6 min Reading
Add Comment
Cerita sebelumnya..
(selesai)
#30HariMenulis
Ilusi kesepian
“Ajari aku membaca
hujan
Agar aku mampu membaca
air
Ajari aku mendengar
angin
Agar aku sanggup
mendengar
Lirih jeritan di balik
bahana
Bahana, suaramu, suaramu..”
Dialog Dini Hari - Membaca
hujan
Langit di luar jendela pesawat
sudah mulai berganti. Langit tampak menghitam rata. Jakarta diguyur hujan dan
Luna tersenyum senang. Senang karena dia tidak menjadi bagian dari kegelapan
itu. Meski di bawah sana, barangkali Adit pacarnya, sedang terjebak macet yang
di Jakarta selalu sepaket dengan hujan. Adit yang sedang menuju bandara untuk
menjemputnya. Realita sudah mulai menggapainya. Realita bisa rindu juga
rupanya.
***
Dua hari berikutnya Luna dan Rama
tak bisa bertemu, tetapi tetap berkomunikasi melalui SMS. Rama menawarkan diri
untuk mengantarkan Luna ke bandara esok harinya. Tanpa berpikir, Luna
mengiyakan.
“tut,tutut.” Bunyi nada SMS dari seluler Rama.
“LOL!” SMS Luna kepada Rama.
“Kok ketawa?” jawab Rama.
“Pengin aja, Ayo buka laptop!”
Ajak Luna kepada Rama, untuk memulai obrolan.
Dan seperti biasa Luna memulainya
dengan awalan Dear. Rama membalas
dengan emoticon titik dua tutup
kurung.
Rama: Ngga’ kemana-mana? Ini malam terakhirmu kan?
Luna: Pengennya ke Korea, tapi kok jauh ya?
Rama: Aku pengin ke Hotelmu.
Luna: Ini jam berapa? Kamu gila ya?
Rama: Banget. Kenapa kok tiba-tiba pengin ke Korea?
Luna: Bukan tiba-tiba, tapi sejak 5 tahun lalu aku pengin ke sana.
Pengin liat konser SNSD langsung, lalu berkeliling Seoul.
Rama: Memangnya tidak ada yang lain di pikiranmu selain lagu dan
drama Korea? Apa yang kamu suka dari mereka?
Luna: Tidak ada alasan untuk tidak menyukai mereka. Aku suka saja.
Lagian aku pengin berlibur jauuhh sekali dari pekerjaanku dan Indonesia.
Rama: Separah itukah pekerjaanmu? If you hate it so much, why don’t you quit?
Luna: Easy for you to say.
I’m not like you. I don’t have production houses waiting for my music scores. I
don’t have books to translate everyday. I need to pay rent. Nyicil mobil,
bayar zakat... Oh, wait. You’re a moeslem
but do not practice. See? I’m not like you. I have parents to please, nephew
and nieces to buy cute clothes for. I’m not like you, making a living for
yourself only_
Untuk beberapa detik jari-jari
Luna berhenti di atas tombol “Enter” sebelum kemudian menekan tombol backspace dan menghapus kata-kata
sinisnya. Lalu menggantinya dengan:
Luna: Its an option, but not
mine to take.
Rama: Why not? Its your life?
Luna: Sudahlah.
Rama: You must be tired.
After all it is 3 am.
Luna lama tidak menjawab. Dia
kesal. Tapi tidak pada Rama. Namun pada dirinya sendiri. Yang terperangkap
dalam pekerjaan dengan atasan tak kompeten yang menyebalkan.
Keperluannya ke Jogja pun untuk
mewakili atasannya yang lagi-lagi mendadak melimpahkan tanggung jawab pada
Luna. Sesuatu yang sangat mahir dilakukannya selama Luna bekerja di perusahaan
konsultan tersebut. Akan tetapi Luna sadar, bukan semata dirinya bawahan yang
merasa memiliki atasan tak becus dan semaunya sendiri. Setiap orang punya kecenderungan
merasa lebih hebat dan lupa akan kekurangan-kekurangan yang dimiliki.
***
Rama menatap layar yang tidak
berubah selama semenit. Tidak ada sahutan dari Luna. Dia tahu Luna tidak
menyukai pekerjaannya, terutama atasannya langsung. Dia tahu, berbeda dengan
dirinya, Luna berusaha mengenakan segala titel
yang dia punya dengan baik. Anak, kakak, adik, tante, wanita karier, sahabat,
dan titel termutakhir: pacar orang.
