6 min Reading
Add Comment
Saat itu saya sedang duduk di kedai kopi toko buku Togamas.
Benar, Togamas Manyar Surabaya. Saya yang sore itu bersama Ryan sedang hunting pelbagai buku untuk refrensi
proyek besar kita. Proyek rahasia, dan ini masih kami simpan rapat-rapat.
Ada beberapa hal yang menarik sore itu. Kami seperti biasa
membuka perbincangan dengan menyulut sebatang kretek. Entah mengapa, kami
begitu percaya kretek dapat mencairkan perbincangan setelah kopi, dan nutrisari
rasa jeruk. Saya mengawali perbincangan dengan beberapa pertanyaan sekitar:
idealisme.
***
Sedikit cerita tentang kisah idealisme:
Waktu saya baru masuk kuliah, saya bertemu dengan kakak
angkatan yang bernama: Adrian Fauzi. Namun rekan-rekan seangkatannya sering
memanggilnya dengan sapaan: Gentong. Entah mengapa?. Mungkin dilihat dari
tubuhnya yang subur, titel Gentong tersematkan kepada dirinya.
Sedikit tentang Adrian, ia adalah sosok kakak angkatan yang
saya kenal sebagai panutan dan pengayom adik-adik angkatan di jurusan kami.
Baik di kegiatan Himpunan maupun di warung kopi, ia adalah “pengencer” suasana
yang memiliki sifat buffer dalam
perdebatan. Jika diibaratkan burung ia adalah Egretta eulophotes. Energik, focal,
dan mempunyai skill untuk memangsa.
Saya mengenal bang Gentong secara baik. Pernah pada kesempatan,
kami masuk dan berkegiatan bareng
dalam sebuah event Ormawa. Saya
selalu bertandem dengannya menyiapkan dan mengatur bidang Pubdekdok. Begitupun
di Himpunan, saya yang masih Maba waktu itu sempat direkrut oleh bang Gentong
sebagai staf Media. Kemudian saya diproyeksikan untuk menjadi Kepala Departemen
Kominfo di Himpunan kami yang bernama HIMBIO (Himpunan Mahasiswa Bibir Ombo). Semuanya menyenangkan.
Gentong yang saya kenal adalah pecinta musik dan mempunyai skill yang tulus dalam bermusik. Pernah
pada kesempatan santai, saya bermain ke rumahnya. Terlihat ada beberapa
perlengkapan musik: drum, dan beberapa ragam gitar. Selera musiknya yang begitu
menyentuh saya adalah saat ia memainkan, “Ada yang hilang, dari Ipang”. Sadis,
petikan senar gitarnya.
Meskipun secara materi bermusik ia berkecukupan, ia tak
pernah pelit untuk meminjamkan peralatan musiknya untuk kegiatan di Himpunan
kami. Mungkin jika disejajarkan dengan Gamalama –tempat persewaan alat pesta
dan musik– Saya pegang alat-alatnya bang Gentong, karena kualitasnya A. Tapi
sayang, bang Gentong tak sekomersil itu untuk menyewakan ke publik. Ia hanya
meminjamkan kepada rekan-rekan yang ia kenal saja. Apalagi untuk kegiatan di
Himpunan kami. Ia begitu total tanpa aling-aling.
Pensiun dari pengurus Himpunan, bang Gentong mengikuti
program penelitian Dosen. Ia yang Saya ketahui adalah pecinta fauna dan alam
liar. Akhirnya memutuskan diri untuk bertaruh dengan penelitian mikroskopik.
Penelitiannya berkutat dengan mencit –tikus kecil berwarna putih, dengan mata
yang merah– dan beberapa kadar dari tubercolosis
yang menjadi poin penting skripsinya. Bukan bang Gentong jika tak mampu melawan
tantangan. Secara tekun ia melakukan “hidup” di laboratorium bersama mencit dan
penelitiannya.
Meski selama ini ia yang saya kenal adalah “orang hutan”, dan “anak jalanan”. Kegiatan pemantauan burung migran dan penelitian di tiga taman nasional di Jawa Timur sudah sangat sering ia lampaui. Sampai kami menyebutnya, suhu spiritual berlevel macan. Mengapa macan? Karena ia sedikit banyak sebagai “penyembuh” adik-adik angkatan yang mempunyai kemampuan metafisika. Sering Saya dapati bertingkah seram layaknya macan yang sedang marah.
Meski selama ini ia yang saya kenal adalah “orang hutan”, dan “anak jalanan”. Kegiatan pemantauan burung migran dan penelitian di tiga taman nasional di Jawa Timur sudah sangat sering ia lampaui. Sampai kami menyebutnya, suhu spiritual berlevel macan. Mengapa macan? Karena ia sedikit banyak sebagai “penyembuh” adik-adik angkatan yang mempunyai kemampuan metafisika. Sering Saya dapati bertingkah seram layaknya macan yang sedang marah.
Setelah ia lulus, saya dapat kabar jika ia sakit dan sudah
dirawat di rumah sakit swasta di Surabaya. Saya langsung menyiapkan hari untuk
menengoknya. Saya bertemu dia dan beberapa keluarga yang mendampinginya. Kami
bercerita dan bertukar kabar. Gentong yang saya kenal gendut nan subur, waktu
itu terlihat sedikit menyusut dan layu. Ia terkena tipes dan demam berdarah. Penyakit umum, namun mematikan.
