6 min Reading
Add Comment
“Memilikimu bak
mendulang udara,
diruang hampa, diruang
hampa,
aku tak mampu menolak
indahmu.”
Dialog Dini Hari – Kau
"Tinggalkan Lesung Pipimu Di
Sini!"
Itulah kata-kata terakhir yang
diucapkannya kepada Luna. Bukan “Tunggu aku di kotamu” atau “I’m going to miss you”. Luna sendiri
lupa berterima kasih telah diantar ke bandara karena hati dan pikirannya sibuk
berebut berbicara, selebihnya salah tingkah. Luna ingin menelusupkan hangat
peluknya ke tubuh pria itu. Menitipkan rindu yang mungkin tak ada yang tahu
selain Luna dan dia.
Pesawatnya dijadwalkan berangkat
pukul 17.55. Mereka duduk di bangku semen yang rupanya merupakan area khusus
perokok di seberang pintu utama Bandara Adi Sucipto. Mobil dan taksi lewat
silih berganti menurunkan calon penumpang pesawat dan para pengantar. Sore yang
hidup. Langit Jogja memperpanjang bayangan-bayangan orang-orang yang
lalu-lalang dengan sinarnya yang hangat. sehangat binar mata Luna yang
mendengarkan Rama bercerita tentang naskah film yang sedang digarapnya. Waktu
sangat pintar menjelma dari bukan apa-apa menjadi begitu berharga di hadapan
dua manusia yang saling suka.
“Jam berapa sekarang?”
“16.55. Aku masuk setengah jam lagi,
ya?”
“Tunggu dipanggil aja. Kedengaran
kok. Masa aku tega,” jawab Rama dengan tenang.
Tahan aku. Tahan waktu. Agar kita bisa menuntaskan cerita sambil
bercinta berbantalkan mimpi, pinta Luna pada semesta.
***
Pesawat yang Luna naiki termasuk
baru. Ditandai dengan televisi kecil ditanam pada punggung kursi di hadapannya.
Saat pesawat lepas landas, Luna menyipitkan mata ke arah bandara, berharap
melihat sosok tinggi Rama dengan kedua tangan bersembunyi di saku, menatap
pesawat yang membawa Luna pergi. Luna menepis harapan tolol yang tak mungkin
itu. Pasti dia sudah meluncur di jalanan kota Jogja yang tak pernah mendesaknya
untuk menjadi apa pun yang dia tak suka.
Sebaliknya, satu jam lagi kota
kelahiran Luna akan kembali mengikatnya dengan rutinitas. Rutinitas-rutinitas
yang menumpulkan imajinasi, mengeriputkannya dengan macet dan polusi. Luna
tidak rela. Dia menghela napas dan memandangnya ke luar jendela. Gradasi warna
kesayangannya menguasai angkasa: ungu, merah jambu, dan jingga. Luna kembali
menghela napas, kali ini karena keindahan yang dirasa kelewat menyesakkan.
***
Hampir setengah tahun Luna tak
berhubungan dengannya. Pertama, karena koneksi internet di kantornya untuk
situs-situs jejaring sosial diblokir. Kedua, karena Luna kini punya seseorang
yang bisa disebutnya pacar. Sore itu, saat Luna sedang menikmati sisa-sisa
akhir pekannya dengan bermalas-malasan di kamar sambil browsing internet, menyapa teman-temannya melalui situs-situs
jejaring sosial , ditarik-ulur gelombang informasi, tiba-tiba salah satu tab-nya menyala. Mengedipkan pikiran
nama pria itu. Pria yang mampu mengimbangi jalan pikiran Luna yang ruwet. Luna
segera mengarahkan kursornya ke sana.
Rama: Hey You.
Luna: Hey.
Rama: :D
Luna: Long time no see.
Rama: Ada yang sibuk pacaran sih.
Luna: :D
Seperti biasa mereka tenggelam
dalam pembicaraan yang seru. Luna merasa bertemu dengan seseorang yang mampu
mengimbangi kebodohannya dan kepintarannya sekaligus. Seseorang yang memiliki
pendapat sendiri dan tidak takut mengungkapkannya.
