Reading
Add Comment
Mengisi liburan akhir
tahun bersama keluarga memang sebuah momen yang sungguh menyenangkan.
Melewati jalur selatan Madura menjadi pilihan tepat, selain kondisi
jalan yang sudah beraspal, selepas Suramadu berbagai kedai makan khas
pulau garam ini menarik perhatian kami untuk berhenti dan mencicipi.
Kaldu Al-Ghazali menjadi kuliner pembuka untuk kedatangan kami di
Pulau yang menjadikan karapan sapi sebagai festival rutin tahunan.
Sajian Sup Kaldu dengan bahan utama tulang sapi yang masih terdapat
daging kenyal di sekitaran tulang. Sumsum yang berada dicelah tulang,
dapat dinikmati dengan cara “disedot” oleh penikmat dengan
sedotan layaknya kita minum jus ‘sumsum’, membuat suasana semakin
riang tanpa melupakan tulang sapi yang siap kami banting-bantingkan
ke meja untuk mengeluarkan lemak dan sumsum yang tersisa. C’mon
Boned!
Kuliner Madura Raya yang memakai kaki
sapi sebagai sajian utama, milik Al Ghazali
White
Cow Al-Ghazali Maduranese
Madura
Setelah suara adzan
Dhuhur ber-kumandang, saya mencoba memelankan laju mobil yang
melewati jalur selatan Madura. Setelah selesai shalat, kami
sekeluarga melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan untuk mencari
warung makan, sebelum tiba di Pamekasan. Maklum perut kami sudah
berteriak ‘minta-minta’. Bisa jadi karena efek perjalanan selatan
Madura dengan fenomenanya: Sepanjang jalur selatan ini memang kerap
kami jumpai beberapa warga yang berada di tengah dan kiri-kanan
jalan, untuk menyodorkan kotak amal pembangunan masjid atau mushola.
Pemandangan biasa yang dapat kita jumpai saat kita memutuskan
berkunjung ke pulau garam ini. Selain itu, pemandangan dan keramaian
pasar sepanjang jalur selatan Madura juga kerap membuat lalu lintas
yang terus mengalami pengaspalan ini, selalu macet menjelang
pagi dan sore hari.
“Please smile while
driving,” Tegur adik kedua saya yang sok nginggris
berusaha mencairkan suasana tegang dalam mobil yang sengaja kami buka
kacanya, bukan karena kepanasan akan tetapi saya sengaja membukanya
untuk membiarkan udara sekitar masuk, supaya kami bebas menghirup
aroma yang akan membuai indra penciuman seisi mobil. Selain sate dan
soto madura yang terkenal di Nusntara, Madura masih menyimpan
beberapa sajian kuliner yang terus berkembang, hal ini yang
menjadikan kami penasaran ingin mencari tahu dan tak sabar ingin
mencobanya.
Setelah setengah jam kami
berjalan dengan kecepatan hampir 60 Km/jam kami memasuki Sampang.
Salah satu kota dari empat kota di Madura, tiba-tiba Ayah Saya ingin
mencoba kaldu sapi di daerah ini. Menurut cerita perjalanan
rekan-rekan kerja Ayah di daerah Sampang, ada salah satu kedai/warung
makan yang khas. Konon warung yang menjual masakan dengan bahan utama
daging Sapi ini, kerap menjadi pilihan utama para mobil dinas yang
singgah di pulau yang mayoritas penduduknya muslim ini. Kaldu Sapi
yang terkenal itu, memiliki daya tarik tersendiri bagi kulinerian,
entah apa yang membuat Ayah Saya ingin mencobanya. “Dengar-dengar,
orang yang makan kadu Sapi sering menghentak-hentakkan tulang Sapi
ke Meja.” “Ngapain?,” Timpalku.
***
Like
a Monster!
