Reading
2
Comments
![]() |
Wonosalam - Jombang |
“Sebuah pohon sebesar Anda bermula dari sebuah biji yang kecil; perjalanan sejauh seribu mil berawal dari sebuah langkah kecil”. (Lao Tse)
Saat matahari sedang
malu-malu di pertengahan Oktober, kesempatan yang baik untuk kami
pergi keluyuran. Saya dan kakak sepupu saya. “Namanya Rosy,
Pria berperawakan sedang, dengan brewok dan kumis yang
menghiasi wajahnya”, begitu saya mendiskripsikannya. Saat itu hari
minggu di pertengahan bulan Oktober, saya pergi ke Pare untuk
meninjau beberapa kolam lele dan dan sawah yang akan saya jadikan
lahan percontohan usaha pemakaian pupuk organik dari cv. Bioasa. Tak
lama kami di Pare, hanya beberapa jam sebelum adzan dhuhur
berkumandang, tinjauan kami ke kolam lele dan sawah kelar
juga.
Jika saat itu kami
memutuskan untuk langsung pulang menuju Mojokerto dan mengakhiri
minggu sore hanya di rumah, kok cek emane uripku. Apalagi saya
dan kakak sepupu saya, jarang sekali liburan akhir pekan bersama.
Mengingat dia sudah tidak bujang lagi, dua wanita cantik selalu
menunggunya di rumah. Meski ini bukan liburan akhir pekan, tapi
itung-itung keluyuran colongan lah. Tapi mau kemanakah kami
setelah ini?
_________________________________________________________________
Kami memutuskan untuk
bermotor-ria dari arah Pare menuju ke arah timur Jombang,
random mengikuti arah angin. “Dari sebuah ketersesatan,
ada perjalanan yang tak kita duga serunya”. Kami sepakat siang
itu, tak masalah. Sepertinya si-Matahari juga sedang malu-malu. “heh,
dek kopi daerah endi sing jaremu manteb?” (heh, dik Kopi daerah
mana yang katamu enak?), tanya masku. “nek cidak kene yo
Wonosalam, mas” (kalau yang dekat sini ya Wonosalam, mas),
jawabku setengah yakin. “yowes nek kunu ae” (yasudah di situ
saja), timpal masku meyakinkan tujuan kami.
Kami mengendarai Kawasaki
Edge. Sebenarnya di perjalanan ini, kami menunggangi Honda CB
seri 100n, tapi si doi lagi bongkar mesin di Surabaya.
Perjalanan ngeluyur kami masih random, tidak ada peta
dan tidak ada alat bantu navigasi. Hanya berbekal nekat. Sudah lebih
dari 45 menit kami mengendarai si-Ed, dan akhirnya kami
menemukan papan penunjuk yang mengarahkan kami ke Wonosalam. Terlihat
bukit dan beberapa pegunungan menyambut kami, sepertinya itu
pegunungan yang masih masuk kompleks Gunung Watujuwadah, Gunung
Argowayang, dan Gunung Kojor. Mungkin yang lebih sering terdengar
adalah Gunung Welirang, Gunung Anjasmoro, dan Gunung Arjuno yang
merupakan barisan pegunungan Api di daerah Jombang, Kota batu, dan
Pacet Mojokerto.
Sepertinya mendung sudah
mulai merapatkan barisan, seolah-olah menyambut kami datang. Terlihat
beberapa tumpukan kayu saat kami melewati permukiman penduduk,
mungkin untuk kayu bakar masyarakat sini. Mulai mereka kemasi, tak
mau sia-sia seharian mereka jemur, hanya karena terlambat berkemas
saat langit sudah mengirim signal hujan dengan mendungnya
terlebih dulu. Memang berbeda saat di Surabaya matahari sangat
terik-teriknya, berbeda dengan daerah lainnya di Jawa Timur. Seperti
di Wonosalam sekarang, sudah gerimis. “Mas, mandek sek ta? Gawe
jas udan.” (Mas, berhenti dulu? Pakai mantel), tanyaku.
“sek-sek durung teles! Dek”, (nanti dulu dik, belum
deras), jawab masku. Memang hujan sudah mulai menyambut kami, tapi
hanya sebagian perjalanan. Tiba-tiba sudah berhenti, turunnya hujan
memang tak merata, terlihat tutupan awan hitam hanya di sebagian
tempat.
