Reading
Add Comment
Setelah suaminya meninggal dan anak-anaknya besar, istri tentara ini menjalani kembara sosialnya. -Soelastri IS-
Kepuasan dalam hidup itu bermacam-macam. Ada orang memilih
bekerja keras guna memperoleh kesejahteraan diri yang lebih baik, tetapi tak
kurang pula orang memilih pekerjaan tak berduit demi mendapatkan kepuasan
batin. Cara terakhir itu dipilih Hajjah Sabariyah, nenek nan lincah dan perkasa
berusia 82 tahun yang mengisi hidupnya di pedalaman Kabupaten Jaya Wijaya
(Irian Jaya) untuk mengajar anak-anak Papua. Tahun ini, 13 tahun si nenek
guru—begitu anak pedalaman Irian Jaya memanggil—mengabdi di situ.
Sedemikian jauh, Nenek Guru Sabariyah tak juga merencanakan
hendak pensiun dari ‘tugas’-nya. “Semasa saya masih kuat berjalan, saya akan
tetap mengajar di sana,” katanya saat ditemui Kompas diruang tamu Menteri
Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin, Senin, 4 Desember 2000, sore. Karena tak
mendapat gaji dari siapa pun, si nenek menggantungkan hidupnya dari kebaikan
alam dan manusia di mana ia berada. Untuk hidup sehari-hari, perempuan
kelahiran Pangkalan Brandan—Sumatera Utara itu nyaris tak bermasalah.
Sejak meminta pensiun dari profesi guru pegawai negeri sipil
sebuah SMP di Sumatera Utara tahun 1968, Sabariyah tak lagi makan nasi. Ia
hanya makan ubi direbus, beberapa jenis sayur seperti dahun pohon pepaya,
singkong dan buah-buahan. “Badan saya malah makin sehat. Saya tidak pernah
sakit berat. Paling hanya flu, tetapi kalau saya minum rebusan daun pepaya
sembuh lagi,” tuturnya, masih dengan suara sangat jelas.
***
Periuk
Akan tetapi Sabariyah yang dikenal sebagai guru bahasa
Indonesia tak hanya memikirkan dirinya sendiri. Sekalipun jasmaninya nyaris tak
membutuhkan apapun, ia masih memikirkan kebutuhan buku, pakaian dan peralatan
lain untuk anak-anak di pedalaman Papua yang ia ajar beserta orangtua mereka
yang kehidupannya masih sangat terbelakang. Untuk keperluan itu ia tak segan
datang ke sana-sini meminta sumbangan buku pelajaran atau buku cerita baik
dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Jepang. Salah satu pejabat yang sering
ia datangi adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak Fuad Hassan sampai
Yahya Muhaimin.
Sengaja ia tak meminta bantuan dalam bentuk uang, untuk
menghindarkan diri dari prasangka banyak orang, tetapi tak semua dermawan
memberi buku. Agar lebih praktis, banyak yang menyumbang dalam bentuk uang,
meski ada juga seorang bupati di Seragen Jateng (mantan murid Sabariyah semasa
mengajar di Sumut) memberi 20 periuk dari kuningan. “Semua sumbangan saya
terima. Periuk itu saya bawa ke Irian dan sudah saya bagikan kepada kepala suku
di sana, “Kata perempuan yang bisa berbahasa Belanda, Jepang, Jerman dan
Inggris ini.
Kini, beberapa kelompok masyarakat di daerah Wolesi, Kimbin,
Tiom (semua di kawasan pegunungan Jaya Wijaya) sudah menggunakan periuk untuk
memasak ubi jalar yang menjadikan makanan pokok mereka sehari-hari. “Saya
ajarkan supaya mereka tak lagi makan ubi jalar tetapi direbus dengan periuk
itu, “lanjutnya. Nenek Sabariyah memang bukan sekadar guru baca-tulis,
berhitung tetapi juga segala hal yang berkait dengan kehidupan manusia,
umpamanya bagaimana cara menjaga kebersihan, cara berpakaian atau saling
menghormati sesama umat Tuhan.
Untuk keperluan mencari sumbangan, sang nenek bisa dua kali
dalam setahun ‘turun gunung’ ke Jakarta atau kota lain. Jatah rutin keluar dari
pedalaman Irian ke Medan dilakukan setiap bulan Maret untuk mengambil uang
pensiun dirinya dan suaminya, almarhum Kapten Sukiman. Menurut Sabariyah, uang
pensiun yang ia terima mencapai Rp 13 juta setahun. “Semua saya belikan barang
kebutuhan untuk anak-anak di Aceh dan Irian,” katanya menerangkan.
Kesempatan lain, saat ada undangan semacam munas MUI
pertengahan tahun 1999 atau menjelang Lebaran. “Selalu ada pesan saya diminta
datang ke seorang staf Departemen Agama misalnya untuk mengambil uang
sumbangan,’ katanya.
Memang, tak terbayang bagaimana nenek berusia lanjut itu
membawa barang semacam buku pelajaran/cerita, baju baru maupun bekas bahkan
alat memasak dari Jakarta atau kota lain ke pedalaman Irian Jaya. “Tak ada yang
susah. Ke mana saya pergi selalu dibantu orang lain. Ada malaikat yang selalu
menyertai saya,” katanya terkekeh-kekeh. Ke mana pun ia pergi, nenek Sabariyah
memang tak perlu mengeluarkan ongkos. Untuk keluar dari Wamena menuju bandara
Sentani di Jayapura, ia hanya butuh tumpangan kapal TNI AL. Di Sentani ia
langsung melapor ke pimpinan TNI AU untuk bisa ikut ke Jakarta. Dan selama di
Jakarta ada dermawan memberikan tumpangan.
