6 min Reading
2
Comments
Kamis sore. Saya sedang menjalani
ritual ‘medang’ di salah satu kedai
kopi langganan saya, sambil utak-atik tut
keyboard bak pemuda yang haus akan berita. Sesekali bertukar cerita tentang
isi berita di koran dengan hisapan kretek bersama beberapa pengunjung kedai
kopi yang duduk bersebelahan dengan saya. Meski kami tak kenal dan belum pernah
bertemu sebelumnya, tapi kami begitu akrab membahas beberapa peristiwa yang
menghangat di koran dan kabar dari televisi, yang sengaja disediakan oleh
penjaga kedai untuk menambah kenyamanan pengunjung. Bertukar opini mulai kasus
pencurian sampai daging sapi yang mulai basi untuk dijadikan ‘kode’ dari kasus
korupsi. Itulah yang saya suka dari kedai kopi, dan saya menikmatinya sore itu.
Kemudian saya teringat pada salah
satu rekan saya yang menjadi reporter stasiun televisi swasta di Surabaya. Saya
memanggilnya: Jeng Umik. Pertemuan kami cukup unik, pertama kali saya
mengenalnya saat saya duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Kemudian kami tak
ingat lagi dan hilang komunikasi selama sembilan tahun. Kemudian kami bertemu
kembali di salah satu Universitas Negeri di Surabaya, sebagai mahasiswa satu
jurusan. Saya selalu tertawa jika mengingatnya, saat kami menyadari kalau kami
berdua adalah teman semasa TK.
Jeng Umik sebelum menjadi
reporter Tv, ia adalah salah satu wanita di kampus yang super sibuk dengan
beberapa kegiatan Ormawa-nya. Entah itu BLM (Badan Legislatif Mahasiswa), sampai
Pemandu di acara Pemaba (Penyambutan Mahasiswa Baru). Saking sibuknya, saya tak
begitu akrab dengannya meski kami satu jurusan. Bertemu dengannya hanya waktu
di kelas jika ada kuliah bareng. Selepas itu, entah ia berada dimana. Mak plencing!
Meski intensitas pertemuan kami
yang terbilang cukup jarang. Namun pernah ada beberapa kejadian emosional yang
terjadi antara saya dengan Jeng Umik. Waktu itu, tepatnya di acara Pemaba. Kami
sempat gak enakkan, dikarenakan perbedaan pendapat tentang gaya kepemimpinan
ketua Pemaba saat itu. Kami debat, dan kami mengeluarkan argumen yang saling
menunjukkan titik keegoisan seorang Mahasiswa. Saya yang keras dan merasa punya
tanggung jawab untuk acara, tak menunjukkan rasa mengalah sedikitpun. Jeng Umik
adalah seorang wanita yang memiliki karakter kepeduliannya yang begitu besar
untuk acara tersebut. Ego kami bertemu. Karena rekan-rekan yang solid, kami memutuskan
untuk berdamai. Toh, tujuan saya dan Jeng Umik juga satu, cuman caranya saja
yang harus berbeda. Inilah organisasi kemahasiswaan dengan ego dan geliatnya.
Saya beruntung pernah berada di dalamnya.
Setelah Jeng Umik lulus,
mendahului saya. Kabar dan keeksistesiannya tak terekam oleh saya. Mungkin
sifatnya masih sama: Mak Plencing!, kemudian
beberapa bulan, ia muncul di grub FB angkatan dengan postingan: ‘Launching Buku’.
Saya adalah orang yang mempunyai sifat buruk yaitu mangkelan, jadi nampak sewot di grub waktu itu. Saya komen lumayan nyelekit dengan akses bercandaan kampung,
serupa saat saya bertemu Billy di koran.
Berharap komenan saya dalam grub Fb angkatan adalah latihan awal untuk Jeng
Umik menjadi seseorang yang terdidik mentalnya menerima dan menanggapi cercaan
dan kritikan pedas. Sebelum Ia benar-benar terjun ke dunia tulis menulis yang
sebenarnya, berhadapan dengan monster sosial media. Toh, kritikan dari
seseorang yang bukan siapa-siapa semacam saya gak ada efeknya bagi Jeng Umik
yang syarat pengalaman. Paling gak, saya ingin menunjukkan bahwa setiap karya
pasti ada efeknya dan penciptanya dapat mempertanggung-jawabkan.
