Reading
Add Comment
Ada satu pertanyaan pagi ini yang
membuat saya sedikit merasakan kecemasan yang subtil, yaitu pertanyaan mengenai,
“Apakah manusia benar-benar membutuhkan uang?” dan sampai sekarang pun saya
masih ragu untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam sebuah obrolan sore hari dengan
Ryan—rekan saya yang saya kenal di warung kecil langganan kami—selepas berburu
gambar di taman kota. Bahwa ia mengatakan, “uang adalah awal penyakit
kehidupan.” Saya hanya mengangguk kecil untuk memberi reaksi yang waktu itu
saya anggap paling netral untuk merespon pernyataannya.
Ryan juga pernah mengatakan kepada
saya, mengenai konsep uang pada abad jauh sebelum Portugis mengekspansi Nusantara.
Bahwa ia masih berharap sistem barter akan muncul kembali sebagai peradaban
yang paling manusiawi di negeri ini. “Tidak akan ada korupsi dan penyakit
lintah darat, saat kita masih menganut sistem barter untuk memenuhi kebutuhan
hidup, Man.” Dengan gaya selow yang
begitu khas darinya, ia melanjutkan pernyataannya sembari menyalakan rokok yang
ia jepit di kedua ujung jari kanannya, bahwa alat tukar (uang) yang selama ini
kita sepakati bersama sebagai benda “anti ribet” yang dipergunakan dipelbagai
aspek kehidupan adalah akal-akalan bangsa barat untuk menjajah kita.
Seperti saat Alexander Supertramp
dalam film Into the Wild yang memutuskan pergi menuju Alaska sebagai tempat
pelariannya, ia berusaha menjauh dari realitas sosial yang begitu memuakkan, ia
pun mengatakan bahwa, “Uang adalah ilusi yang kita buat sendiri.”
“Ambil contoh seperti ini bro,
saat aku punya rokok dan saat itu juga aku pasti butuh korek api untuk nyalain
rokokku. Padahal aku gak punya korek api. Kemudian, kamu punya korek api dan
tidak mempunyai rokok, pada saat bersamaan kita sama-sama ingin merokok. Ada
sebuah diskusi di situasi ini, untuk saling menukar dan saling berbagi, yang mungkin
sering kita hindari di lingkup masyarakat sekarang. Masyarakat sekarang tidak
ingin ribet, Man. Mereka mempunyai uang dan dengan mudah menukarnya dengan apa
yang mereka inginkan.” Mungkin istilah yang pas untuk menggambarkan perkataan
Ryan adalah yang mempunyai uang berlimpah ialah yang berkuasa.
Saya kembali terdiam dan berusaha
mencerna perkataan Ryan. Kemudian mencoba mencari sisi kekinian dengan kondisi
masyarakat menjelang pemilihan umum.
Saya yang hampir sepakat dengan
yang dikatakan Ryan, saat mengingat cerita teman saya yang bernama Hedi, bahwa
beberapa bulan lalu tender yang ia ajukan lagi-lagi gagal setelah mengetahui
lawan tendernya adalah kaum berduit di atas 1 miliar. “Aku gak iso lapo-lapo cuk, bah iku rancanganku paling apik, nek aku
disawang kere aku ra iso lapo-lapo.” (aku tidak bisa berbuat banyak untuk
rancangan tenderku, jika aku terlihat miskin). Saat ini mungkin semua orang memandang
bahwa yang berkompeten adalah yang berduit, dengan duit pula seseorang bisa
dipandang terhormat. Begitu pula untuk kasus saat ini, barang siapa yang mampu
menyediakan baliho dan media (alat pentas promosi) untuk kampanye partainya
paling banyak, dialah yang akan dipilih. Bisa dibayangkan untuk membuat satu
baliho saja kita mesti merogoh kocek minimal 500 ribu rupiah sampe 600 ribu
rupiah, lah, sekarang tinggal kalikan saja berapa jumlahnya dan dikalikan lagi
berapa daerah yang akan dipasangi baliho.
Kemudian para calon-calon itu
mempertaruhkan uangnya untuk berkampanye. Mungkin istilah Jawanya adalah “nombok’i dhisik gawe kampanye ben payu.”
Untuk dipilih saja mereka sudah berani bertaruh, saya tidak bisa membayangkan
saat mereka-mereka itu resmi terpilih, apalagi yang bisa mereka lakukan untuk
mencari “balen” (tebusan dari dana yang dipergunakan saat kampanye). Sebelum
terpilih mereka mengeluarkan dana sekitar 3 miliar misalnya, setelah resmi
terpilih, apa mereka ikhlas 3 miliar itu
hilang begitu saja? Saya tidak yakin mereka ikhlas.