Untuk pergi dari tempat satu ke tempat yang lain, kalau saja
ia mau naik taksi Kosti atau Citra, sopirnya pasti tak akan mau dibayar karena
sudah mendapat pemberitahuan dari pimpinan mereka. Tetapi Sabariyah memilih
naik bus umum bumel kecuali harus membawa banyak barang.
Hubungan baik Sabariyah dengan para pejabat membuat ia
mendapat bekal ‘surat sakti’ dari Menteri Perhubungan mulai Rusmin Nuryadin
sampai Haryanto Danutirto. Kalau ia hendak naik bus ke Surabaya (untuk
dilanjutkan naik kapal TNI AL menuju Wamena) dengan membawa barang sumbangan
atau ke Medan untuk mengambil uang pensiun, ia cukup menunjukkan surat tersebut
ke kepala terminal yang lantas akan mencarikan bus untuk membawa ke tempat
tujuan dengan gratis. “Saya juga tidak perlu repot angkat barang. Banyak polisi
bantu saya mengangkat barang sumbangan itu,” katanya.
***
Pensiun Dini
Perjalanan hidup nenek bertinggi sekitar 148 sentimeter
dengan tubuh langsing ini sungguh unik. Sejak berusia 13 tahun ia sudah menjadi
pandu dan menyatakan keinginannya untuk berkeliling Nusantara. Keinginan itu
tak pernah pupus kendati ia pernah di Normaal School Amsterdam selama tujuh
tahun, menikah dengan seorang tentara dan kemudian menjadi guru SMP yang sering
pindah tugas karena mengikuti suami. Ketika suaminya gugur, empat anaknya juga
mulai menginjak dewasa dan menempuh pendidikan di Jerman dan Jepang (berkat
beasiswa dari perusahaan minyak cikal bakal Pertamina), Sabariyah nekat minta
pensiun dini.
Mulailah ia bertualang keliling Indonesia selama 17 tahun. Satu
persatu daerah ia kunjungi dan pelajari masyarakatnya. Tak heran kalau kini ia
menguasai 22 bahasa daerah Nusantara, sebab ia bisa tinggal sampai beberapa
bulan di daerah yang dikunjungi. Tempat yang paling membuat ia jatuh hati
adalah tanah Irian. Setelah tinggal untuk mengajar selama tiga bulan di daerah Wamena (tahun
1982), Sabariyah menegaskan niatnya suatu ketika, ia akan mengajar di situ,
manjadi guru sukarela tanpa diminta dan dibayar siapa pun.
Ditanya mengapa ia memilih Irian Jaya sebagai tempatnya
mengabdikan diri, Sabariyah beralasan bahwa irian adalah wilayah yang sangat
tertinggal dan terbelakang dibandingkan wilayah lain di Nusantara. Anak-anak Irian
butuh bantuan untuk belajar. Keinginan untuk sekolah sungguh besar, sayang
sarananya tak ada. Lebih dari itu, Sabariyah juga melihat bahwa pejabat
setempat kurang mampu mengalokasikan dana untuk kepentingan masyarakat
setempat. Akibatnya, rakyat Irian belum menikmati hasil pembangunan yang
sesungguhnya.
Tahun 1987, pulang dari berhaji, Sabariyah berangkat ke
Irian dan langsung menuju Wamena. Hingga kini ia tak mempunyai tempat tinggal
tetap, sebab setiap dua bulan sekali ia berpindah tempat untuk mengunjungi
anak-anak Irian lainnya. Perjalanan dari satu tempat ke tempat mengajar lainnya
ditempuh dengan naik perahu yang ia dayung sendiri selama semalam atau berjalan
kaki selama tiga hari (dari Wamena ke Tiom).
Di tengah hiruk pikuk keinginan sebagian rakyat Irian untuk
merdeka, Sabariyah tak gentar meneruskan langkah. “Saya merasa sudah kerasan di
sana, apalagi anak-anak Irian dan orangtuanya pun sayang kepada saya.” Katanya.
Kecintaannya pada wilayah paling timur Indonesia ini membuat ia rela mati dan
dikuburkan di sana.
_____________________________________________________________________________
Refrensi
Kompas-Kiprah Para Jawara |
Kiprah Para Jawara. Bagaimana menjadi pemenang dan nomor satu? Ternyata susah gampang. Terkesan susah jika hanya dipandang. namun, jika dilaksanakan dengan tekun dan gigih, ternyata mudah.
Ada kisah Suromo, seni grafislah yang membuatnya terbang melanglang buana, menikmati masa kejayaan.
Simak penuturan Sukanta Tanudjaja, pendiri raksasa garmen PT Great River International, "Modal utama bisnis adalah kepercayaan. Itu yang saya genggam erat-erat." Juga tidak kenal menyerah meskipun tokonya kerap dirampok.
"Beradaptasilah dengan arus," pesan Wayan Suwenda yang sejak kecil akrab dengan ombak gelombang, yang akhirnya membawa kesuksesan di bisnis surf shop.
Juga jangan lupa, rasa percaya diri harus tinggi. Ny. Darmastuti Sasongko, perias pengantin berpengalaman 50 tahun lebih berkata, "Berpuasalah. Selain menambah rasa percaya diri, jiwa lebih bersih dan tenang."
0 komentar:
Posting Komentar