When You have a Dream...


Kamis sore. Saya sedang menjalani ritual ‘medang’ di salah satu kedai kopi langganan saya, sambil utak-atik tut keyboard bak pemuda yang haus akan berita. Sesekali bertukar cerita tentang isi berita di koran dengan hisapan kretek bersama beberapa pengunjung kedai kopi yang duduk bersebelahan dengan saya. Meski kami tak kenal dan belum pernah bertemu sebelumnya, tapi kami begitu akrab membahas beberapa peristiwa yang menghangat di koran dan kabar dari televisi, yang sengaja disediakan oleh penjaga kedai untuk menambah kenyamanan pengunjung. Bertukar opini mulai kasus pencurian sampai daging sapi yang mulai basi untuk dijadikan ‘kode’ dari kasus korupsi. Itulah yang saya suka dari kedai kopi, dan saya menikmatinya sore itu.

Kemudian saya teringat pada salah satu rekan saya yang menjadi reporter stasiun televisi swasta di Surabaya. Saya memanggilnya: Jeng Umik. Pertemuan kami cukup unik, pertama kali saya mengenalnya saat saya duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Kemudian kami tak ingat lagi dan hilang komunikasi selama sembilan tahun. Kemudian kami bertemu kembali di salah satu Universitas Negeri di Surabaya, sebagai mahasiswa satu jurusan. Saya selalu tertawa jika mengingatnya, saat kami menyadari kalau kami berdua adalah teman semasa TK.

Jeng Umik sebelum menjadi reporter Tv, ia adalah salah satu wanita di kampus yang super sibuk dengan beberapa kegiatan Ormawa-nya. Entah itu BLM (Badan Legislatif Mahasiswa), sampai Pemandu di acara Pemaba (Penyambutan Mahasiswa Baru). Saking sibuknya, saya tak begitu akrab dengannya meski kami satu jurusan. Bertemu dengannya hanya waktu di kelas jika ada kuliah bareng. Selepas itu, entah ia berada dimana. Mak plencing!

Meski intensitas pertemuan kami yang terbilang cukup jarang. Namun pernah ada beberapa kejadian emosional yang terjadi antara saya dengan Jeng Umik. Waktu itu, tepatnya di acara Pemaba. Kami sempat gak enakkan, dikarenakan perbedaan pendapat tentang gaya kepemimpinan ketua Pemaba saat itu. Kami debat, dan kami mengeluarkan argumen yang saling menunjukkan titik keegoisan seorang Mahasiswa. Saya yang keras dan merasa punya tanggung jawab untuk acara, tak menunjukkan rasa mengalah sedikitpun. Jeng Umik adalah seorang wanita yang memiliki karakter kepeduliannya yang begitu besar untuk acara tersebut. Ego kami bertemu. Karena rekan-rekan yang solid, kami memutuskan untuk berdamai. Toh, tujuan saya dan Jeng Umik juga satu, cuman caranya saja yang harus berbeda. Inilah organisasi kemahasiswaan dengan ego dan geliatnya. Saya beruntung pernah berada di dalamnya.

Setelah Jeng Umik lulus, mendahului saya. Kabar dan keeksistesiannya tak terekam oleh saya. Mungkin sifatnya masih sama: Mak Plencing!, kemudian beberapa bulan, ia muncul di grub FB angkatan dengan postingan: ‘Launching Buku’. Saya adalah orang yang mempunyai sifat buruk yaitu mangkelan, jadi nampak sewot di grub waktu itu. Saya komen lumayan nyelekit dengan akses bercandaan kampung, serupa saat saya bertemu Billy di koran. Berharap komenan saya dalam grub Fb angkatan adalah latihan awal untuk Jeng Umik menjadi seseorang yang terdidik mentalnya menerima dan menanggapi cercaan dan kritikan pedas. Sebelum Ia benar-benar terjun ke dunia tulis menulis yang sebenarnya, berhadapan dengan monster sosial media. Toh, kritikan dari seseorang yang bukan siapa-siapa semacam saya gak ada efeknya bagi Jeng Umik yang syarat pengalaman. Paling gak, saya ingin menunjukkan bahwa setiap karya pasti ada efeknya dan penciptanya dapat mempertanggung-jawabkan.