Saya ingat Mas Swiss pernah ngadem-ngademi pembaca blognya untuk
mengajak supaya nyoblos kandidat
wakil rakyat yang paling sedikit masang foto di baliho, atau yang tidak ada
balihonya. Menurutnya, mereka yang paling tulus untuk maju menjadi pemimpin,
tidak memakai promosi ‘kacangan’ melalui baliho dan poster. Mereka berangkat
dari nol rupiah, menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan/goal. Bukankah
imam atau pemimpin itu saling mempersilahkan, bukan malah saling memperebutkan.
Banyak jika kita ingin melihat
sesuatu hal yang remeh dan beberapa hal kecil untuk dijadikan pembelajaran
hidup. Terkadang kita lupa bahwa pintu rizki tiap insan (manusia) itu sudah ada
yang nanggung, lah kenapa kita ribut untuk saling tipu dan sikut-sikutan. Memakai
cara promosi nombok’i untuk
menyakinkan masyarakat. Kemudian setelah terpilih, dengan besar-besaran
mengeruk uang rakyat untuk mengganti biaya promosi mereka saat berkampanye.
Saya bisa ambil contoh kecil dari
apa yang sudah kami lakukan. Saya menyebutkan ‘kami’, bahwa saya tidak pernah
sendiri untuk memahami sebuah konsep kebaikan dan kemudian mengerjakannya
bersama-sama. Beberapa bulan terakhir misalnya, kegiatan kami yang sebagian
besar bergerak mengatasnamakan komunitas Sayap Surabaya yang dulunya bernama Sarang
Burung Surabaya, cenderung nol rupiah pada setiap program garapannya. Tapi kami
cukup percaya diri saat disandingkan dengan lembaga-lembaga yang
mengatasnamakan sosial dalam pergerakan visinya. Karena kami berpendapat bahwa
uang adalah side effect dari apa yang
kita kerjakan, dan bukan menjadi tujuan utama untuk melakukan visi. Toh, saat
proyek pemasangan etiket di ekowisata mangrove wonorejo selesai, tanpa disangka
kami mendapat donasi yang cukup lumayan untuk kami pergunakan segabai booking tiket pesawat menuju Selangor sebanyak
6 orang pulang-pergi.
Hidup dalam keterbatasan memang
tidak selamanya menyakitkan seperti tidak mempunyai cukup uang untuk sesuatu
kebutuhan. Saya sendiri sering merasakan beberapa momentum sulit dari hidup,
tapi masih bersyukur karena kita diberi sifat membandingkan sebuah kondisi satu
dengan kondisi lainnya, mencari bentuk kesamaan atau perbedaan. Tinggal
bagaimana kita mampu memilih membandingkannya dengan siapa dibanding siapa.
Seperti saat tidak punya cukup
uang bulan ini misalnya, saya berusaha mengatur kembali neraca keuangan. Hal
ini mustahil saat saya memasuki fase dimana uang begitu berlebih. Banyak hal
yang mampu kita lakukan, sekalipun kita kekurangan uang. Seperti saat saya
menuliskan ini, saya sedang berada di kamar setelah mencari dompet dan kemudian
membukanya. Kemudian beralih dengan teliti membuka beberapa kabinet untuk
mencari simpanan kopi dan rokok yang mungkin saja bulan lalu sengaja saya
selipkan di sela-sela buku dan majalah perjalanan. Tetapi kenyataannya nihil,
malah saya dapati satu keping uang 500 rupiah terselip di tumpukkan kertas curiculum vitae yang beberapa bulan lalu
saya abaikan begitu saja.
Memang kita butuh uang saat kita
bermasyarakat, karena uang adalah efek domino. Ia berbunyi saat ada rangkaian
yang sama untuk kita sandingkan. Namun, perlu kita pikirkan lagi bahwa uang
bukanlah hal yang teramat penting dalam hidup. Toh, pagi ini saya masih bisa
tersenyum saat menemukan kepingan 500 rupiah yang terselip di tumpukkan cv yang
urung saya kirim bulan lalu. Bisa jadi
dengan kepingan 500 rupiah ini, pertanda bahwa Tuhan sedang mengingatkan saya
untuk mencari pekerjaan dengan menjamah curiculum
vitae.
0 komentar:
Posting Komentar