Reading
Add Comment
Seusai shalat Jum’at saya merasa
lapar. Maklum akhir-akhir ini nafsu sarapan sedikit menurun, mungkin beberapa
jadwal yang begitu padat, membuat saya sedikit mengabaikannya.
Setiba di rumah, saya langsung
menuju ruang makan. Membuka penutup sari (kerudung makanan) untuk melihat menu
makanan siang itu. Berharap rasa lapar sedari shalat mendapat lawan yang
setanding di meja makan. Srek,
penutup sari cepat saya buka. Di meja makan terlihat tempe dan tahu goreng. Kemudian
di sisi lain terlihat mangkuk berisikan sayur asem yang mulai dingin. Kemudian
saya melihat sambal terasi dengan perpaduan warna antara cabai merah yang
mulai kalah dengan warna terasi yang khas.
ngomel
![]() |
Muka yang lagi sederhana. |
Saya mengambil piring putih
kesayangan, kemudian memutuskan untuk duduk melihat beberapa hidangan yang
berada di meja makan. Saya sengaja tidak segera mengambil nasi, atau mengambil
beberapa lauk yang ada. Saya masih ingin melihat-lihat beberapa benda dihadapan
saya, sembari mbatin di dalam hati.
Saya mulai bergejolak untuk
mengumpat,
“yah, kenapa sih tempe lagi, tahu lagi? Gak ngerti opo, weteng luwe?”
***
Semenjak saya suka travelling, tak jarang saya mengunjungi
beberapa kedai lokal yang menjual masakan khas daerah. Seperti waktu saya ke
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, melihat langsung masyarakat Mandar mengolah
hasil laut dengan tiga rasa yang khas: asam, manis, dan pedas. Sungguh, jika
mengingatnya membuat saya rindu untuk kembali.
Beberapa pengalaman dan temuan,
membuat saya selalu menempatkan diri menjadi orang yang baru. Karena tak
mungkin jika kita mengunjungi beberapa daerah baru, masih menggunakan cara lama.
Bisa dibilang, dengan beradaptasi manusia dapat bertahan.
Mungkin semua pengalaman tidak
bisa disandingkan secara bersamaan untuk satu lokasi yang berbeda. Beda lokasi,
berbeda pula cara kita untuk menghadapinya. Sebagai contoh, saat saya berada di
gunung untuk pendakian. Mulai dari membawa logistik yang sangat sederhana,
sampai dengan taraf ekslusif. Tapi tetap saja, kita dihadapkan dengan
keterbatasan.
Saya sampai menemukan sebuah
pemikiran, “bahwa kita hidup untuk mencari keterbatasan. Bukan mencari kebebasan.”
Sama halnya jika kita berpikir, pernahkah kita merasa baik untuk satu hal? Tidak
akan pernah kan. Bahwa manusia akan selalu diuji dengan beberapa ketakutan
dalam hidupnya. Miskin, lapar, mati dan lain sebagainya.
***
Mungkin saat itu, saya sedang
terlena dengan beberapa kenyamanan dalam hidup. Berada di rumah dengan
ekspektasi, “jika lapar tinggal ke meja makan untuk makan.“ tapi kenyataannya? Saya
masih saja mengeluh dan ngumpat kasar.
Berbeda saat saya berada di hutan
dengan persediaan logistik yang minim. Seperti dihari terakhir saat saya
memutuskan untuk turun gunung argopuro, tanpa disangka perbekalan yang kian
menipis. Hanya ada serbuk biskuit melempem
yang hampir tak meninggalkan rasa. Tetap saja, sisa makanan itu begitu nikmat
saat berada di jalur pendakian. Tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup saat itu.
Sawang-sinawang. Melihat rumput tetangga lebih hijau dari rumput
sendiri. itu menyebalkan.
Kemudian saya memikirkan beberapa
pengalaman yang sudah terjadi, saat saya ditempatkan pada posisi kekurangan,
seperti minimnya isi dompet. Saat itu saya hanya berpikir, bagaimana mengelola
dan bertahan dengan kondisi itu. Kemudian roda berputar, menempatkan saya
dengan kondisi yang Alhamdulillah cukup dan terkadang berlebih, malah bukan
rasa syukur. Dengan takabur menyiapkan beberapa list kebutuhan ini dan itu,
yang jika dipikir kembali adalah kebutuhan tersier.
Jika sudah demikian, saya kembali
melihat ke lingkungan keluarga, dan beberapa orang yang masih belum seberuntung
saya. Melihat kembali beberapa catatan di dalam buku jurnal harian yang sering saya bawa.
Secara sederhana, melihat dengan hati. Bahwa perilaku yang sekiranya
berlebihan, dan sesuatu keinginan yang berlebihan akan membuat diri kita lupa. Lupa
akan arti hidup yang sebenarnya ada keluarga kita yang makan saja masih sukar,
dan beberapa orang untuk tidur saja masih mencari.
Tuhan, di tahun yang masih baru
ini. Ijinkan saya kembali kepadamu (lagi), ijinkan saya untuk kembali ke
beberapa hal yang sering terlupakan untuk menjadi sederhana. Bahwa kata-kata, “bahagia
itu sederhana” tidak hanya menjadi slogan hidup, bertebaran di media maya untuk sebuah eksistensi belaka. Namun tetap mengakar kuat,
untuk sebuah tujuan hidup yang lebih mulia. Bersahaja dalam karya, bermanfaat
di setiap persahabatan.
Ternyata memang benar kata orang,
“bahwa makanan terenak adalah saat perut kita merasakan lapar.” Sederhana saja.
0 komentar:
Posting Komentar