Reading
Add Comment
Waktu itu di sore hari yang hampir
magrib. Sosok lelaki tertidur di ruang tengah, yang sering dipergunakan untuk
menonton televisi cucu dan anak-anaknya. Pemandangan berbeda waktu itu,
cucu-cucu yang biasanya ramai bermain dan berlarian diteras sampai masuk di
beberapa kamar sudah sangat jarang di beberapa tahun terakhir. Begitupun anak-anak
dari kakek tua itu, bisa dipastikan sudah sangat sibuk dengan keluarga dan
pekerjaan, yang jarang memperhatikan waktu makan dan tidur mereka.
Bulan Oktober saat musim kemarau tak
kunjung usai dengan matahari yang terik, meski sore masih menyisakan sebagian
kegerahan, yang terdengar dari kakek tua yang sedang mencari kipas bambu
berbentuk hati, bermotifkan anyaman warna merah dan kuning. Segera ia gerakkan
tangan yang hampir tinggal nadi dan kulit keriput yang menjadi penutup tangannya.
Menunggu adzan magrib, dengan menonton
acara televisi swasta dengan ceramah keagamaan adalah sebuah rutinitas yang tak
pernah absen dilakukan kakek tua itu. Begitupun saat adzan magrib mulai
berkumandangan dengan lantang, seakan-akan muadzin menjadi saksi pergantian
sore ke petang seolah-olah mempersilahkan matahari untuk turun dan bersembunyi.
Seiring langkah kakek tua itu bereaksi dengan maksud bergegas ke pancuran
wudhu, dan kemudian mendatangi surau untuk mengimami shalat magrib berjamaah.
Namun, kakek tua itu sekarang
sedang bermasalah dengan sebagian persendian tulang kaki dan beberapa keluhan
nyeri di punggung dan kakinya. namun sepertinya tak membuat kesigapan dan
keistiqomahan untuk bersujud tiap lima waktu, dan menjadi jamaah paling aktif
untuk pengajian sehabis isya’ hari jum’at. Sungguh ironis dengan muda-mudi
sepertiku yang masih memiliki 100% tenaga di usia subur tidak dapat
memaksimalkannya.
Kakek tua itu memiliki tiga orang anak. Satu
diantara tiga anaknya adalah pria. Menurut cerita, kakek tua itu pernah memiliki
dua orang istri sebelum akhirnya menetapkan bersama istri ketiga di sore hari
dengan nyeri di sebagian persendiannya saat ini. Dengan istri pertamanya dulu
pernah diceritakan sang kakek di jodohkan oleh Bapak dan Ibu dari sang kakek,
dan tidak mempunyai keturunan. Dan kabar selanjutnya, menikah lagi dengan istri
kedua, di karuniai satu anak perempuan, dan memutuskan untuk berpisah. Memilih
istri ketiga, yang di karuniai dua orang anak laki dan perempuan. Meskipun secara
awam sang kakek demikian, secara pengamatan saya jika hari raya Idul Fitri,
semua berkumpul dan bergembira. Dan yang dapat saya lihat disitu semua merasa
terakui dan saling menyayangi.
Menurut perawi dari beberapa orang yang
dekat dengan beliau. Sang kakek dulu adalah petani. Sempat bersekolah di
sekolah rakyat jaman kolonial yang sekarang mungkin setara dengan sekolah dasar
dan sekolah menengah pertama. Dahulu juga diceritakan sekolah adalah larangan
dan kekawatiran yang mendalam bagi kaum petani saat itu. Sepertinya sang kakek
mempunyai tekat keras untuk sekolah pada saat itu. Setelah merampungkan sekolah
rakyat, sang kakek waktu muda yang sebagian besar masa mudanya, ia habiskan
dengan bertani dan berternak, mengaji di surau-surau kaki gunung. Dapat
dipastikan sekarang sang kakek tak pernah meninggalkan lima waktu. Sekitar umur
belasan tahun waktu mudanya, ia mulai putuskan untuk pergi kekota. Akses yang
tak mudah jika dibandingkan dengan sekarang. Transportasi dari desa ke kota
bisa dilakukan dengan berjalan dan menumpang angkutan bambu, dengan mesin
penggerak, yaitu sapi atau kerbau yang sering petani pakai untuk membajak
ladang mereka.
Mencoba peruntungan dikota. pada jaman
sang kakek, mungkin dibilang masih gampang.
Pada saat itu kota sangat membutuhkan tenaga kerja, mulai penjahit sepatu,
sampai pegawai kantoran, meski bertugas sebagai pelipat kertas surat, dan
penata dokumen pegawai kantor. Sang kakek dulu juga di kabarkan bekerja
demikian. Terakhir sang kakek diangkat sebagai pegawai negeri di kantor
imigrasi, dan sangat beruntung sang kakek tersebut dari sebuah keuletan dan
kesabarannya tersebut sang kakek tiap tahun menemani rekan kerjanya bertugas ke
tanah suci, sembari haji dan umrah.
Dari hasil kerja kerasnya, sang kakek
sekarang dapat menikmatinya. Dari dana tabungan pensiunan. Sang kakek nampaknya
senang dengan apa ia dapati sekarang.
Berbeda jaman, berbeda pula warna
rambut. Berbeda pula pengharapan sang kakek sekarang. Sekarang sang kakek sudah
tidak setegap dan sekuat dulu. Sang kakek pernah bercerita, jika 80 kilogram padi
adalah makanan tiap 6 jam per-harinya untuk iya pikul dengan jarak 10
kilometer. Untuk mengisi lumbung-lumbung padi milik Ibunya. Memang terlihat
dari bahu yang mengeras saat saya pijat sore itu. Saya merasakan bagaimana
seluruh tubuhnya bercerita banyak kisah, tanpa ia ceritakan dari bibir yang
sudah mulai mengering dan minipis itu. Sangat keriput. Tapi saya masih
merasakan bagaimana otot yang kuat yang masih membekaskan sejarah bagaimana
anak-anak dan istrinya ia perjuangkan sampai sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar