5 min Reading
Add Comment
“When you wholeheartedly adopt a “with all your heart” attitude and go
out with the positive principle, you can do incredible thing.” –Norman Vincent Peale
artikel
opini
self discovery
![]() |
Nelson Mandela. Sumber gambar disini. |
Semua bangsa di dunia—tidak
peduli bangsa yang sudah ribuan tahun atau baru lahir, besar atau kecil, timur
atau barat, kaya atau miskin—semuanya punya energi membangun dan menghancurkan.
Kedua energi ini akan selalu ada dalam kehidupan suatu bangsa, dalam takaran
dan dinamika yang selalu berubah-ubah.
Bangsa yang besar adalah bangsa
yang energi positifnya jauh melebihi energi negatifnya. Banyak orang yang
mengagumi Cina, Amerika Serikat, Jepang, Jerman sebagai bangsa-bangsa yang
tumbuh pesat di dunia. Namun jangan lupa: merekapun pernah terjerumus dalam
kegelapan dan dirasuki energi negatif.
Cina, misalnya, di era tahun
60-an mengalami apa yang dinamakan gerakan ‘revolusi budaya’ Mao Tse-tung.
Kader-kader muda Partai Komunis dengan gelap mata dan penuh kebencian melakukan
teror terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggap mengabaikan revolusi.
Sekolah-sekolah dan pabrik-pabrik dibakar; para pejabat pemerintah dan tokoh
partai—termasuk Deng Xiaoping—dihina di depan umum; kader-kader Pengawal Merah
berkeliling membawa buku merah kecil Mao Tse-tung dan mencaci serta menyiksa
orang-orang yang tidak hafal isinya. Cina lumpuh dalam kondisi anarkis.
Akhirnya, gerakan ini dihentikan oleh Mao Tse-tung sendiri.
Amerika Serikat, di pertengahan
abad ke-19, hampir runtuh oleh perang saudara yang dasyat antara kelompok Unionis di Utara dan kelompok separatis Confederates di Selatan. Enam ratus ribu
orang tewas dalam konflik antar-saudara itu. Kerugian ekonominya tidak
terhitung. Karena memenangkan perang saudara itu dan mencegah Amerika Serikat
terpecah dua, Abraham Lincoln menjadi Presiden AS yang legendaris.
Jerman, Jepang, dan Italia dalam
paruhan pertama abad ke-20 dirasuki oleh setan fasisme untuk menguasai dunia
dan memperbudak bangsa-bangsa lain. Karena ambisi yang sesat ini, negara mereka
menjadi puing-puing perang.
Di Indonesia pun, di paruhan pertama
dekade tahun 60-an, kita mengalami hal yang sama: buku-buku dibakar, lagu
Beatles dilarang, lawan politik
dipenjarakan, politik fitnah merajalela dan semua orang berbeda pendapat
dengan pemerintah dicap ‘kontra-revolusioner’ dan diintimidasi.
Dalam setiap episode ini—di Cina,
Amerika, Jerman, Jepang, Italia dan Indonesia—timbul gelombang energi negatif
yang menenggelamkan energi positif. Semuanya ambruk, karena dalam dunia modern,
sistem politik yang didominasi oleh energi negatif tidak akan pernah tahan
lama.
Energi negatif adalah energi yang
memancarkan aura buruk dan gelap: kebencian, negativisme, rasialisme, pemaksaan
kehendak, arogansi, iri hati, dengki, sikap tidak peduli dan fatalistis, malas,
paranoia, feodalisme, ekslusivisme, ekstremisme, fitnah, korupsi, kolusi,
nipotisme, apatis, pesimisme dan lain sebagainya.
Sebaliknya, energi positif adalah
energi yang memancarkan aura sehat dan terang: positivisme, optimisme,
idealisme, menghargai pendapat orang, altruisme, good governance, gotong-royong, sikap moderat, sikap inklusif, pluralisme,
multikulturalisme, humanisme, filantropi, egalitarianisme, sikap sportif,
toleransi, harmoni dan lainnya.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita
biasa melihat kedua energi ini, di kantor, di sekolah, di kampus, di masyarakat:
ada jenis orang yang selalu menjelek-jelekkan orang, tidak bisa melihat orang
lain maju, selalu menggerutu, selalu pesimis. Dan ada jenis orang yang selalu
ingin berbuat baik. Kalau bertemu orang jenis pertama, kita lebih baik menjauh
karena energi buruk itu bisa menular ke orang lain. Sebaliknya, kalau bertemu
dengan orang jenis ke dua, jadikanlah ia sahabat atau mentor agar sifat-sifatnya bisa menempel pada
anda.
