9 min Reading
Add Comment
Saya yang tak tau diri, ingin
meminta maaf.
#30HariMenulis
buku harian ayah
ngomel
selebihnya dusta
self discovery
Menurut saya, tidak ada waktu
yang benar-benar tepat. Seperti pada kesempatan, saat saya bertemu dengan Ayah.
Berbincang di teras rumah, perihal beberapa rencana yang hendak saya lakukan.
Seperti rencana saya untuk memutuskan merintis sebuah usaha, dan perbincangan
mengenai apa yang telah saya lakukan. Mengenai prestasi-prestasi yang sudah
saya dapatkan.
Mungkin kami yang tak pernah
bertemu dalam satu sudut pandang yang sama. Membuat perbincangan sore itu, seperti acara
debat di televisi yang selalu meninggalkan kebingunan. Ayah yang memiliki aksen
bicara yang keras, tegas, dan terkesan ingin menangnya sendiri membuat saya
tersinggung dan tidak terima. Saya pun tidak ingin kalah. Saya berpendapat
bahwa sesuatu hal yang kecil, akan menjadi besar nantinya, jika diupayakan dengan
usaha yang keras pula. Upaya yang kita lakukan untuk mewujudkannya tidak akan
pernah mungkin terlihat dalam waktu satu dua hari saja. Ambil contoh, keinginan
saya untuk merintis usaha di bidang budidaya jamur dan pupuk organik.
Ayah mungkin melihat beberapa
pengalaman yang sudah-sudah. Melihat beberapa hal yang sudah beliau saksikan
dan alami. Bahwa menurut beliau, saya tidak akan pernah bisa menjadi seorang
wirausahawan
Tetapi menurut saya, semua sah untuk dibicarakan namun tidak semua
perbincangan dengannya dapat diambil satu pakem yang utuh untuk satu kejadian
lain. Menurut saya, semua hal yang beliau katakan tidak dapat saya terima
dengan mentah-mentah. Sekalipun beliau adalah orang tua saya sendiri. Saya masih
belajar. Sekalipun satu kelebihan dapat menurun melalui susunan genus dan sel
darah sekalipun. Begitu pun sebaliknya.
Saya akui kami memiliki sifat
yang sama-sama keras. Baik itu prinsip, dan juga pemikiran.
Pernah ada hal lain yang membuat
saya tersinggung. Saat saya memutuskan bergabung menjadi bagian pasukan
pengibar bendera waktu SMA. Saya yang memiliki tinggi badan kurang dari 180
senti, dapat dipastikan tidak akan mampu menjadi bagian penting barisan
pengibar tingkat Kota apalagi Nasional. Tapi saya beranggapan, semua akan
berubah selama kita meyakininya.
Saya beranggapan semua pasti
memiliki ruang. Semua yang tersudut dan buntu akan runtuh pada satu titik,
tinggal kita mau mencari celahnya atau tidak. Singkat kata, saya tertarik untuk
mengikuti perlombaan “Kibar Bendera se-Gerbang Kertasusila”, atau setara dengan
perlobaan tingkat Propinsi. Saya membuktikannya, bahwa saya mampu membawa
pulang Juara I dalam ajang tersebut.
Dengan perasaan bangga, saya
bergegas pulang untuk mengabarkannya kepada Ayah. Namun bukan satu pujian yang
saya terima untuk jerih payah yang saya wujudkan di depan beliau, tetapi
kalimat yang ‘masih mampu’ saya ingat sampai detik ini yaitu, “Ayah tidak butuh
ini!” sambil kemudian melempar semua sertifikat dan trofi yang saya peroleh itu
di hadapan saya.
Semakin di remehkan, dan semakin
terhina. Nadi untuk membuktikan tidak semakin melemah. Sebaliknya, saya semakin
terpacu untuk mewujudkannya. Saya berlatih lebih giat lagi untuk ajang
pemilihan pasukan pengibar bendera di Gedung Negara Grahadi Jatim. Meski hanya untuk
penurunan bendera di tanggal 17 yang bernama “Parade Surya Senja”, saya
bersemangat untuk menjadi bagian penting tersebut. Dan saya beruntung menjadi bagian penting di dalamnya.
Tapi apa respon ayah untuk itu? Tidak
ada. Sekalipun untuk satu sudut pandang yang mengarah pada penghargaan yang saya
perjuangkan. Baginya, hal-hal semacam itu hanya omong kosong saja.
Satu evaluasi yang saya lakukan sebagai
anak. Saya memutuskan untuk menemui Ayah, menanyakan beberapa hal yang ganjil diantara
kami. Saya beranggapan, bagaimana pun seorang anak akan nampak salah di hadapan
orang tua dan selalu dianggap sebagai anak kecil berapa pun usianya.
Saya tetap menjalin komunikasi
yang baik dengan beliau, menelanjangi semua apa yang telah saya lakukan dan
mencoba mengosongkan prasangka. Saya mencari tahu apa yang sebenarnya Ayah
inginkan dari saya? ternyata Ayah tidak ingin saya gagal untuk masuk di Perguruan
Tinggi Negeri. Baginya itu yang penting.
