Reading
4
Comments
“Mas, Sehat? Jumat libur, Apa tidak pulang?” Sebuah pesan pendek
dari Ibu masuk ke telepon selular saya. Saat menerima pesan tersebut, saya
sedang berteduh di kedai kopi dan menyelesaikan draf tulisan mengenai perjalanan ke Sungai Penuh Jambi untuk
majalah Indimagz. Pesan dari Ibu saya baca sekilas dan beberapa menit kemudian
baru saya balas.
Seperti bunyi pesannya, saya lama
tidak pulang ke rumah. Ibu saya sebenarnya sudah terbiasa dengan hal ini, namun
ibu tetaplah ibu, ia kerap menanyakan kabar anaknya dalam jangka waktu
tertentu. Biasanya ibu akan mengirimkan pesan menanyakan apakah saya pulang ke
rumah di akhir pekan, waktu yang biasa saya pakai untuk pulang.
***
Beberapa hari ini saya sedikit
terganggu dengan gurauan beberapa rekan saya. Entah itu gurauan di sebuah forum
kecil sabtu minggu atau beberapa postingan di lini masa. Entah, ini sebuah
kebetulan atau kesengajaan, tapi saya merasa tersudut dalam sebuah kondisi yang
tidak mempunyai pilihan “yang apa boleh terima”. Gurauan mengenai sesuatu yang
seharusnya menjadi konsumsi pribadi, bukan menjadi sebuah forum umum yang semua
orang harus tahu. Mereka semua membicarakan kenapa saya masih memilih jalan yang
bernama: sendiri.
Ada rasa yang aneh ketika tema
semacam “Sendiri”, “Kenangan”, “Mengubur Masa Lalu” muncul ke permukaan. Entah
kenapa bagi saya tema tersebut seperti sebuah prolog berjudul, “Mantan Kekasih”
dan sejenisnya. Tak selamanya salah, tapi terasa begitu naïf. Ia seperti sedang
mengorek konteks kehadirannya. Menjadi asing sendiri dan tampak mencari-cari di
tengah kehidupan yang begitu biasa. Mungkin pada mulanya nampak lucu, tapi
semakin disadari beberapa hal nampak semakin membosankan untuk diterima.
Saya hampir yakin ceritanya akan
berpusar pada saling menyudutkan, saling menertawakan, kemudian mereka akan
tersadar bahwa mereka akan menertawakan diri mereka sendiri, yang mungkin ada
sebuah persamaan yang mereka alami dulu. Mungkin mereka tak perlu jauh-jauh
pergi untuk menyorot saya sebagai sebuah obyek yang pernah tersakiti atau
dihianati. Jika mereka mempunyai jiwa yang cukup besar, mungkin mereka bisa
melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Rasanya seperti menyaksikan film
Hollywood dengan tambahan satu sendok makan gula pasir saat melihat saya.
***
Ada satu penjelasan yang dapat
saya ambil saat saya bertolak ke Bandung beberapa bulan lalu, saat kawan-kawan birder dari Bandung menampilkan foto Kota
Bandung pasca lautan api yang hancur lebur, dan disandingkan dengan potret Kota
Bandung kini yang cantik. Secara kebetulan juga ada sebuah proyek berjudul, “Decomposing
Colonial Town” karya Dea Aulia Widyaeran yang memotret alun-alun Bandung
dulu dan kini. Dalam penjelasan karyanya Dea menulis, “Bandung identity now
is detach from history, how history still significance, or how to define a
downtown nowadays.“
Laiknya perbandingan alun-alun
dulu dan kini yang dilakukan Dea, buat saya bahasan soal Mantan kekasih dan
segala tetek bengek yang tertinggal di dalamnya terkadang tidak lagi
signifikan. Kita memberi penilaian dalam konteks masa lalu. “Mantan yang berubah
cantik”, “Mantan kekasih yang berlibur di pantai bersama kekasih barunya”, “jalanan
yang dulu pernah kami lalui bersama”, atau “tempat makan yang kini sudah
direnovasi menjadi sebuah resto yang bonafit.” Semua menjadi biasa dan tak
penting lagi. Nyatanya kita hidup di hari ini. Masa lalu tidak pernah pergi.