Sesi chat mereka kurang lebih menggambarkan bahwa semua beban mereka
berdua adalah taman yang berisi ribuan bunga yang mekar di sisi sungai yang
bening, semuanya tumbuh dan mengalir begitu saja tanpa ada beban. Perbincangan
mereka acak, tapi menyenangkan. Selalu membuat Luna berpikir dan mempertanyakan
hal-hal yang selama ini dia yakini. Mencoba melihatkan hal-hal tersebut dari
sudut yang berbeda. Bagi Luna, Rama semacam oase berpikir. Dan Luna semakin
sayang padanya meski sudah lama mereka tidak bertatap muka.
***
“Aku akan menginap di Hotel Santika.
Kalau mau kita bisa ketemuan. SMS ya. Masih punya nomorku, kan?” Pesan singkat
itu Luna titipkan di laman message
Facebooknya. Tanpa beban. Diiyakan syukur, tidak juga tidak mengapa.
***
Luna membuka-buka majalah yang
tersedia di lobi. Berusaha terlihat sesantai mungkin. Meski hatinya kebat-kebit
dan dia mulai merasa kebelet pipis. Rupanya kupu-kupu di dalam kemihnya sudah
mulai berkontraksi dan menggelitiknya dengan sayap-sayap mereka. Wajah John
Mayer di majalah Rolling Stone edisi terkini tidak mampu mengalihkan
perhatiannya dari pintu utama hotel.
Luna sedang berusaha mengingat
satu-satunya foto Rama yang terpasang di Facebook, manakala pria tinggi
menjurus kurus dengan sweater hoodie
hitam dan celana pendek menghampiri. Foto di Facebook-nya tidak memberi rasa
keadilan bagi pemuda yang kini berdiri dengan senyum dan tangan terulur di
depan Luna. Meruntuhkan segala kekhawatiran kopi darat yang mengecewakan.
“Rama.”
“Luna.”
“Nice to Finally meet you.”
“Sama-sama,” jawab Luna kikuk.
“So?”
“Do you want to sit for a while?”
“Do you?”
“Nope. Yuk?”
“Tapi gudeg yang kamu mau jam
segini belum buka.”
“Ngak papa. Aku ingin
menapaktilasi kota Jogja.”
Rama ingat menemukan sosok Luna
dari laman Facebook teman dekatnya. Seorang perempuan yang duduk di hamparan
rumput keemasan dengan sebuah buku di tangan. Seulas senyuman yang mengalahkan
hangat matahari senja yang memantul dari kacamata minusnya. Bersinar.
Mereka pernah berada di
Jogjakarta pada kurun waktu yang sama. Tapi tidak saling mengenal. Meski kebun
sastra menjadi tempat yang mereka kerapi bersama. Luna dengan buku Harry Potter
sewaan atau literatur inggris berdebu. Sedangkan Rama yang mengakrapi dunia
film untuk mengabadikan beberapa kejadian di satu taman untuk program filmnya.
Mereka pernah berada pada suatu tempat yang sama, namun semesta belum
mempertemukannya waktu itu.
Mereka berjalan melewati
becak-becak yang masih mangkal. Melangkah ke arah Tugu dan berbelok ke arah
selatan di perempatannya, sebelum keduanya memutuskan untuk duduk-duduk ngobrol
di angkringan lor stasiun saja.
***
Malam itu pikiran Luna
berkecamuk, Luna membayangkan dirinya dan Rama adalah satu scene dalam film Before Sunrise.
Malam itu mereka berdua saling
berbagi mimpi, Berkeluh kesah akan hal-hal yang membuat mereka resah. Beberapa
kali keduanya tenggelam dalam tatap yang tak kalah fasih menyampaikan arti.
Perbincangan mereka terus
menyala. Kemudian Rama memutuskan untuk mengatarkan Luna menuju hotel. Mereka
berjalan menyusuri satu taman dengan rintik hujan yang lirih. Rama mengantar
Luna sampai di depan pintu kamar hotelnya.
“Aku cuma takut,” ucap Luna di
lorong hotel depan kamarnya, membuat Rama berbalik meski telah pamit.
“Takut apa?”
“Takut kenyamanan ini berubah
menjadi ketidaknyamanan saat jarak dan waktu menengahinya.”
“Kita tidak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan satu menit dari sekarang. Kita tak akan
bisa tahu. Jadi, buat apa sok tahu?”
Luna menunduk menatap karpet.
“Lagi pula, sebelum malam ini
jarak dan waktu tidak pernah menjadi masalah, bukan?”
Diam-diam Luna berharap Rama
mengangkat dagunya dan mencium keningnya seperti di film-film korea romantis
yang ia gandrungi.
***
0 komentar:
Posting Komentar