ILUSI KESEPIAN

“Mesti selalu mabuk. Terang sudah, itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri sang waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-menerus. Tetapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!.” –Kahlil Gibran- 

Pertengahan malam yang dingin setelah hujan mereda, sama seperti sebagian besar pria yang sedang patah hati, di kamar, dan melamun kesepian. Kamar itu mempunyai lampu berwarna oranye-kekuningan menggantung perantara kabel dengan panjang empat puluh centi dan tak menempel langsung pada langit-langit kamar; ada sebotol bir yang masih tersegel, pisau lipat warna merah dengan tulisan ‘victorinox’, shall hitam berbahan wol, dan beberapa cetakan foto dengan berbagai pose romantis yang tercecer, semua benda tersebut tercecer dan tersebar tak karuan hampir memenuhi sudut kamar. Kamar itu berantakan, terlihat buku-buku bergeletakan di lantai, dan sebagian lagi di kasur. Di disinilah kisah itu berakhir. Bukankah akhir adalah sebuah permulaan.

Ini kisah tentang lelaki bernama Fiki. Pria berparas manis dengan kulit kecoklatan, ia menggunakan kaca mata dengan frame khusus buatannya. Malam itu, Fiki baru usai melakukan liburannya bersama seorang gadis bernama Fuko, kekasihnya. Fuko adalah wanita dengan postur yang cukup ideal bagi seorang gadis perkuliahan, postur yang ideal tersebut merupakan bawaan dari keluarganya, mungkin juga terbentuk dari kegiatan rutinnya bermain ‘squosh’, olah raga yang menyerupai tenis lapangan dengan ‘dinding’ yang menjadi media untuk pantulan bola yang ia pukul menggunakan raket dengan ujung yang datar, tidak melengkung seperti raket tenis pada umumnya. Fuko adalah bagian lamunan Fiki malam ini.

Fiki Kenzo Asogi menyalakan sigaretnya dengan tatapan kosong kearah sebuah buku harian menyerupai alkitab. Buku yang semula kosong dengan lembaran berwarna putih-kekuningan sekarang telah berisi ribuan kalimat bahkan jutaan cerita bersama mantan kekasihnya Fuko Narosia . Fiki perlahan menghisap sigaretnya, dengan hisapan yang semakin dalam membuat bara di ujung sigaretnya terlihat berjalan mundur kearah mulutnya. Malam itu, ia nampak menikmati suasana kamar yang berantakan dengan aroma alkohol di dalam kamar bernuansa jingga keemasan. Ia kemudian mengabil ponselnya, berharap ada beberapa pesan singkat atau panggilan masuk yang mungkin luput olehnya. Tapi tak ada satupun pesan singkat dan panggilan masuk ke ponselnya. Ia ingin membuang perasaan sedih malam itu, dengan mencoba membuka bir. Botol bir berbahan beling berwarna hijau mengkilap yang masih tersegel di permukaan bibir botolnya. Kemudian ia mengambil buku harian yang menyerupai alkitab berwarna abu-abu muda itu. Ia meneteskan air mata dengan muka tertunduk. Kemudian botol bir yang ia genggam di tangan kirinya terlepas, terjatuh ke lantai dengan bunyian yang seolah-olah memecah kesunyian malam. Fiki larut dalam tangisan lirihnya, kemudian terlelap bersama buku harian yang ia pegang, entah sekarang ia berada dimana?, mungkin ia sedang di alam mimpi. Sejenak bermimpi mengulang waktu tiga tahunnya bersama mantan kekasihnya, sebelum ia benar-benar terbangun dan tersadar bahwa esok tak lagi sama.

Pasang Iklanmu di sini