Kita yang pergi meninggalkannya. Kita yang menjadi sombong karena mampu menertawakan
kawan sendiri.
Lantas kita masih menilai sebuah
keputusan hidup seorang kawan untuk ‘sendiri’, dan mengaitkan sesuatu hal yang
berhubungan dengan masa lalu. Hanya keledai bodoh yang dapat menganut paham
seperti itu. Dalam perspektif panggilan Mantan kekasih kepada kita dijadikan
bahan lelucon di depan umum. Maka frase semacam, “Mantan sudah berpacar” dan
menyadarkan kita akan jauhnya kita dari kebahagiaan menjadi begitu signifikan
bagi sebuah penceritaan. Dan ya, kita tetap tak beranjak untuk kembali mengorek
masa lalu, dan menangisi keadaan yang jauh sudah terlewat bodoh. Mantan kekasih
hanya menjadi sebuah elemen romantis paling klise dalam cerita-cerita. Dan saya
sangat kecewa akan hal ini, saat dilakukan oleh rekan-rekan dekat saya sendiri,
ini seperti memelihara borok yang sudah tau obat mana yang akan kita pakai.
Mungkin ini adalah pertanda, saat
ada samsak-samsak yang harus kembali dipukul untuk membuang kekesalan dan
mungkin untuk kembali mengasah kepalan tangan yang telah lama tak dipakai untuk
diarahkan kepada manusia-manusia yang sombong.
***
Lama saya tak pulang ke rumah.
Panggilan Ibu melalui pesan pendek sore ini adalah salah satu indikator
menurunnya frekuensi saya pulang ke rumah. Ibu mencari saya, Ayah akan kembali
bertanya tentang rencana studi saya tahun ini, dan dua orang adik yang entah
masih mengingat saya sebagai seorang kakak yang suka menggunakan sarung setiap
malam dan selalu tidur paling larut. Tapi saya tahu ini akan menjadi sebuah
momentum untuk kembali menata diri, bahwa intensitas bersama keluarga harus
dijaga dengan lebih rapi.
Saat pulang ke rumah, saya
menggunakan motor. Dengan kecepatan yang biasa saja. Melewati jalan tikus
supaya lebih lama untuk melihat pemandangan persawahan di desa. Berbuah
kelelahan yang bisa diobati dengan hawa yang segar dengan seduhan teh hangat.
Tak ada gurauan yang menyudutkan mengenai mantan kekasih. Dalam lamunan di
kamar setelah mandi saya kadang bingung harus melakukan apa di rumah. Namun ada
momentum di mana saya merasa sebuah kenyamanan bersama orang-orang yang
mengerti saya. Aman dan sangat bahagia.
Ketika menuliskan ini saya kembali
berpikir mengapa banyak cerita masa lalu saya yang kembali dimunculkan oleh
rekan-rekan dekat saya sendiri? Saya tidak mengerti motif mereka memunculkan
itu baik di depan saya atau di belakang saya. Apakah mereka pernah berpikir,
akan ada masanya saat mereka bercerita kepada saya tentang kekasihnya yang
pergi bersama laki-laki lain, atau pernikahan yang kandas akibat kedua orang
tua mereka tidak menemui jalan mufakat. Kita tidak akan pernah tahu, kapan kita
berada di bawah atau di atas lantas tertawa terbahak-bahak menertawakan diri
kita masing-masing beserta semua kebodohannya.
Saya hanya tersenyum saat
mengingat kejadian dimana saya disudutkan habis-habisan, dan kembali membaca
tweet saya di linimasa yang bertuliskan, “Guyonan Taek!” Entah untuk siapa saja
yang merasa?
4 komentar
Hemmm.. daleeemm..
BalasHapusSemangatt Rahmaaann..
:)
*bawapompom
Wah, ternyata ya masih ada yang ngakunya "sahabat" tapi masih demen "nanam borok" ke sahabatnya sendiri. #parah!
BalasHapusmangat mas :)
BalasHapusSemangat gawe opo Mid? hahaha.. :D
Hapus