Baik jika itu keinginannya, saya akan
mencoba merujuk misi saya kembali. Bagi saya, tidak ada yang tidak mungkin.
Jangankan Perguruan Tinggi Negeri, jika Ayah mengutarakan keinginannya untuk saya bersekolah
di Universitas Negeri Paman Sam pun saya akan berupaya untuk itu. Ridho orang
tua, adalah ridho Gusti Allah.
Singkat cerita, tidak ada waktu
yang terbuang. Saya membuat jadwal untuk treatment
diri. Waktu makan, main, sampai waktu mengerjakan tumpukkan soal UMPTN pun saya
timer. Begitu ketat. Demi satu
senyuman seorang Ayah, saya lakukan dengan sungguh-sungguh.
Saya katakan lagi tidak ada yang
tidak mungkin. Semuanya mungkin. Sebelum rekan-rekan saya masuk di Perguruan
Tinggi Negeri, saya pun sudah berbangga karena dua kursi PTN sudah saya
kantongi. Saya diterima di Universitas Brawijaya dan Intitut Teknologi Bandung.
Saya pun segera memberi kabar
bahagia itu kepada Ayah. Tidak sesuai ekspektasi. Ada raut kekhawatiran yang
coba ayah perlihatkan kepada saya. Kemudian, ada kalimat yang keluar untuk
mencoba menenangkan saya yang sedang gusar hati. Ayah ingin saya untuk mencoba
UMPTN, dan mengambil pilihan yang berlokasi di Surabaya saja. Saya lemas,
dan mbatin.
Baiklah, saya berpikir positif
saja. Mungkin ada beberapa kekhawatiran yang beliau pikirkan. Bagaimana pun
seorang Ayah akan lebih mengerti kondisi anaknya. Padahal saya tidak pernah
mempercayai argumen semacam itu. Bagi saya manusia berubah dan tidak akan pernah
dinamis, apalagi untuk seorang anak yang hidup jauh dari orang tua selama 13
tahun lamanya. Ada yang tidak mereka ketahui sepenuhnya pada saya. Begitu pun
saya, yang masih belajar mengenal seorang Ayah sendiri.
Demi beliau, dan demi senyuman
dari seorang Ayah yang saya hormati. Saya masuk di Universitas Negeri yang Ayah inginkan. Dan
saya bertemu banyak orang-orang hebat di dalamnya. Tapi perasaan kecewa untuk sang
Ayah belum tertuntaskan.
***
Beberapa hari lalu, seorang rekan
saya mengalami ujian perkara kematian dan kepulangan manusia. Tentang
kepulangan manusia yang selama ini saya kenal sebagai sosok yang memberi
tantangan dan memberi treatment
hidup, yaitu sosok Ayah. Ayahnya telah berpulang pada kamis malam. Saya mengenal
sahabat saya ini cukup lama. Saat saya menjalani kehidupan di kampus. Banyak
yang sudah kami lakukan bersama, mulai membuat acara kampus sampai terakhir
kali saya meninggalkannya pada satu acara trekking di salah satu gunung paling
timur di Jawa Timur karena ia berjalan sangat lambat. Ini juga yang membuat saya ikut merasakan bagaimana
berdukanya seorang Cipto Dwi Handono saat Ayahnya dipanggil oleh Sang Maha Pencipta.
Dalam kunjungan duka itu, saya
sengaja tidak menanyakan bagaimana ia sekarang dan bagaimana kejadiannya. Saya
hanya ingin mendengar saja darinya. Dan ia pun seolah mengerti apa yang saya
maksud, kemudian ia bercerita bagaimana sang ayah diambil pada pukul 17:30 WIB.
Sebelum Almarhum berpulang, Cipto sempat mendengarkan pesan untuknya dari sang
Ayah. Sebuah pesan yang begitu dalam, tapi sayang, Cipto tak ingin pesan tersebut
banyak orang yang mengetahui. Saya pun sepakat tak akan menuliskannya.
Saya yang gemar mengamati dan
belajar dari apa yang saya lihat. Saat itu saya sedang mengingat kembali beberapa
momen saya bersama Cipto dan mengambil pelajaran dari kehilangan malam itu.
Saya mengingat kembali, pernah ada
kesempatan untuk kami pergi bersama mengamati burung di daerah Gresik. Ayah
Cipto lah yang langsung menawarkan diri untuk mengantarkan kami. Sepanjang
perjalanan kami mendengar cerita dari Ayah Cipto, tentang bagaimana keseruan
yang ia lakukan saat pergi memancing bersama Cipto. Ada kesan yang saya
tangkap, bahwa Ayah Cipto selalu bangga kepada Cipto. Saya pikir ini hal yang
wajar terjadi, saat ada seorang Ayah berhadapan dengan orang lain, akan selalu
membanggakan anaknya.
Kemudian saya berkaca pada apa
yang saya alami sekarang. Apakah itu berlaku juga pada saya? Timbul lah pertanyaan,
“Apakah Ayah saya bangga kepada saya?” Jika pun benar, mungkin hanya sebatas
imajinasi saya semata.
***
Dua hari yang lalu, saat saya
memutuskan untuk memeriksakan perut di salah satu rumah sakit swasta di
Surabaya. Saya menunggu cukup lama untuk nomer antrian dengan nomer 20 di
tangan. Mungkin ada satu jam saya menunggu antrian yang membosankan itu. Saya
berpikir, lebih baik mati dengan cepat daripada menunggu antrian yang
membosankan itu.
Saya yang awalnya lebih
memutuskan untuk tetap duduk saja di bangku panjang ukuran 3 meter berbahan
almini itu, akhirnya goyah untuk keluar ruangan antrian. Mengambil rokok yang
saya taruh dikantong sisi samping tas kamera yang saya gendong di punggung.
Kemudian mengamati sekitar sambil
merokok.
Saya mengamati sekitar,
saya melihat beberapa kerumunan penarik becak yang sedang bercanda. Dan
beberapa muda-mudi yang sedang menunggu angkutan publik pada sebuah halte yang atapnya
mengkilap memantulkan warna keemasan, terkena sinar matahari sore.
Tiba-tiba, dari kejauhan ada yang
memanggil nama saya. Awalnya saya tidak menghiraukan panggilan tersebut. Tapi
suara itu semakin lama semakin mendekat. Saya pun menoleh ke sumber suara itu
berasal.
“Mas Rahman?”
“Iya!”
“Sedang Apa di sini?”
“Em, Lagi periksa Bu.”
“Siapa yang sakit? Embah?”
“Bukan. Tapi saya Bu.”
“Loh, Sakit Apa?”
Saya lupa, siapakah Ibu yang
di hadapan saya waktu itu. Untuk menghormatinya, saya segera mematikan rokok
yang masih separuh saya hisap. Kemudian saya menuruti ajakan Ibu itu menuju
kembali ke dalam rumah sakit dan sampai pada akhirnya kami berada di satu
ruangan yang lebih mirip kantor daripada ruangan di rumah sakit.
Kami berbincang, dan saya masih mencoba mengingat kembali siapa Ibu tersebut. Ibu itu menggandeng saya mulai dari luar rumah sakit
sampai menuju ruangan yang hampir menyerupai kantor imigrasi daripada rumah sakit
itu.
Ternyata beliau adalah rekan Ayah saya.
Entah, saya sendiri pun tidak terlalu peduli, kapan mereka bertemu atau
pertanyaan lain yang berhubungan dengan itu. Waktu itu saya, hanya berpikir
nomer antrian saya bagaimana?
Ibu di hadapan saya itu, kemudian diam
cukup lama setelah membicarakan tentang dirinya dan Ayah saya. Kemudian, ia beralih
pembicaraan mengenai ayah saya saja. Ibu itu mengatakan bahwa saya selalu
menjadi topik penting dari setiap kegiatan yang Ayah saya lakukan, entah
itu tentang urusan rumah sakit, sampai kegiatan projek lapangan di luar Jawa. Dan
Ibu di hadapan saya itu adalah salah satu orang yang pernah dibantu oleh Ayah
saya saat di Kalimantan, begitu ungkapnya kepada saya.
“Ibu, tau saya dari mana?” Saya
mencoba menanyakan kepadanya.
“Ayah mu selalu membawa buku note
warna hijau tua kan?”
“Iya benar.”
“Sehabis Shalat di Masjid
Muhajirin, Buku Ayahmu tertinggal. Mungkin jatuh atau bagaimana saya juga tidak
begitu paham. Waktu itu ada Takmir masjid yang menemukannya, dan segera
menghantarkan kepada saya. Di situ ada fotonya mas Rahman saat berada di
Mataram.”
Saya hanya diam, mendengarkan Ibu
itu berbicara. Kemudian ia meneruskan kalimatnya sembari mencari sesuatu di
sekitaran meja kerjanya.
“Ini kan bukunya Ayah?” tanya Ibu
itu, kepada saya.
“Iya benar, ini notenya
Ayah.”
“Coba cek lagi, di dalamnya pasti
ada fotonya mas Rahman.”
Kemudian saya menerima buku Ayah saya dari
Ibu yang memakai jilbab dengan warna biru muda itu.
Saya terdiam, dan meneruskan
membuka-buka beberapa lembar di dalam buku itu. Ada aliran air yang mencoba
untuk memaksa keluar melalui sudut mata saya. Saya berkaca-kaca saat melihat
ada beberapa foto saya yang diam-diam Ayah simpan.
Kemudian saya dapati ada beberapa
tulisan mengenai saya. Tulisan itu bercerita tentang keluhan saya saat berada
di rumah Nenek, sampai pada tulisan terakhir yang tidak bisa saya tahan untuk memaksa mata terpejam, karena ada yang sesak di bagian ulu hati.
Tulisan itu berjudul, “Maafkan Saya yang Masih Belajar Ini.”
![]() |
Buku Harian Ayah. |
0 komentar:
Posting Komentar