4 min Reading
Add Comment
Memang sudah sebulan yang lalu,
kita umat muslim merayakan Hari Raya Haji 1434 H. Hari Raya Haji memang identik
dengan kurban, penyembelihan, dan berbagi daging. Untuk para muda seperti kami,
kegiatan malam hari setelah penyembelihan kami lanjutkan dengan bakar-bakar
daging.
Tahun ini kalender Masehi memberi
banyak kita liburan panjang, salah satunya bulan Oktober kemarin, tanggal 26
sampai dengan tanggal 28, kami dihajar liburan beruntun. Dua puluh enam, hari
Jumat tanggal merah (Hari Raya Haji). Tanggal 27 hari Sabtu otomatis kami ikut
libur, dan tanggal 28 hari Minggu bonus libur lagi. Jet lag!
Kesempatan berkumpul dengan
keluarga dan rekan-rekan dengan mengisi liburan juga sering kita dengar di
media sosial dengan (Quality time). “Apapun
kegiatan kita di akhir pekan semoga bermanfaat, dan membangun semangat untuk enam
hari berikutnya”. - Abdurrahman Azhim A -
Bersyukur malam ini kami dipertemukan dengan
perantara daging kurban. Ada beberapa yang dapat saya serap dari momen “kangen
api, dan kangen sapi” ini. Dari sebuah kebersamaan, kami meleburkan permasalahan
pribadi, membuat sebuah momen dimana “kere itu juga punya hak untuk hore”. Kami
juga sepakat dengan beberapa parikan
yang ugal-ugalan, yang penting “ojo sambatan!”. “Aki-aki makan duku di
hutan”. Artinyeeee: Hey Laki, masih rindu
mantan, ya jangan sambatan!.
***
Saya sudah feeling kalau liburan yang panjang ini membuat jet lag. Bagaimana tidak,
no plan and no game!. Tapi hal itu
untuk sebagian muda-mudi yang kurang nekat,
untuk kami penganut paham ‘kere hore’
itu semua sirna.
Pagi hari, saya menyibukkan diri
dengan berjama’ah Shubuh sembari menunggu shalat Ied. Saya mampir ke warung
kopi dekat masjid, baca koran dan nyruput
kopi. Kegiatan sepele tapi menurut saya ini Quality
time, hehe.
Setelah belepotan dengan darah sapi dan lendir kambing. Saya sesak nafas
karena lemas. Bagaimana tidak?, dua ekor sapi yang akan kami jagal ternyata
berontak layaknya pemain smack down.
Alhasil sepuluh lebih, ‘pemuda harapan
masjid’ berlarian mengejar si Sapi genit ini. Sayang, saya tak sempat
merekam aksi liar ini.
Saking lemasnya, saya tertidur setelah
shalat Ashar. Tiga kali telepon berdering, dan beberapa pesan singkat masuk. Tidak
sanggup mempengaruhi tidur saya, yang
hampir menyerupai kebo. Hanya ketukan
pintu dan ucap salam si-Ryan terdengar sayup-sayup menyapa dari luar teras
rumah saya, praktis saya pun terbangun. Kebetulan kamar saya berada paling
depan, semua aktifitas di teras dan suara pintu otomatis juga terdengar.
Ternyata benar, Ryan di teras.
“Lapo?” (Ngapain?), tanyaku yang separuh sadar. “Ayo ngopi nang ngarep, man!” (ayo minum
kopi di warung depan, man!), jawab Ryan. “sek-sek,
tak raup” (bentar-bentar, saya cuci muka dulu), timpalku. Rekan saya yang
satu ini spesial, kalau mau ngajak ngopi. Bagaimana tidak, dia selalu menjemput kerumah dengan jalan
kaki, motornya sudah terparkir di depan warung.
Setibanya di warung kopi depan
rumah, Alvin, Maleo, dan Babeh sudah njagong
dengan kopinya masing-masing. “Lah tumben
gak sarungan Man?” (Lah, Tumben tidak pakai sarung, Man?), tanya Babeh setengah
guyon. “Ogah, lah mbok kiro aku pengajian terus!” (Tidak, apa kamu kira
aku ikut pengajian terus!), jawabku sambil senyum.
Setengah sadar dan sedikit
ngantuk, apalagi tinggal beberapa jam sudah magrib. “piye, engko bengi ono acara tah?” (bagaimana nanti malam ada acara
apa?), tanyaku. “sek ono daging sisah,
nang omahku bakar-bakar ae piye?” (dirumahu masih ada sisa daging,
bagaimana kalau nanti dibakar?) saut Ryan. “Sip,
Cak Man bacok’an!” (Sip!), kami sepakat. Hehe (ribet banget ya bacanya)
***
Malam di kompleks rumah Ryan
memang membuktikan bahwa cuaca tidak sepenuhnya bisa ditebak. Prakiraan cuaca di
salah satu stasiun televisi negara, menunjukkan awan sudah ‘memayungi’ separuh
kota Surabaya dengan makanan khas Semanggi ini. Tapi apa boleh dikata, kalau
bulan Oktober di minggu-minggu akhir banyak orang nduwe gawe (resepsi pernikahan). Siapa yang tak kenal pawang hujan
dan pengusir awan di negara kita. Presenter cuaca dan Badan Meteo, di bikin
geleng-geleng akibat kesaktiannya menggiring awan menyibak hujan. Inilah alasan
kami untuk walk out dan buka baju saking gerahnya.
Kami berdelapan memang kangen
Api, momen yang selalu menjadi tradisi saat kami pergi ke gunung dan membuka
tenda untuk bermalam. Entah mengapa, seperti memiliki aroma magis saat
berlama-lama memandangi api diantara sudut mata yang gelap. Api malam dan
beberapa nyanyian tentang alam, Itu yang membuat kami sepakat untuk berpesta
malam ini. Mungkin untuk memancing aroma api yang hangat, menjadikan kami
bersemangat keesokannya. Kami ingin pergi ke gunung, bakar batu seperti yang
dilakukan suku di pedalaman papua.
“You grow up the day you have the
first real laugh.. at Yourself”.
Mari
kawan, saya ajak nengok kawan-kawan saya yang lagi khusuk ngipasin sate. Eits, jangan salah.. yang ngipasin sate orang Sunda, yang muterin atau
mindahin sate orang Betawi. Semuanya dalam kerukunan, yang penting jangan jotos-jotosan! Dan satu lagi, gak
boleh sambat!.
0 komentar:
Posting Komentar