Incredible Thing

When you wholeheartedly adopt a “with all your heart” attitude and go out with the positive principle, you can do incredible thing.Norman Vincent Peale
Nelson Mandela. Sumber gambar disini.

Semua bangsa di dunia—tidak peduli bangsa yang sudah ribuan tahun atau baru lahir, besar atau kecil, timur atau barat, kaya atau miskin—semuanya punya energi membangun dan menghancurkan. Kedua energi ini akan selalu ada dalam kehidupan suatu bangsa, dalam takaran dan dinamika yang selalu berubah-ubah.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang energi positifnya jauh melebihi energi negatifnya. Banyak orang yang mengagumi Cina, Amerika Serikat, Jepang, Jerman sebagai bangsa-bangsa yang tumbuh pesat di dunia. Namun jangan lupa: merekapun pernah terjerumus dalam kegelapan dan dirasuki energi negatif.

Cina, misalnya, di era tahun 60-an mengalami apa yang dinamakan gerakan ‘revolusi budaya’ Mao Tse-tung. Kader-kader muda Partai Komunis dengan gelap mata dan penuh kebencian melakukan teror terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggap mengabaikan revolusi. Sekolah-sekolah dan pabrik-pabrik dibakar; para pejabat pemerintah dan tokoh partai—termasuk Deng Xiaoping—dihina di depan umum; kader-kader Pengawal Merah berkeliling membawa buku merah kecil Mao Tse-tung dan mencaci serta menyiksa orang-orang yang tidak hafal isinya. Cina lumpuh dalam kondisi anarkis. Akhirnya, gerakan ini dihentikan oleh Mao Tse-tung sendiri.

Amerika Serikat, di pertengahan abad ke-19, hampir runtuh oleh perang saudara yang dasyat antara kelompok Unionis di Utara dan kelompok separatis Confederates di Selatan. Enam ratus ribu orang tewas dalam konflik antar-saudara itu. Kerugian ekonominya tidak terhitung. Karena memenangkan perang saudara itu dan mencegah Amerika Serikat terpecah dua, Abraham Lincoln menjadi Presiden AS yang legendaris.

Jerman, Jepang, dan Italia dalam paruhan pertama abad ke-20 dirasuki oleh setan fasisme untuk menguasai dunia dan memperbudak bangsa-bangsa lain. Karena ambisi yang sesat ini, negara mereka menjadi puing-puing perang.

Di Indonesia pun, di paruhan pertama dekade tahun 60-an, kita mengalami hal yang sama: buku-buku dibakar, lagu Beatles dilarang, lawan politik  dipenjarakan, politik fitnah merajalela dan semua orang berbeda pendapat dengan pemerintah dicap ‘kontra-revolusioner’ dan diintimidasi.

Dalam setiap episode ini—di Cina, Amerika, Jerman, Jepang, Italia dan Indonesia—timbul gelombang energi negatif yang menenggelamkan energi positif. Semuanya ambruk, karena dalam dunia modern, sistem politik yang didominasi oleh energi negatif tidak akan pernah tahan lama.

Energi negatif adalah energi yang memancarkan aura buruk dan gelap: kebencian, negativisme, rasialisme, pemaksaan kehendak, arogansi, iri hati, dengki, sikap tidak peduli dan fatalistis, malas, paranoia, feodalisme, ekslusivisme, ekstremisme, fitnah, korupsi, kolusi, nipotisme, apatis, pesimisme dan lain sebagainya.

Sebaliknya, energi positif adalah energi yang memancarkan aura sehat dan terang: positivisme, optimisme, idealisme, menghargai pendapat orang, altruisme, good governance, gotong-royong, sikap moderat, sikap inklusif, pluralisme, multikulturalisme, humanisme, filantropi, egalitarianisme, sikap sportif, toleransi, harmoni dan lainnya.