Menurutnya ia kurang teratur makan saat ia bekerja. Oh iya,
setelah lulus, ia sempat bekerja di salah satu perusahaan produksi pakan
ternak. Waktu itu ia berpikir semua jerih payahnya saat ia kuliah harus
teraplikasikan di dunia kerja. Ia berpendapat ilmu yang kita kenyam saat kita
duduk di bangku kuliah, harus benar-benar berfungsi. Bukan sekedar titel yang
didapat tapi nol dalam praktik ke
masyarakat. Saat itu ia beranggapan, betapa nistanya jika mahasiswa jurusan
saints (Biologi), setelah lulus bekerja di bidang perbankan. Sangat rancu
dengan rekan kita yang selama beberapa tahun menghabiskan energi dan waktunya
di dalam bidang Akuntasi dan Manajemen Keuangan.
Setelah perbincangan panjang dengannya, saya dapati ia tak
betah di perusahaan yang menjadikan jagung sebagai bahan utama untuk produksi
pakan ternak. Saya bertanya, mengapa ia tak betah. Bukankah perusahaan yang ia
masuki adalah bidang dari penelitiannya dulu saat ia di kampus. Berkutat di
bidang kualiti kontrol, dan pelbagai percobaan dari pakan ternak ke hewan coba.
Dan menurut saya, ia benar-benar memimpikannya waktu itu.
Namun setelah menyelami secara dalam, Gentong berpendapat
ternyata tak semuanya berjalan lancar dengan apa yang diharapkannya. Ia merasa
terforsir, baik mental maupun fisik. Intinya bekerja seperti robot ia sangat
mengutuk dan membecinya. Ia begitu stress
jika memikirkannya.
Lama kami tak bersua, mungkin sekitar 3 tahun. Kemudian kami
bertemu secara tak sengaja di acara pengamatan rutin yang diadakan oleh
adik-adik angkatan kami yang masih aktif di kelompok studi burung yang bernama
Peksia. Wah, bukan hanya senang bertemu dengan si Gentong namun lebih dari itu
sepaket dengannya saya bertemu sahabat-sahabat dari bang Gentong angkatan 2005.
Seperti minum jamu komplit dengan kuning telur 4 butir. Wareg kangene!
Saya bertanya sekarang apa yang ia karyakan. Bagaimana kabar
dan pertualangannya. Ia mengawali dengan beberapa hisapan dalam rokok Marlboro
kesukaannya. Ia berbincang dengan senyum yang ia sematkan secara alami. Membuat
obrolan semakin ami dan gemi.
Ia bercerita, sekarang ia telah menjadi karyawan tetap di
sebuah perusahaan bank negara. Sudah beberapa bulan lalu ia diangkat.
Sebelumnya ia juga sempat melakukan pelatihan di Jakarta selama 4 bulan.
Beberapa pemikirannya terbantahkan. Ia juga mengakui jika dulu (semasa kuliah),
ia sangat membenci bidang ini (bank). Dan berharap, baik dari dirinya maupun
orang lain harus konsisten dengan apa yang ia kerjakan. Namun, sekarang ia
bercerita bagaimana kisahnya dapat dijadikan sebuah contoh, mengapa kita dapat
berbeda. Lebih dari sekedar arti ideal.
Mungkin ada tangan Tuhan disana, mungin juga disetiap doa
yang kita panjatkan merubah jalan dan pemikiran kita. Supaya kita tak jenuh,
mungkin juga tuhan mengerti bagaimana sifat manusia adalah berkutat di area
bosan, dan mengeluh. Mungkin juga sifat itu begitu perlu, dengan adanya hal itu
kita akan selalu berproses, berputar, ataupun menggelinding. Yak, itulah Adrian
Fauzi, ibarat Gentong ia selalu haus untuk menampung dan menyimpan. Menampung
pelajaran hidup, kemudian ia membagikannya dengan..
Ah, saya jadi ingat kalimat dari Rizal shidiq terhadap
Nuran:
“Because he/she doesn't know
what life is. Most of them that I know, end up in a boring life." –Rizal
Shidiq, dalam Foi Fun.
***
Saya tengok jam tangan sudah pukul setengah enam, semenit
kemudian adzan magrib berkumandang. Saya memandang Ryan meminta apa pendapatnya
tentang obrolan kami sore ini. Ryan dengan muka datar dan sedikit gelisah
melempar pandangan berbalik kearah Saya yang berharap ada respon positif yang
dapat Saya ambil. Di luar ekspektasi, Ia mengambil sebatang kretek lagi, dan
mencari korek di saku kiri kemejanya sambil berujar kepada Saya yang berharap
jawaban keluar darinya, Sik Bro, Aku
kebelet ngising. Cuk, spontan kalimat ampuh keluar dari mulutku.
“Ah, Semua boleh
berekspektasi dengan tinggi, namun kita wajib bersahabat dengan realita.”
Tokobuku Togamas
Manyar, 22 Agustus 2013
*Sembari melipat sampul
untuk buku “Waktu yang Mengubahmu” dan “Singgah”
0 komentar:
Posting Komentar