Reading
Add Comment
Saya merupakan salah satu
orang yang percaya bahwa kesuksesan adalah upaya untuk berkarya dan
mengabadikannya. Seorang rekan juga sering mengatakannya kepada saya,
“bahwa sesuatu yang besar yang kita upayakan tanpa tercatat, atau
terdokumentasi ibarat air yang terpapar sinar mentari.” Menguap
tanpa arti, Saya pun menyetujui.
Ketika kita berbicara
kesuksesan, sangat erat kaitannya dengan sebuah proses. Walaupun awam
dengan sedikit mengesampingkannya. Mari kita membuat contoh yang
cukup dikenal: adalah The Beatles, salah satu band rock yang paling
terkenal; dan Jhon Lennon, salah satu orang berpengaruh di dalamnya.
The Beatles—Jhon
Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringgo Starr—datang ke
Amerika Serikat pada bulan Februari di tahun 1964, memulai Invasi
Inggris ke arena musik Amerika dan mengeluarkan lagu-lagu hits
yang mengubah wajah musik pop.
Hal pertama yang menarik
tentang The Beatles untuk tujuan kita adalah seberapa lama mereka
telah bersama-sama sebelum tiba di Amerika Serikat. Lennon dan
McCartney pertama kali bermain bersama-sama di tahun 1957, tujuh
tahun sebelum tiba di Amerika. (Kebetulan, jarak waktu antara
pendirian band ini dengan keberhasilan artistiknya yang paling
hebat—Sgt. Pepers’s Lonely Hearts Club Band dan The Beatles
[White Album]—adalah sepuluh tahun.) Di tahun 1960 saat mereka
masih berupa band rock sekolah yang sedang memulai kariernya, mereka
diundang untuk bermain di Hamburg, Jerman.
“Pada saat itu Hamburg
tidak memiliki klub musik rock-and-roll. Namun ia memiliki
banyak klub striptease,” kata Philip Norman, yang menuliskan
biografi The Beatles Shout! “Ada seorang pemilik klub
bernama Bruno, yang dahulunya adalah seorang penghibur di taman ria.
Dia memiliki pemikiran untuk membawa kelompok musik rock untuk
bermain di sejumlah klub. Mereka memiliki sebuah formula. Mereka
merencanakan pertunjukan nonstop, berjam-jam lamanya, dengan banyak
orang keluar masuk. Dan band akan terus bermain untuk menjerat
orang-orang yang lalu lalang. Di sebuah distrik lampu merah di
Amerika, mereka menyebutnya sebagai striptease nostop.
“Banyak band yang telah
bermain di Hamburg berasal dari Liverpool,” ujar Norman
melanjutkan. “Semuanya terjadi secara kebetulan. Bruno pergi ke
London untuk mencari sejumlah band. Tetapi dia kebetulan bertemu
seorang wirausaha dari Liverpool di Soho yang sedang berada di
London. Dan dia membuat janji untuk mengirimkan beberapa band ke
Jerman. Itulah bagaimana hubungan itu terjadi. Dan akhirnya The
Beatles membuat hubungan tidak hanya dengan Bruno tetapi dengan
pemilik klub yang lainnya juga. Mereka terus kembali ke Jerman karena
di sana terdapat banyak alkohol dan seks.”
Dan apa yang sungguh
istimewa dari Hamburg? Mereka tidak dibayar mahal untuk bermain di
sana. Tidak. Dan bukan karena akustiknya yang fantastik. Tidak juga.
Atau karena penontonnya cerdas dan menghargai mereka. Semuanya tidak.
Tetapi waktu bermain cukup banyak yang dipaksakan kepada band
tersebut.
Berikut ini hasil
wawancara dengan John Lennon setelah The Beatles dibubarkan,
membicarakan tentang penampilan band di klub striptease di
Hamburg yang bernama Indra:
Kami menjadi lebih baik
dan memiliki rasa percaya diri yang lebih besar. Kami mendapatkan
semua itu karena mendapatkan pengalaman bermain sepanjang malam. Dan
kenyataannya bahwa penonton adalah orang asing ternyata cukup
membantu. Kami bahkan mencoba lebih keras lagi, menumpahkan jiwa raga
ke dalam permainan kami, berusaha membuat penonton tertarik.
Di Liverpool, kami hanya
melakukan sesi selama satu jam saja, dan kami hanya memainkan
nomor-nomor kami yang terbaik, lagu-lagu yang sama, pada setiap sesi.
Di Hamburg, kami harus bermain selama delapan jam lamanya jadi kami
benar-benar harus menemukan cara baru untuk memainkan musik kami.
Delapan jam?