Rama hidup dari hari ke hari. dia tidak memikirkan esok hari yang jauh dan tak
pasti. Dia tak peduli orang menganggapnya egois dan acuh tak acuh. Baginya
lebih baik sendiri daripada harus hidup dengan drama. Hidup bukan dari perkara
memenuhi standar orang lain.
Namun, Luna bagi Rama adalah
sebuah pengecualian. Baru kali ini dia merasa dirinya menginjak area berbahaya.
Dia biasa bergaul “virtual” dengan gadis-gadis berotak seksi. Tapi baru kali
ini dia bertemu gadis dengan benak dan bodi sama-sama seksi. Tepatnya malam itu
saat mereka pertama kali benar-benar bertemu. Luna yang menyamakan mereka
dengan Summer dan Tom dari film “500 Days Of Summer” film favorit Rama.
Rama: Luna? Are you okay?
Luna: Ya.
Rama: Wait. I’m going to your
place.
Luna: What? Wait Rama! JANGAN!
***
Rama memaksa berangkat menuju
hotel tempat Luna menginap. Itulah Rama, dengan segala kejutan-kejutannya yang
sering ia lakukan. Ia bergegas mengenakan celana kargo dan kaos katun
kesayangannya, dibalut dengan jaket outdoor warna biru dongker. Menyusuri
jalanan Jogja yang tak pernah mati. Pagi buta, ia memaksakan diri untuk menemui
Luna yang sudah menolak melalui obrolan maya.
Ia hanya berpikir, tidak ada
kesempatan lain selain pagi ini. Ia tak mau bertaruh, dengan menunda dan
menunggu momen yang benar-benar pas. Nalurinya mengatakan demikian.
Rama mengetuk kamar nomer 8, tempat
Luna menginap. Belum genap ketukan kedua, pintu itu telah terbuka dari dalam.
Ternyata Luna sudah menduga, bahwa Rama tak main-main untuk mendatanginya
sepagi ini.
Rama: Hai lesung pipi..
Luna: Gila!
Rama: Lama menunggu?
Tanpa jawaban, Luna segera menggandeng
tangan Rama untuk masuk ke dalam kamar. Mereka menghabiskan pagi yang belum
genap itu dengan saling berpelukan. Sembari bertukar gurauan yang selama ini
hanya mereka habiskan melalui telpon dan surat surel.
Ada perasaan takut yang tercermin
dari raut Luna pagi itu. Perasaan takut kehilangan, serta rindu yang belum
tuntas atau beberapa kecemasan yang akan terjadi setelah ini. Luna beranggapan
semua resahnya hanya Rama yang mampu mengobatinya. Seolah sirna dengan tatapan
lembut Rama yang selalu membawa Luna ke dalam satu mimpi yang indah. Bernama
harapan.
Mereka berdua melepaskan
perasaan-perasaan rumit yang selama ini terbesit. Membiarkan suasana datang
tanpa rencana dari otak yang terkadang begitu kurang ajar. Mengalir begitu
saja. Dan mereka menikmatinya pagi itu pada kursi kapasitas dua orang yang
menghadap jendela ke arah timur. Mereka saling berpegangan tangan, sembari
menunggu matahari terbit.
***
Seperti biasa, Adit menunggu Luna
di KFC dengan segelas Coke
kesukaanya. Luna memeluk leher Adit dari belakang. Menciumi wangi parfum yang
Luna belikan untuknya. Ada kerinduan yang dirasakannya. Begitu kuat. Tapi Luna
tak yakin untuk siapa. Adit atau Rama? Adit dengan sigap bangkit, lalu meraih
bawaan Luna dan dengan tangan yang satunya menggenggam jemari pacarnya.
Luna menangkap bayangan dirinya
dan Adit di pintu kaca otomatis. Pasangan yang serasi. Meski Adit bukan sosok
pria yang bisa diajaknya berdiskusi seru, Luna merasa dilindungi. Ia
menyandarkan kepalanya pada bahu Adit.
Di jalan tol, mobil Adit melesat
meninggalkan patung Soekarno-Hatta, Luna membaca kembali SMS terakhir antara
dirinya dan Rama:
“Thank you for the lovely visit. I hope we could do it all again
someday.”
“The feeling’s mutual. But how come your ‘someday’ seems so far away?”
Lau menghapusnya.
Playlist yang dibuatkan Adit untuknya sedang diputar. Dia merasa
seolah sedang menaiki mesin waktu yang makin tak sabar ingin mengembalikannya
pada realita.
“Kamu agak gemukan, ya Sayang?”
tanya Adit setelah melirik Luna sekilas.
Kata-kata pertama yang diucapkan
Adit untuknya setelah seminggu tak berjumpa.
(selesai)
0 komentar:
Posting Komentar