Pada beberapa bulan yang lalu saya menemuinya. Saya tertarik untuk sharing beberapa hal yang mendasari wanita berjilbab ini untuk membuat buku. Moment perjumpaan saya dengan Jeng Umik, saya catat di Resolusi Cita Akustika. Saya mulai menyelami apa yang menjadi resolusi karyanya. Mungkin nampak egois, saat kisah curhatannya dikemas ke dalam bingkai fiksi dan dicetak dengan sistem independen. Kemudian sang awam dibiarkan untuk membaca ceritanya, dari penulis amatir. Awalnya saya berpendapat bahwa proses untuk membuat buku yang ia lakukan mudah dan sangat instant. Semua orang bisa lakukan. Berbeda dengan proses pada umumnya. Mindset yang masih tertanam di masyarakat, untuk mewujudkan karya dalam bentuk buku terbilang rumit dan penuh keseleksian dari penerbit untuk layak tampil ke publik. Tapi hal ini terbantah dengan karya Jeng Umik yang direalisasikan secara mandiri dan penuh syarat mimpi. Senada dengan moto sang penerbit: Publish your Dream!, dan ditambah perkataan dari Jeng Umik kepada saya, “Dengan ini Men, kita makin pede untuk nulis!” Sambil mengangkat buku pertamanya dihadapan saya.

“Whatever You can do or dream You can, begin it. Boldness has genius, power and magic in it”. –Gothe-

Dari perasaan mangkel saya, selalu disusupi perasaan mendendam: saya harus bisa, lebih dari mereka. “Barang kethok ae mosok gak isok?” tapi mungkin perasaan semacam ini masih sulit diterima oleh sebagian orang yang belum benar mengenal saya. Ada yang berpendapat saya ini envy, gak suka lihat temennya maju, dan saya dibilang selalu nambahin dosa. Saya hanya bisa memakluminya sebagai kajian intropeksi diri. Karena perasaan mangkel yang saya miliki bukan tertuju kepada seseorang yang telah berkarya dan berani mewujudkannya, melainkan perasaan mangkel yang muncul murni tertuju untuk saya sendiri. Ambil istilah orang Surabaya, “Manasi Atine dewe.” Bersemangat untuk dirinya sendiri, supaya lebih baik.

Intinya, beberapa bulan yang lalu proses mangkel itu meluap. Panas hati tak terbendung, ibarat air mendidih di dalam teko yang siap meletup. Saya menghubungi Jeng Umik untuk ketemuan. Saya mempunyai prinsip, kalau saya mangkel sama seseorang saya gak akan menjauhinya melainkan semakin saya dekati. Belajar darinya semakin banyak. Bertukar pendapat, beradu opini untuk hal yang lebih maju. Beda halnya dengan sesuatu yang saya sukai, saya akan menjauhinya. Opini saya: hal yang saya sukai dan saya kuasai, saya dekati sekarang atau nanti akan tetap sama, tetap mudah. Beda halnya dengan sesuatu yang sukar, sekarang apa nanti akan terasa sukar.

Akhirnya, saya membuat janji secara santai di kedai siap saji di bilangan Ahmad Yani Surabaya. Sebelumnya saya memberi pesan singkat: bahwa saya akan membeli semua apa yang sudah Ia tulis dan tercetak. Ini adalah usaha terakhir yang saya lakukan, setelah kuis yang Ia adakan via Blog personalnya untuk mendapatkan Buku ke tiganya gagal saya dapatkan. Selain itu, saya sebagai teman kecil dan teman seperjuangan di perkuliahan begitu bangga mengenal Jeng Umik, karena Jeng Umik telah memberi inspirasi kepada banyak orang khususnya saya sebagai temannya. Bahwa hidup harus memiliki resolusi dan mimpi.

“Help others achieve their dreams and You will achieve Yours.–Les Brown-

Perasaan mangkel saya mereda saat bertemu dengan Jeng Umik. Berbicara mengenai bukunya, proses pembuatannya, sampai inti dari semua inspirasi yang selalu menjadi ‘api kemangkelannya yang selalu meledak-ledak’ dan akhirnya terwujud menjadi sebuah karya diri yang menginspirasi saya yang bodoh dan haus akan keingintahuan. Sekarang saya telah memiliki tiga buku karya Atiqoh Hasan: Lollypop Love, Bitter Sweat Love, dan Perfect Goodbye. Dalam jangka dekat InsyaAllah akan saya buat review pedas untuk tulisannya. Sehingga pembaca mengerti: menulis buku itu bukan main-main, melainkan wujud dari sebuah mimpi. 


 “When You have a dream U’ve got to grab it and never let go.” –Carol Burnett.



Post-scriptum: Tulisan ngawur ini sebagai apresiasi atas tercetaknya tiga buku karya Atiqoh Hasan dan pereda api mangkel yang saya miliki terhadapnya. Saya beruntung mendapatkan pesan tertulis dan tanda tangan sang penulis secara langsung, karena saya percaya bahwa sesuatu yang besar berawal dari hal yang kecil, dan mungkin disepelekan oleh sebagian orang. Tabik!

2 komentar

  1. hahaha tetot! aku lho dulu nggak aktif di kampus. molean. haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh Jeng Umik muncul. Jadi malu. :')

      Ojo macak dadi mantan mahasiswa (kupu-kupu ) ngunu ta wah. :D

      Hapus

Pasang Iklanmu di sini