Ketakutan (mu)

Siapa yang ingin memilih, kepada siapa kita akan jatuh cinta? Kita tak akan pernah tahu bagaimana konsep rasa dan perasaan itu muncul dengan sendirinya? Siapa yang bisa mengelak saat semua pondasi terbangun dengan kokoh dan kemudian sebuah tembok berdiri untuk menghalau perasaan itu akhirnya runtuh. Aku tak pernah benar mengenalmu, mungkin sampai tulisan ini aku tulis untukmu. Aku tak mengenalmu.

Aku hanya mengenalmu melalui surel yang terkirim melaui kotak maya yang kubuka setiap pagi sebelum aku berangkat kerja. Kemudian menjadi dekat saat aku mendengarmu melalui jaringan seluler yang mulai berani untuk berbagi dan memuji setiap malam. Aku sama sekali tak pernah merencanakannya, semua mengalir begitu saja. Apa itu salah?

Kuakui jarak yang Tuhan ujudkan antara aku dan kamu, membuat aku sedikit tenang. Aku merasa ada batas yang sangat tipis antara perasaan nyaman dan satu ketakutan akan kehilangan. Jarak yang hadir diantara kita membuat aku berani untuk berbagi denganmu, karena aku merasa ada ruang untuk satu kebebasan yang tak harus kamu renggut.

Aku tak mau menjadi egois, saat ada perasaan cinta untukmu muncul dengan tiba-tiba. Entah darimana, sampai sekarang pun aku masih mencarinya. Entah itu dari suara mu perantara seluler. Entah itu tulisan-tulisanmu melalui surel yang sering aku baca berulang setiap malam. Entah. Aku tak pernah benar-benar mengerti mengapa itu terjadi. Dan dari sekian pertanyaan, aku memutuskan untuk mengatakannya padamu saja malam itu. Semua bermuara dalam satu peryataan, bahwa ada satu ruang yang ingin ku bagi dan kamu harus mengetahuinya, “Bahwa aku mencintaimu.”

Aku tak memintamu menjawab peryataanku malam itu kan? Namun aku salah, mungin aku terlalu gegabah. Tapi bukankah cinta tak pernah tepat waktu? Dan kita hanya disudutkan pada satu kenyataan untuk memilih, “Sekarang atau tidak sama sekali.” Aku lebih memilih untuk mengatakannya, karena aku tak ingin menjadi batu yang keras dan kemudian hancur dengan sendirinya.

Aku pun tak mau menjadi egois saat cinta untukmu hanya aku saja yang tau, kemudian mengutuk dalam sunyi. Aku tak mau seperti itu merasa mati dalam sepi. Maka aku memilih mengatakannya padamu malam itu, “Bahwa aku mencintaimu berulang kali.”

Aku mengerti resiko, tapi aku tak ingin terlalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi esok. Aku menyukai kejutan, tapi aku mengerti satu sikap untuk kenyataan yang harus disyukuri. Bukankah Tuhan berkuasa atas semua itu? Maka aku mencoba tak memikirkan ketakutan, saat harapan akan sebuah kebahagiaan terhampar di depanku adalah kamu. Bukankah kita mengamini setiap doa untuk kebahagiaan yang selalu kita rampal melaui mantra-mantra tiap malam? Maka aku mencoba ujudkan dengan mengatakannya padamu malam itu melalui doa.

Jika kamu masih belum mengerti, aku pun berusaha sampai malam ini. Aku menjaganya dengan berusaha memahami. Memahami mu pun juga aku. Perlu kamu tau, aku pun berjuang dengan memilih menunggu mu, karena menunggu sama dengan mencintai. Ia kekal dan selalu abadi.

Kamu tak perlu takut akan kehilangan, kamu pun tak usah takut untuk terpuruk nanti dan menjadi sedih. Karena kamu telah memilih untuk meragu. Kamu memilih kalah sebelum kita memulainya.

Mungkin dari mencintai aku mulai banyak belajar, bahwa menunggu adalah keabadian dari sebuah perasaan cinta. Aku menunggumu sembari aku memahami ke-a-ku-an-ku. Marahlah saat kamu membaca ini, amuk lah karena aku telah lancang menulismu selarut ini. 

Tapi jangan pernah menyesal pada suatu hari nanti, saat api yang terjaga untuk menunggumu telah padam, kemudian Tuhan membalik keadaan menjadi roda yang menggelinding. Berputar arah. Aku tak akan pernah menerimamu seperti saat aku menulis ini untukmu. Mungkin nanti kamu akan menyadari, bahwa cinta tak pernah mempunyai hitungan masa yang dapat seenaknya diputar mundur.


2 komentar

Pasang Iklanmu di sini