Pada beberapa bulan yang lalu
saya menemuinya. Saya tertarik untuk sharing
beberapa hal yang mendasari wanita berjilbab ini untuk membuat buku. Moment
perjumpaan saya dengan Jeng Umik, saya catat di Resolusi Cita Akustika. Saya mulai menyelami apa yang menjadi
resolusi karyanya. Mungkin nampak egois, saat kisah curhatannya dikemas ke dalam
bingkai fiksi dan dicetak dengan sistem independen. Kemudian sang awam
dibiarkan untuk membaca ceritanya, dari penulis amatir. Awalnya saya
berpendapat bahwa proses untuk membuat buku yang ia lakukan mudah dan sangat instant. Semua orang bisa lakukan. Berbeda
dengan proses pada umumnya. Mindset
yang masih tertanam di masyarakat, untuk mewujudkan karya dalam bentuk buku
terbilang rumit dan penuh keseleksian dari penerbit untuk layak tampil ke
publik. Tapi hal ini terbantah dengan karya Jeng Umik yang direalisasikan
secara mandiri dan penuh syarat mimpi. Senada dengan moto sang penerbit: Publish your Dream!, dan ditambah
perkataan dari Jeng Umik kepada saya, “Dengan ini Men, kita makin pede untuk
nulis!” Sambil mengangkat buku pertamanya dihadapan saya.
“Whatever You can do or dream You can, begin it. Boldness has genius,
power and magic in it”. –Gothe-
Dari perasaan mangkel saya,
selalu disusupi perasaan mendendam: saya harus bisa, lebih dari mereka. “Barang kethok ae mosok gak isok?” tapi
mungkin perasaan semacam ini masih sulit diterima oleh sebagian orang yang
belum benar mengenal saya. Ada yang berpendapat saya ini envy, gak suka lihat temennya maju, dan saya dibilang selalu
nambahin dosa. Saya hanya bisa memakluminya sebagai kajian intropeksi diri.
Karena perasaan mangkel yang saya miliki bukan tertuju kepada seseorang yang
telah berkarya dan berani mewujudkannya, melainkan perasaan mangkel yang muncul
murni tertuju untuk saya sendiri. Ambil istilah orang Surabaya, “Manasi Atine dewe.” Bersemangat untuk
dirinya sendiri, supaya lebih baik.
Intinya, beberapa bulan yang lalu
proses mangkel itu meluap. Panas hati tak terbendung, ibarat air mendidih di
dalam teko yang siap meletup. Saya menghubungi Jeng Umik untuk ketemuan. Saya
mempunyai prinsip, kalau saya mangkel sama seseorang saya gak akan menjauhinya
melainkan semakin saya dekati. Belajar darinya semakin banyak. Bertukar
pendapat, beradu opini untuk hal yang lebih maju. Beda halnya dengan sesuatu
yang saya sukai, saya akan menjauhinya. Opini saya: hal yang saya sukai dan
saya kuasai, saya dekati sekarang atau nanti akan tetap sama, tetap mudah. Beda
halnya dengan sesuatu yang sukar, sekarang apa nanti akan terasa sukar.
Akhirnya, saya membuat janji
secara santai di kedai siap saji di bilangan Ahmad Yani Surabaya. Sebelumnya
saya memberi pesan singkat: bahwa saya akan membeli semua apa yang sudah Ia
tulis dan tercetak. Ini adalah usaha terakhir yang saya lakukan, setelah kuis
yang Ia adakan via Blog personalnya untuk mendapatkan Buku ke tiganya gagal
saya dapatkan. Selain itu, saya sebagai teman kecil dan teman seperjuangan di
perkuliahan begitu bangga mengenal Jeng Umik, karena Jeng Umik telah memberi
inspirasi kepada banyak orang khususnya saya sebagai temannya. Bahwa hidup
harus memiliki resolusi dan mimpi.
“Help others achieve their dreams and You will achieve Yours.” –Les Brown-
Perasaan mangkel saya mereda saat
bertemu dengan Jeng Umik. Berbicara mengenai bukunya, proses pembuatannya,
sampai inti dari semua inspirasi yang selalu menjadi ‘api kemangkelannya yang
selalu meledak-ledak’ dan akhirnya terwujud menjadi sebuah karya diri yang menginspirasi
saya yang bodoh dan haus akan keingintahuan. Sekarang saya telah memiliki tiga
buku karya Atiqoh Hasan: Lollypop Love, Bitter Sweat Love, dan Perfect Goodbye.
Dalam jangka dekat InsyaAllah akan saya buat review pedas untuk tulisannya. Sehingga pembaca mengerti: menulis
buku itu bukan main-main, melainkan wujud dari sebuah mimpi.
“When You have a dream U’ve got to grab it and never let go.” –Carol Burnett.
Post-scriptum: Tulisan ngawur ini sebagai apresiasi atas tercetaknya
tiga buku karya Atiqoh Hasan dan pereda api mangkel yang saya miliki
terhadapnya. Saya beruntung mendapatkan pesan tertulis dan tanda tangan sang
penulis secara langsung, karena saya percaya bahwa sesuatu yang besar berawal
dari hal yang kecil, dan mungkin disepelekan oleh sebagian orang. Tabik!
2 komentar
hahaha tetot! aku lho dulu nggak aktif di kampus. molean. haha
BalasHapusEh Jeng Umik muncul. Jadi malu. :')
HapusOjo macak dadi mantan mahasiswa (kupu-kupu ) ngunu ta wah. :D