Terlihat muda-mudi dari
arah berlawanan, tak sedikit beberapa mobil keluarga juga sering
mengagetkan laju perjalanan kami saat mulai belokan yang menanjak.
Sepertinya dekat dengan lokasi wisata. Tapi bukan itu tujuan kami
dari awal, kami penasaran bagaimana kopi Wonosalam yang santer
di masyarakat bisa membuat barista ternama gulung tikar karena
mencicipi kopi yang hanya di tukar dengan uang receh 500
perak. Kami masih setia meliuk-liukkan si-Edge di jalanan menanjak
dan sembari menikmati aroma pedesaan dengan bau tanah yang tersiram
air hujan barusan. Seger!
papan peringatan - koservasi |
Jalanan di desa ini sudah
beraspal, jika saya tak salah menyebutkan. Hampir 99 persen jalanan
yang kami tempuh sudah beraspal dan sangat sedikit sekali jalanan
yang berlubang. Kiri-kanan jalan terlihat beberapa papan iklan
seperti pijat, foto manten, sampai papan konservasi dari
BKSDA. Jalanan yang kami lalui cenderung menampilkan hutan musim,
yang bercampur dengan tanaman kebun dari masyarakat seperti kakau,
kopi, jagung, dan pohon jati. Beberapa bangunan rumah juga sudah
menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat sudah berbenah dan modern.
“Dek, mandek sek
gegerku kesel” (dik, berhenti dulu punggungku capek), kata masku
sambil mengurangi tekanan gas motornya. Kami berhenti di toko, jika
kami mendiskripsikannya seperti pada toko-toko di pedesaan pada
umumnya. Tapi disini terlihat beberapa kebutuhan tersedia, seperti
paku dan beberapa kawat besi juga terlihat disamping kotakan beras
dan bawang. Terlihat juga ada menyan yang tersampul dengan
plastik dengan merek 55. Tapi mata kami tertuju pada lemari pendingin
yang terletak di sudut kiri toko. Letaknya yang mudah dilihat, berada
di jalan masuk pembeli dan diantara etalase kebutuhan pokok. Kami
mencari kopi, otak kami sependapat akan itu. Tapi kerongkongan kami
mengatakan minuman dingin dulu lah.
Saya langsung menghampiri
lemari pendingin itu, mengambil pocary dan mizone. saya
langsung duduk di bangku kayu, yang berada di pinggiran teras toko
tersebut. Tanpa pikir panjang, saya langsung membuka segelan plastik
minuman dingin tersebut. Setelah dua tegukan panjang, saya
mengeluarkan lipatan uang dari saku kemeja untuk membayar. “saking
pundi mas?” (darimana mas?), tanya penjual kepada saya. “saking
Suroboyo Pak, mlampah-mlampah” (dari Surabaya, jalan-jalan
pak), jawabku dengan wajah kucel karena haus. Dari sapaan bapak
penjual di toko tersebut kami mengobrol panjang lebar, dan kami
mengerti bagaimana kehidupan masyarakat Wonosalam dan bagaimana
Wonosalam dengan kopi, dan hasil pertaniannya.
***
![]() |
Pak Hary |
Adalah Pak Hary, pria
ramah berusia sekitar 50 tahun yang senang ngobrol ini, yang banyak
bercerita tentang lingkungan Wonosalam dan sesekali menyisipkan
cerita bagaimana beliau membesarkan anak-anaknya sampai menjadi
Profesor pertanian. Beliau adalah pemilik warung atau toko serba-ada
yang menjadi tempat saya dan kakak saya Rosy beristirahat di
Wonosalam sore itu. Deretan jajanan dan beberapa bilik-bilik kayu
penyekat untuk tempat beras, kopi, dan jagung di bagian depan
mempertegas bahwa toko ini menjadi salah satu mata pencahariannya di
Wonosalam. Tempatnya memang sederhana, tetapi jika kita mencoba
berjalan di sekitaran samping rumahnya, kita akan tahu bagaimana pria
dengan tiga orang anak yang sudah berkeluarga dan mapan ini, mengisi
hari-harinya dengan bercocok tanam. Terlihat pohon kakau, dan pinus
sebagai sumber industri karet, terlihat di perkebunan Pak Hary.
