3 min Reading
“Mesti selalu mabuk. Terang sudah, itulah masalah satu-satunya. Agar
tidak merasakan beban ngeri sang waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan
tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-menerus. Tetapi dengan apa?
Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi
mabuklah!.” –Kahlil Gibran-
Ilusi kesepian
Pertengahan malam yang dingin
setelah hujan mereda, sama seperti sebagian besar pria yang sedang patah hati,
di kamar, dan melamun kesepian. Kamar itu mempunyai lampu berwarna oranye-kekuningan
menggantung perantara kabel dengan panjang empat puluh centi dan tak menempel
langsung pada langit-langit kamar; ada sebotol bir yang masih tersegel, pisau lipat
warna merah dengan tulisan ‘victorinox’,
shall hitam berbahan wol, dan beberapa
cetakan foto dengan berbagai pose romantis yang tercecer, semua benda tersebut
tercecer dan tersebar tak karuan hampir memenuhi sudut kamar. Kamar itu
berantakan, terlihat buku-buku bergeletakan di lantai, dan sebagian lagi di
kasur. Di disinilah kisah itu berakhir. Bukankah akhir adalah sebuah permulaan.
Ini kisah tentang lelaki bernama Fiki.
Pria berparas manis dengan kulit kecoklatan, ia menggunakan kaca mata dengan frame khusus buatannya. Malam itu, Fiki
baru usai melakukan liburannya bersama seorang gadis bernama Fuko, kekasihnya. Fuko
adalah wanita dengan postur yang cukup ideal bagi seorang gadis perkuliahan, postur
yang ideal tersebut merupakan bawaan dari keluarganya, mungkin juga terbentuk
dari kegiatan rutinnya bermain ‘squosh’,
olah raga yang menyerupai tenis lapangan dengan ‘dinding’ yang menjadi media
untuk pantulan bola yang ia pukul menggunakan raket dengan ujung yang datar,
tidak melengkung seperti raket tenis pada umumnya. Fuko adalah bagian lamunan Fiki
malam ini.
Fiki Kenzo Asogi menyalakan
sigaretnya dengan tatapan kosong kearah sebuah buku harian menyerupai alkitab.
Buku yang semula kosong dengan lembaran berwarna putih-kekuningan sekarang
telah berisi ribuan kalimat bahkan jutaan cerita bersama mantan kekasihnya Fuko
Narosia . Fiki perlahan menghisap sigaretnya, dengan hisapan yang semakin dalam
membuat bara di ujung sigaretnya terlihat berjalan mundur kearah mulutnya.
Malam itu, ia nampak menikmati suasana kamar yang berantakan dengan aroma
alkohol di dalam kamar bernuansa jingga keemasan. Ia kemudian mengabil
ponselnya, berharap ada beberapa pesan singkat atau panggilan masuk yang mungkin
luput olehnya. Tapi tak ada satupun pesan singkat dan panggilan masuk ke
ponselnya. Ia ingin membuang perasaan sedih malam itu, dengan mencoba membuka
bir. Botol bir berbahan beling berwarna
hijau mengkilap yang masih tersegel di permukaan bibir botolnya. Kemudian ia
mengambil buku harian yang menyerupai alkitab berwarna abu-abu muda itu. Ia
meneteskan air mata dengan muka tertunduk. Kemudian botol bir yang ia genggam
di tangan kirinya terlepas, terjatuh ke lantai dengan bunyian yang seolah-olah memecah
kesunyian malam. Fiki larut dalam tangisan lirihnya, kemudian terlelap bersama
buku harian yang ia pegang, entah sekarang ia berada dimana?, mungkin ia sedang
di alam mimpi. Sejenak bermimpi mengulang waktu tiga tahunnya bersama mantan
kekasihnya, sebelum ia benar-benar terbangun dan tersadar bahwa esok tak lagi
sama.