Berikut wawancara dengan
Pete Best, pemain drum The Beatles pada saat itu, “Begitu berita
tersebar bahwa kami mengadakan pertunjukan, penonton mulai
berdatangan ke klub. Kami bermain tujuh malam setiap minggunya. Pada
awalnya kami bermain hampir nonstop sampai jam setengah satu malam
saat klub ditutup, tetapi saat permainan kami terus membaik penonton
terus bertahan sampai jam dua pagi.”
Tujuh hari dalam
seminggu?
The Beatles akhirnya
melakukan perjalanan ke Hamburg lima kali antara tahun 1960 sampai
ahir 1962. Pada perjalanan pertama, mereka bermain 106 malam, minimal
lima jam setiap malamnya. Pada perjalanan mereka yang kedua, mereka
bermain 92 kali. Pada perjalanan yang ketiga mereka bermain 48 kali
dengan total waktu selama 172 jam di atas panggung. Dua pertunjukan
terakhir di Hamburg, di bulan November dan Desember tahun 1962,
melibatkan pertunjukan selama 90 jam lamanya. Bila dijumlahkan mereka
telah bermain selama 270 malam dalam waktu satu setengah tahun.
Sesungguhnya, pada saat meraih kesuksesan di tahun 1964 mereka
diperkirakan telah naik panggung sebanyak seribu dua ratus kali.
Apakah Anda tahu seberapa luar biasanya hal itu? Kebanyakan band pada
zaman sekarang tidak pernah melakukan pertunjukan selama seribu dua
ratus kali sepanjang karir mereka. Kawah candradimuka yang bernama
Hamburg adalah salah satu hal yang membedakan The Beatles dari band
lainnya.
“Tidak ada panggung
yang bagus saat mereka pergi ke sana dan kualitas mereka bertambah
baik saat kembali,” ujar Norman melanjutkan. “Mereka tidak hanya
mempelajari tentang stamina. Mereka harus mempelajari sedemikian
banyak lagu—berbagai lagu band lain, bukan hanya rock and roll,
namun juga sedikit jazz. Mereka tidak begitu disiplin saat bermain di
atas panggung sebelumnya. Tetapi saat kembali dari Jerman, mereka
sungguh berbeda dari band-band lainnya. Pengalaman itu telah
membentuk mereka.”
***
Ternyata kita juga bisa
berbangga. Indonesia memiliki band legendaris yang lebih dulu sukses
sebelum The Beatles: The Tielman Brothers. Tapi tak banyak dari kita
mengetahuinya. Seperti yang telah diuraikan di atas pada tahun
1960an, saat The Beatles menitih karir di dunia musik berangkat dari
band rock sekolah. Mereka memperkaya cara bermusiknya dengan
jam terbang tinggi. Selain itu, mereka juga memperkayanya dengan
menjadi penonton konser musik. Bertemulah mereka—The Beatles dan
The Tielman Brothers—di sebuah konser yang di gelar di Hamburg.
Bersyukur saya pernah
bertemu dengan seorang pengajar di Binus Film School: Ekky Imanjaya.
Salah seorang yang memperkenalkan saya bahwa sebelum The Beatles
lahir ada peranakan indo yang menjadi inspirasi mereka. Gaya panggung
yang sangat aktraktif yang menjadi ciri khas The Tielman Brother
seolah menjadi kiblat bagi The Beatles.
Eky yang mendapatkan
gelar masternya di Universitet Van Amsterdam dengan bidang film
studies, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah pendokumentasian
menjadi sangat penting. Saya tak akan pernah tahu bahwa sebelum The
Beatles berguling-ria menguasai panggung dengan sangat energik dan
aktraktif, ternyata The Tielman Brothers dengan vokalisnya Andy
Tielman juga lebih kreatif.
Jadi dapat kita ambil
pelajaran dari beberapa pengalaman legenda dunia di atas. Bagaimana
sebuah proses sangat penting untuk penilaian akhir. Terkadang terlalu
banyak yang luput dari perhatian kita, bagaimana sebuah proses
dianggap oleh sebagian besar dari kita adalah sesuatu hal yang
sia-sia, malah kita lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan
sebuah akhir yang indah. Ibarat punuk merindukan rembulan, akan
sangat tidak mungkin.
Saya teringat saat saya
berada di bangku perkuliahan, geliat kampus sangat ramai. Diskusi
riuh dan kegiatan mahasiswa bak pesta malam yang menyenangkan.
Kemudian saya terarah pada satu kalimat dari seseorang rekan yang
saya kenal baik, “apakah guna kita berproses, jika kita tak
berdoa?” dengan suara lirih ia berbicara pada saya. Saya selalu
mengingat akan hal ini. Kita tak akan tahu apa yang kita lakukan dan
upayakan sekarang, semua pengharapan musti disertai doa dan restu
dari sang pencipta manusia. Tuhan Yang Maha Esa.
0 komentar:
Posting Komentar