“Panggil saya Pak Hary
saja mas, orang-orang sini akrabnya sama nama itu”, jelas Pak Hary.
Sebetulnya ada 2 rumah yang Pak Hary punya, tapi untuk kebutuhan
petani, praktis rumah yang satu beliau hibahkan untuk koperasi dan
kebutuhan petani disini. Berdasarkan keterangan Pak Hary,
permasalahan petani yang masih belum terpecahkan di Wonosalam adalah
tentang cengkeh. Hal itu karena cengkeh terserang virus, dan petani
sepertinya sudah putus asa, ditambah lagi petani terselimurkan
dengan adanya WTC (Wonosalam Training Center) yang
semakin ramai. Hal itu karena WTC sengaja dijadikan kawasan wisata
oleh pemerintah setempat. Bertambahnya area wisata membuat kegiatan
pertanian mulai terancam kefokusannya. “di sini tanah sudah
semakin mahal mas, untuk tani sekarang sudah mulai menyempit,”
keluh Pak Hary.
Saya duduk berseberangan
dengan bangku kayu yang diduduki Rosy dan Pak Hary, mendengarkan dan
mencermati obrolan mereka berdua membahas bagaimana permasalahan
petani yang semakin hari semakin tak terjawab. “padahal kalau
dulu saya nyangkul, lalu cuma nancepin ubi-ubian itu mas. Sekarang
gak bisa disamain dengan dulu”, keluh Pak Hary. “Anak-anak
sekarang pada pengen jadi Dokter, gak ada yang mau urusi ladang”.
Kalau saya tanya, “mau gak jadi Insinyur pertanian? Malah
diplengosi sama anak-anak sekarang,” terang Pak Hary sambil
tertawa kepada kami.
kakau |
News
and Fact!
Dengan
luasan 40.000 kilometer area keliling khatulistiwa berada di
Indonesia, negeri ini mempunyai lahan pertanian tropis
terluas di dunia. Indonesia juga menjadi negara
kepulauan terluas di dunia dengan 5,8 juta
kilometer persegi atau 75 persen wilayahnya merupakan perairan
laut.
Sampai
saat ini sekitar 49 persen dari angkatan kerja Indonesia bekerja
di sektor pertanian. Ironisnya, sekitar 60 persen dari
masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah petani.
Selain
potensi produksi dengan luasnya kawasan produktif, Indonesia
sekaligus merupakan pasar amat besar bagi produk pangan.
Populasi penduduk saat ini mencapai 220 juta jiwa dan diperkirakan
dapat berlipat hingga 400 juta jiwa pada tahun 2035.
Untuk
memenuhi kebutuhan pangan, Indonesia saat ini menjadi importir
beras, kedelai, susu, garam, buah-buahan, dan beragam produk
pertanian lainnya.
Kami meminum kopi bikinan
Pak Hary, dari hasil bumi Wonosalam. Sore dan guyuran hujan di
pertengahan Oktober. Rasanya tak ingin kembali ke Surabaya. Saya
mengerti ternyata tersesat itu tak selamanya meyeramkan, dan kami
sependapat bahwa tak selamanya kopi premium di kedai mahal itu enak.
“Mulailah melihat dari yang kecil”. Memang benar rupanya,
“ibarat sponge yang kering yang menyerap sari pati sekitar”,
kata Ayos di setiap petualangannya.
2 komentar
Cerita bapak yang membikinkan kopi ini, masa kecilnya pernah tinggal di Surabaya, katanya ga betah dan "melarikan diri" dari Orang Tua angkatnya yang masih Budhenya sendiri.
BalasHapusAda beberapa catatan yg nggak akurat kayaknya, WTC yg membangun bukan pemerintah. Itu punya pribadi mantan pejabat kota sebelah Surabaya.
Salam hangat, thanks telah menuliskan sebuah kampung yang selalu saya rindukan :)
terima kasih sdr pencangkul, meski perjalanan iseng kami sangat singkat. tapi kami sangat berkesan dgn wonosalam, apalagi dgn kearifan lokal masyarakat disana.
BalasHapusmemang saya sidikit ragu tentang bagaimana WTC itu, bersyukur ada yang "ngoreksi".
salam hangat, semoga wonosalam terjaga dan lestari. :)