Dalam pergaulan sehari-hari, kita biasa melihat kedua energi ini, di kantor, di sekolah, di kampus, di masyarakat: ada jenis orang yang selalu menjelek-jelekkan orang, tidak bisa melihat orang lain maju, selalu menggerutu, selalu pesimis. Dan ada jenis orang yang selalu ingin berbuat baik. Kalau bertemu orang jenis pertama, kita lebih baik menjauh karena energi buruk itu bisa menular ke orang lain. Sebaliknya, kalau bertemu dengan orang jenis ke dua, jadikanlah ia sahabat atau  mentor agar sifat-sifatnya bisa menempel pada anda.

Nasionalisme yang berlandaskan energi positif akan menjadi ultra-nasionalisme atau nasionalisme sempit. Sebaliknya, nasionalisme yang dijiwai energi positif akan menjadi nasionalisme yang sehat dan produktif.

Saya tidak setuju dengan pandangan bahwa hanya demokrasi yang bisa mengembangkan energi positif. Banyak negara sosialis atau negara otoriter yang juga mampu memancarkan energi positif dan banyak pula demokrasi yang elit politiknya hanyut dalam energi negatif.

Tugas pertama pemimpin adalah untuk menyebarkan energi positif, dalam skala yang jauh melebihi energi negatif bangsanya. Namun untuk melakukan ini, sang pemimpin harus mempunyai energi positif yang mengalir dalam dirinya.

Nelson Mandela, misalnya, oleh Pemerintah Apartheid dikurung dalam sel penjara sempit selama 27 tahun. Selama di penjara, ia terus-menerus diasingkan, dibungkam dan disiksa. Nelson pernah sangat marah ketika Pemerintah Apartheid menolak memberinya izin untuk menghadiri pemakaman anak laki-lakinya yang meninggal karena kecelakaan.

Yang menakjubkan, walaupun dizolimi habis-habisan, Nelson Mandela tidak pernah dendam kepada orang kulit putih, tidak pernah diperbudak oleh energi negatif dan selalu berpikiran positif. Tidak akan pernah lupa melihat pidato Nelson Mandela di televisi atau dipelbagai media sewaktu Ia baru dibebaskan dari penjara tahun 1994: garis pemikirannya sangat jernih, tegas dan penuh kewibawaan. Dengan semangat inilah , Nelson Mandela memimpin penyatuan bangsa dan mengubah Afrika Selatan selamanya. Ketika terjadi kerusuhan berdarah di salah satu township, dimana orang-orang kulit hitam melempari orang kulit putih dengan batu, Mandela datang dengan tenang dan mengucapkan 3 kalimat singkat dengan lantang: “Pick up  the stones from the streets. The time to fight is over. Now is the time to build.” Kerusuhan segera reda dan para perusuh langsung menuruti perintah Mandela untuk membersihkan batu dari jalan.

Ketika Nelson Mandela menjadi Presiden Afrika Selatan pasca-Apartheid, ia tetap memperkejakan para pegawai kulit putih yang sudah puluhan tahun bekerja dengan pengusaha Apartheid. Ia tidak pernah mendendam pada pejabat yang dulu pernah menyakiti dirinya atau keluarganya. Termasuk pejabat yang melarangnnya menghadiri pemakaman anaknya. Mandela bahkan dengan suka cita mengunjungi janda almarhum Hendrick Verwoerd, arsitek sistem Apartheid, di rumahnya.

Kepemimpinan Nelson Mandela yang penuh dengan energi positif inilah yang menjadi kunci sukses transisi Afrika Selatan dari era Apartheid menjadi negara paling maju di Afrika, tanpa gejolak yang berarti. Afrika Selatan kini telah menjadi bangsa yang beda dan baru—Presiden Thabo Mbeki beberapa tahun lalu sempat mengatakan: “Today, it feels good to be South African.” Mungkin semua orang setuju bahwa tidak akan ada lagi pemimpin Afrika Selatan yang dapat menyamai kaliber Nelson Mandela.

Saya dengan positif membantahnya, Go out with the positive principle, you can do incredible thing.”









Post-scriptum: Tulisan “Incredible Thing” terinspirasi setelah membaca buku “Harus Bisa! catatan harian Dr. Dino P. Djalal.” Dengan tulisan ini sekaligus mengajak diri pribadi untuk selalu ingat akan berpikir positif, dan menjadi pemimpin yang positif.

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini