4 min Reading
1 Comment
Hari ini saya memutuskan untuk
pulang terlambat. Saya mengunjungi sebuah kedai yang berada tak jauh dari
rumah. Ritual ini sebenarnya sudah sering saya lakukan selama masih kuliah
dulu, yakni mengunjungi sebuah kedai, kafe atau sejenisnya. Saya senang
mengamati sekitar, mencari suasana baru atau menuntaskan buku yang terpaksa
tertutup semalam oleh kantuk.
#30HariMenulis
ngomel
selebihnya dusta
self discovery
Saya datang sendiri ke kedai ini.
Tidak ada alasan khusus mengapa saya datang ke kedai ini seorang diri, mungkin memang
niat awalnya hanya mencari suasana baru dan meneruskan membaca buku, maka saya memutuskan
untuk datang sendiri. Saya melihat beberapa pasangan muda-mudi yang sedang
memesan kopi dan beberapa yang lainnya memesan lemon tea. Mereka nampak
berbahagia, bertukar cerita satu dengan yang lain. Dan anehnya saya baru
menyadari, bahwa hanya saya saja yang datang sendiri ke kedai ini.
Akhir-akhir ini saya baru
menyadarinya, ada beberapa hal yang tidak terlalu penting sebenarnya untuk
dipertanyakan. Namun ada beberapa hal yang ganjil jika kita coba amati. Seperti
seseorang yang datang ke kedai seorang diri, sampai kemudian seseorang menonton
bioskop seorang diri. Apakah ada di luar sana seseorang yang melakukan hal yang
serupa dengan apa yang saya lakukan, “Nampak aneh kah?”. Menurut saya, “Tidak”,
Biasa saja.
Mungkin kita hanya jarang
berjalan sendirian, teramat komunal.
Seperti saat saya berada di toko
buku. Melihat buku-buku yang berjudul atau bertemakan tentang kesendirian. “Sendiri
dalam Senja”, “Sendiri Termangu Menunggumu”. Dan semua mengarah pada satu kata
yaitu: sendiri. Sangat tidak umum, saya sering berjalan sendiri, dan jarang sekali
ada seseorang yang bernasip serupa
dengan saya.
***
Saya pernah membaca satu tulisan
dari Ardi Wilda tentang topik yang serupa dengan apa yang saya tulis di atas, yaitu bertemakan “sendiri”,
dan “kesendirian”. Saya kaget ternyata di luar sana ada seseorang yang ‘hampir’
bernasip serupa dengan saya. Saya katakan ‘hampir’, karena di dunia ini tidak
ada yang benar-benar sama dan persis.
Ia mengatakan bahwa, cerita-cerita jaman dahulu sering mengisahkan
topik yang serupa. Seperti di mana kita adalah bagian dari sebuah entitas yang
besar. Malam ini misalnya, saat saya membaca, subjek ceritanya tidak pernah
menampilkan dirinya yang sendirian. Subjeknya adalah mereka-mereka yang menjadi
bagian dari sebuah entitas besar, Pak Lurah dalam sebuah desa pemulung, guru
ngaji di perkampungan yang tak religius. Mereka bukan subjek-subjek yang
merasakan kesendirian. Atau meromantisir kesendirian. Tapi dalam kebersamaan
dengan “yang lebih besar” tersebut, saya merasakan subjek-subjek ini adalah
mereka yang hidup dalam kesendirian.
Tentu naïf membandingkan karya saat ini dengan yang dulu, banyak konteks
yang jelas berubah. Tapi buat saya menarik ketika kita berkisah soal yang
“sendiri di kafe” ini membanjiri toko buku. Kemudian menjadi begitu klise
dengan imbuhan ‘senja’, ‘temaram’, ‘kemuning’ dan banyak kata lain yang sudah
habis diromantisir. Padahal saya jarang sekali menemui sosok-sosok “sang
penyendiri” ini di kehidupan nyata. Tiba-tiba bertemu dan berbincang hangat
setelahnya. Jarang sekali.
Mungkin memang tulisan tak perlu jadi spion kehidupan. Tapi jika ia bukan
spion, bukankah ia bisa juga berarti harapan terdalam? Bisa jadi kita risih
dengan kebersamaan dan menciptakan alter ego diri kita sendiri dalam
sosok-sosok individual ini. Ketika makan malam kita jengah dengan pertanyaan
tipikal orang tua, ketika di pertemanan kita jengah dengan indikator kesuksesan
yang begitu bias, pun saat dalam sebuah relasi kita jengah dengan mis-persepsi
tentang masa depan yang ideal. Namun kita tak pernah berani menghadapinya,
tokoh-tokoh sendiri itu kemudian maju sendiri.
Jika itu terjadi, mungkin kita memang tak pernah sendiri. Dalam kesendirian
itu kita merindukan sesuatu yang komunal. Kita merindukan entitas yang lebih
besar. Merindukan keluarga yang hangat di meja makan, merindukan teman bertukar
pikiran yang tak bias dalam pemikiran. Begitupun merindukan seseorang yang kita
cintai atau pasangan. Dalam kesendirian tokoh-tokoh itu mungkin para penulis
sedang mengumpat dari kenyataan. Berteriak tanpa suara.
Sedihnya tokoh-tokoh itu adalah penegasan bahwa ia tetap bagian dari sebuah
kelompok besar. Dan saat tokoh-tokoh sendiri maju bersama-sama dalam rak-rak
toko buku, mereka membuat yang sendiri-sendiri menjadi begitu terkelompok.
Sebuah spion besar akan ketakutan jadi bagian dari entitas yang lebih besar.
Dan ketika mereka berusaha menjadi begitu sendiri di kafe di ujung antartika
sekalipun, mereka sebenarnya sedang menegaskan mereka sedang beramai-ramai.
Beramai-ramai menyatakan dirinya takut dengan kesendirian yang nyata. Kini saya
bingung apakah harus mengasihani tokoh-tokoh yang selalu sendiri itu atau
mengasihani saya sendiri.
1 komentar
Ijen nirwana :)
BalasHapus