengan muka yang mengantuk ini. Tapi aku tak mampu melihatnya secara utuh. Cuma
matanya yang sering tertangkap oleh ku, melirik kemudian mengalihkan pandangan
dengan cepat. Lima kosong ku dibuatnya.”
Laju angkutan semakin lama,
semakin terasa aneh saat berjalan di atas jalanan berlubang, badan bergetar
naik-turun berirama. Ternyata membuat masker hijau yang wanita ini kenakan
sedikit demi sedikit bergerak turun menjauhi lekukkan antara mata dan hidungnya.
Dan saya tak sengaja melihat hidung wanita ini dengan penuh. Mancung nan
mungil, sangat lucu. Masker yang turun dari lekukan hidung bagian atas, terhenti
di bawah kedua lubang hidungnya. Menyisakan bagian bibir yang masih tertutupi
oleh masker. Ia pun tak merespon untuk menaikkannya. Ia tetap duduk dengan
tangan yang mengepal. Semoga ia tak merasa di lecehkan. Saya pun tak ada niatan
untuk membantunya menaikkan masker yang ia kenakan. Jangan, bisa-bisa adegan
berdarah terjadi di dalam angkutan. Saya hanya melihat saja, tak ada niatan
lain. Cukuplah keindahan Tuhan dan hati ini yang bersyukur telah melihatnya.
Tak terasa, sampailah kami di
terminal Bungurasih. Kami bergantian untuk turun dari angkutan. Saya memilih
untuk turun paling akhir. Membayar secara bergantian, kemudian kami berjalan
menuju peron. Perhatian saya masih tertuju pada wanita misterius ini. Ia
berjalan sangat cepat, kemudian berhenti. Saya pun tetap melenggang dengan
tenang mendahuluinya beberapa meter. Mungkin saya yang tidak diburu waktu,
berjalan dengan santai.
Beberapa menit kemudian wanita
dengan sepatu flat ini mendahului
saya dengan langkah panjang, berusaha mendahului jalan santai pagi saya di
terminal paling sibuk se-Jawa Timur. Terlihat ia melenggang dengan cepat,
sambil membenarkan letak masker yang sedikit kendor saat berada di angkutan
tadi. Terlihat masker hijau yang ia kenakan terikat begitu kuat menutupi
setengah wajahnya yang nampak putih dan bersih.
Saya hanya tersenyum melihatnya
berjalan seperti itu dihadapan saya. Sambil mbatin
dalam hati: “wanita aneeeh.” Kemudian wanita berjilbab hitam di depan saya,
berhenti. Deg! Kemudian ia menoleh ke arah saya dengan tatapan melotot seakan
memberi isyarat dengan sejuta arti. Kemudian ia memalingkan wajahnya dari
tatapan yang tertuju ke arah saya. Deg! Praktis saya bengong dibuatnya.
Dalam hati saya bertanya, “Opo de’e ngerti, opo sing tak batin?”
saya menggelengkan kepala, dan tertawa lirih.
“Wanitaaaa, oh wanita bermasker
hijau di depanku.
Kau diciptakan untuk dikagumi.
Namun belum beruntungku untuk
mengenalmu.
Hati-hati di jalan, semoga kau lekas
sampai tujuan.
Beruntung sekali, pria yang telah
menunggumu.
See u. “
“Beauty in the eye of the beholder. Beauty in thing exists in the mind which contemplates them.”
Terminal Purabaya, 26
Mei 2013
Pria dengan Muka Kantuk
PS: Tulisan ini sebagai pematik opini terhadap pelecehan
seksual yang kerap terjadi di wilayah umum, terutama dalam transportasi umum.
Saya menuliskannya murni untuk sesuatu hal kekaguman yang dimiliki oleh seorang
manusia ciptaan Tuhan. Selain keindahan alam, keindahan sisi manusia sebagai
wujud syukur kepada sang Khaliq.
2 komentar
ihiiiiiii~ ngene g crito2 yo kowe :D
BalasHapushhaha.. bung Reo jadi kepo begini. :)
Hapus