Nasionalisme yang berlandaskan
energi positif akan menjadi ultra-nasionalisme atau nasionalisme sempit.
Sebaliknya, nasionalisme yang dijiwai energi positif akan menjadi nasionalisme
yang sehat dan produktif.
Saya tidak setuju dengan
pandangan bahwa hanya demokrasi yang bisa mengembangkan energi positif. Banyak
negara sosialis atau negara otoriter yang juga mampu memancarkan energi positif
dan banyak pula demokrasi yang elit politiknya hanyut dalam energi negatif.
Tugas pertama pemimpin adalah
untuk menyebarkan energi positif, dalam skala yang jauh melebihi energi negatif
bangsanya. Namun untuk melakukan ini, sang pemimpin harus mempunyai energi
positif yang mengalir dalam dirinya.
Nelson Mandela, misalnya, oleh
Pemerintah Apartheid dikurung dalam
sel penjara sempit selama 27 tahun. Selama di penjara, ia terus-menerus
diasingkan, dibungkam dan disiksa. Nelson pernah sangat marah ketika Pemerintah
Apartheid menolak memberinya izin
untuk menghadiri pemakaman anak laki-lakinya yang meninggal karena kecelakaan.
Yang menakjubkan, walaupun
dizolimi habis-habisan, Nelson Mandela tidak pernah dendam kepada orang kulit
putih, tidak pernah diperbudak oleh energi negatif dan selalu berpikiran
positif. Tidak akan pernah lupa melihat pidato Nelson Mandela di televisi atau
dipelbagai media sewaktu Ia baru dibebaskan dari penjara tahun 1994: garis
pemikirannya sangat jernih, tegas dan penuh kewibawaan. Dengan semangat inilah
, Nelson Mandela memimpin penyatuan bangsa dan mengubah Afrika Selatan
selamanya. Ketika terjadi kerusuhan berdarah di salah satu township, dimana orang-orang kulit hitam melempari orang kulit
putih dengan batu, Mandela datang dengan tenang dan mengucapkan 3 kalimat
singkat dengan lantang: “Pick up the stones from the streets. The time to
fight is over. Now is the time to build.” Kerusuhan segera reda dan para
perusuh langsung menuruti perintah Mandela untuk membersihkan batu dari jalan.
Ketika Nelson Mandela menjadi
Presiden Afrika Selatan pasca-Apartheid,
ia tetap memperkejakan para pegawai kulit putih yang sudah puluhan tahun
bekerja dengan pengusaha Apartheid.
Ia tidak pernah mendendam pada pejabat yang dulu pernah menyakiti dirinya atau
keluarganya. Termasuk pejabat yang melarangnnya menghadiri pemakaman anaknya. Mandela
bahkan dengan suka cita mengunjungi janda almarhum Hendrick Verwoerd, arsitek
sistem Apartheid, di rumahnya.
Kepemimpinan Nelson Mandela yang
penuh dengan energi positif inilah yang menjadi kunci sukses transisi Afrika
Selatan dari era Apartheid menjadi
negara paling maju di Afrika, tanpa gejolak yang berarti. Afrika Selatan kini
telah menjadi bangsa yang beda dan baru—Presiden Thabo Mbeki beberapa tahun
lalu sempat mengatakan: “Today, it feels
good to be South African.” Mungkin semua orang setuju bahwa tidak akan ada
lagi pemimpin Afrika Selatan yang dapat menyamai kaliber Nelson Mandela.
Saya dengan positif membantahnya,
“Go out with the positive principle, you
can do incredible thing.”
Post-scriptum: Tulisan “Incredible Thing” terinspirasi setelah membaca
buku “Harus Bisa! –catatan harian Dr. Dino P. Djalal.” Dengan tulisan ini sekaligus mengajak diri
pribadi untuk selalu ingat akan berpikir positif, dan menjadi pemimpin yang
positif.
0 komentar:
Posting Komentar