5 min Reading
6
Comments
“Hari sabtu ada wayang kulit di
daerah Kebun bibit, Men. Datang yuk!.” Ajakan untuk menghadiri
pertunjukan wayang di kawasan Kebun Bibit Surabaya, hanya keisengan semata. Terucap begitu saja oleh kawan saya, bernama
Adit.
Sabtu malam selepas magrib, beberapa kawasan di Surabaya terguyur hujan cukup deras. Hal itu juga terdengar dari beberapa pendengar radio Suara Surabaya, yang melaporkan keadaan lalu lintas lewat sesi kelana kota. Saya hampir pesimis untuk datang melihat pertunjukkan wayang kulit. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi, tanda sms masuk. “Santai Men, jam 21.00 WIB. Udanne mandek, disingkap karo dukun. :) ” pesan singkat dari Adit, kepada saya. Saya pun tersenyum setuju.
budaya
ngomel
opini
pejalan
wisata malam
Sabtu malam selepas magrib, beberapa kawasan di Surabaya terguyur hujan cukup deras. Hal itu juga terdengar dari beberapa pendengar radio Suara Surabaya, yang melaporkan keadaan lalu lintas lewat sesi kelana kota. Saya hampir pesimis untuk datang melihat pertunjukkan wayang kulit. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi, tanda sms masuk. “Santai Men, jam 21.00 WIB. Udanne mandek, disingkap karo dukun. :) ” pesan singkat dari Adit, kepada saya. Saya pun tersenyum setuju.
Hujan yang begitu derasnya hanya
bertahan kira-kira satu jam lepas magrib, berganti gerimis. Kemudian langit
nampak berwarna hitam keabu-abuan, memberi isyarat bahwa air langit masih
tersimpan. Saya segera bergegas untuk menyiapkan diri untuk berangkat menuju
rumah Adit, kami memutuskan untuk berangkat bersama.
Wayang memang tak asing bagi saya,
meski di keluarga saya hampir tak pernah mengadakan pagelaran wayang atau “mengundang pak dalang dan bu sinden untuk
manggung di acara saya.” Tapi di daerah saya masih sering didapati
pertunjukkan wayang yang diadakan untuk beberapa acara tertentu: khitan, hari
jadi desa, atau acara ulang tahun keluarga pejabat. Beda saya, beda Adit. Ia
termasuk beruntung pernah duduk di deretan paling depan dalam menyaksikan
pertunjukkan wayang, yang sempat ia dan keluarganya adakan di daerah
Banyuwangi. Raja minyak!
Tak sampai 20 menit dari rumah
Adit menuju lokasi pagelaran wayang kulit. Kami berlima segera menuju suara
sinden dengan nada slendronya yang khas mengisyaratkan bahwa pertunjukkan sudah
dimulai. Luar biasa, antusias warga setempat. Meski wayangan ini diadakan di
kota metropolis macam kota Surabaya, tak menyurutkan animo penonton yang hadir.
Tua-muda, pria-wanita, bocah-tengil tumplek-bleg.
Wayang yang telah diakui sebagai
warisan budaya Indonesia pada tanggal 7 November 2003 sebenarnya bukan karena
semata-mata ada begitu saja. Hal ini ada dan diakui oleh dunia, karena
masyarakat kita sangat antusias dan peduli akan warisan budaya yang syarat akan
makna dan edukasi. Dengan media wayang, kita tak sadar telah mendapatkan
beberapa sajian seni yang beragam: meliputi seni peran, seni suara, seni musik,
seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang.
Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media
penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Dan
ini semuanya Free, alias gratis-tis, yang gak
gratis: kacang rebus, teh anget, kopi, lan
udute. Haha
Kami berlima, terus berjalan
mendekati panggung. Kami berada di sisi yang dapat melihat dalang, pesinden,
dan penabuh gending. Karena kami ingin menyaksikan bagaimana seni Jawa yang
komplit ini berpadu secara harmoni. Selain itu, saya penasaran dengan wajah
pesinden yang nampaknya seperti bule. Sebenarnya sih, gak terlalu
penasaran-penasaran amat, toh wajah bule ya gitu-gitu aja masih kalah top sama
wajah pribumi (tetangga sendiri). :)
Memang untuk mencintai dalam hal
ini budaya, kita harus mirsani rumiyin
(baca: lihat dahulu). Kalau istilah anak muda, adalah ‘pandangan pertama’. Saya
memang jatuh cinta pada pagelaran wayang karena saat saya duduk di bangku
sekolah dasar, saat membaca buku Mahabarata. Secara ringkas diceritakan
bagaimana kisah pandawa lima berperang dengan kurawa yang memiliki jumlah yang
lebih banyak, “seribu orang yang melambangkan sifat manusia dari sisi
kejahatan.” Sangat seru untuk mengikuti kisahnya waktu itu. Dari sini saya
tertarik untuk melihat pagelaran seni wayang kulit, dulu televisi nasional
sering menayangkan pagelaran seni wayang. Ya semoga masih ada acara semacam
itu, daripada anak muda disuguhi kisah drama televisi pria naik vespa bonceng
wanita berwajah rupawan. Toh jaraaaaanng banget dikehidupan real, pria bervespa yang dibonceng
wanita rupawan. Yang ada mah bawa sapu lidi, baliho bekas dicantolin di sespan. Sambil teriak woyo, woyoo..
Beberapa hal yang saya
tunggu-tunggu dalam pagelaran wayang ini, yaitu saat pak dalang memunculkan punakawan.
Punakawan adalah tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng,
Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain.
Punakawan ada diantaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan
keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Saya sempat tersindir oleh
beberapa dan banyak hal. Terutama tentang pemahaman saya akan budaya dan
wawasan akan berbudaya. Ada yang bilang begini, “Sampeyan tiang Jowo, tapi mboten ngerti Jawane.” Tujuh kata yang singkat namun memiliki arti
yang sangat luas dan kompleks. Sangat kompleks menohok bagi saya. Bisa jadi
kalimat tersebut, mengatakan secara lirih di telinga saya: “kamu harus tahu asal-usulmu, dari atap atau palimbahan?.”
______________________________________________________________________________
Radityo Pradipta adalah pecinta fotografi alam liar khususnya burung, yang masih melakukan studinya di salah satu universitas negeri di Surabaya, dengan program pasca sarjana bidang imunologi. Pria yang lahir bulan Desember ini lahir di Jakarta, selain memilki hobi fotografi ia sangat gemar baca dan menelaah budaya dan film.
Pria yang sekarang sedang melakukan program pelangsingan badan ini juga telah membukukan karya fotografinya yang berjudul "Burung Pantai Wonorejo." bersama kedua rekannya Lukman Nurdini dan Cristian Agung, yang merupakan pengamat Burung asal Surabaya.
berikut adalah foto-fotonya saat kami mengikuti pagelaran wayang bersama.
______________________________________________________________________________
Radityo Pradipta adalah pecinta fotografi alam liar khususnya burung, yang masih melakukan studinya di salah satu universitas negeri di Surabaya, dengan program pasca sarjana bidang imunologi. Pria yang lahir bulan Desember ini lahir di Jakarta, selain memilki hobi fotografi ia sangat gemar baca dan menelaah budaya dan film.
Pria yang sekarang sedang melakukan program pelangsingan badan ini juga telah membukukan karya fotografinya yang berjudul "Burung Pantai Wonorejo." bersama kedua rekannya Lukman Nurdini dan Cristian Agung, yang merupakan pengamat Burung asal Surabaya.
berikut adalah foto-fotonya saat kami mengikuti pagelaran wayang bersama.
foto oleh Radityo Pradipta. |
foto oleh Radityo Pradipta. |
foto oleh Radityo Pradipta |
6 komentar
aseemm,,program pelangsingan jaree,,
BalasHapusbig is beautipul boi,,beautipully ngglundung glundung...
hahaha, Babon. Bukan Trengguling. :)
HapusAssalamu'alaikum wr wb.
BalasHapusRek, piye kabare? Adit sisan?
Dit, kalo berhasil program pelangsingannya kasih resepnya ya :)
Wish all of you always get the best.
nb: Mamen, itu nontonnya pake bahasa kawi ya? Ra ngerti blas wes --"
Waalaikumsalam wr wb.
Hapushahaha, jeng fitri malah tanya program pelangsingan. ndang balap karung para genduters..
Adit kan translator bahasa kawi fit. tuh namanya Pringgo. ;)
salam budaya. semoga wayang terus jaya !!!
BalasHapusSalam budaya Nusantara, Amiin. Salam kenal, dan matur suwun sampun mampir ke blog nubi ini mas Sofyanda :)
Hapus