Mungkin begitu kata
pertama yang terlontar, saat pertama kali saya berhadapan dengan
semangkuk kaldu sapi yang telah diantar oleh pramusaji berjilbab di
rumah makan Al Ghazali. Pandangan pertama saya dengan semangkuk kaldu
super mungkin sama seperti saat saya dibikin berdebar-debar pertama
kali dengan sup buntut. Mungkin dalam benak saya waktu itu, saat
dihadapkan dengan sup buntut adalah saya mulai “nyokot”
yang mana dulu?. Bisa anda bayangkan bagian paha atau betis seekor
sapi yang sudah mengalami proses sedemikian rupa, tinggal “tetelan”
dan masih ada ‘sumsum’ dari tulang yang menarik perhatian mata
dan membuat kemruyuk perut saat jam makan siang hampir lewat.
Selain semangkuk kaldu super, ditambahkan sepiring nasi yang
berbentuk agak rapi mencirikan ini masakan Nusantara, “mangan
nek gak mbek sego, berarti durung mangan,” Jargon Jawa.
Hal pertama yang saya
lakukan adalah mencoba ‘sari masakannya’, ini yang sering saya
lakukan saat dihadapkan dengan masakan yang berkuah atau sajian
makanan yang memiliki air. Maksudnya adalah mencicipi bagaimana rasa
kuah dari kaldu ini, karena saya pikir dari namanya pastilah cita
rasa berada di bumbu-bumbu yang telah tercampur di kuah kaldu super
ini. Namanya kaldu pasti rasa yang kuat berada di kuah. Imajinasi
awal saya tidak meleset, benar 100% bahwa saat pertama liquid
sup menempel di sepertiga bagian lidah saya, rasa kaldu sapi sangat
terasa kuat sekali. Bisa saya deskripsikan jika sari-sari dari bagian
tulang dan daging sapi yang dimasak kemudian dicampur dengan beberapa
bumbu rempah sangat kuat. Kemudian sisi asin dari masakan kaldu super
ini khas, “saya bilang khas Maduranese.”
Dugaan pertama saya
tentang cita rasa yang kuat ada di kuah tepat, tapi dugaan kedua
tentang daging yang masih menempel di bagian tulang, ternyata salah.
Perkiraan saya, jika daging yang menempel pada tulang sapi ini sangat
keras dan akan memberi perlawanan yang sengit saat saya gigit,
ternyata juga salah. Pada kenyataannya saat gigi taring saya mencoba
mem-pitchi tekstur daging, daging dari kaldu super ini sangat
lembut dan mesra untuk saya kunyah, ditambah lagi rasa kaldu yang
sepertinya meresap begitu kuat kebagian dalam daging.
Kedudukan berimbang, dua
prediksi saya terlawan oleh tekstur dan rasa kaldu dari daging yang
menempel pada tulang sapi. Sesi ketiga yang merupakan sesi klimaks
dari petualangan kuliner kali ini adalah terletak pada bagian tengah
tulang yaitu sumsum. Spot yang berada di bagian tengah dari
tulang yang mungkin berada di-diameter kurang dari 2 cm ini memang
saya siapkan sesi tersendiri. Saya memang berusaha tidak tereburu
menginterpretasikan berlebih, bagaimana sumsum ini akan menyambut
saya. Karena saya lihat selain sendok dan garpu, ada juga alat bantu
untuk menikmati kaldu super paman Ghazali ini menggunakan ‘sedotan’.
Awalnya saya berpikiran sedotan yang ada di mangkuk bersama tulang
sapi ini, merupakan kesalahan pramusaji atau juru masak, karena saya
juga memesan jus alpukat. Ternyata setelah diterangkan oleh Ayah
saya, sedotan yang berwarna biru ini untuk menyedot si-sumsum
yang sok imut, berada di celah tulang sapi nakal milik
paman Ghazali.
”Sluurrrp,”
saya seperti minum jus, tapi kali ini berbeda. Sedotan saya kali ini
bukan menghabiskan liquid jus, melainkan menghabiskan semua
sumsum yang masih menempel di dinding dalam tulang dari kaldu super
ini. Belum sampai habis saya menuntaskan urusan dengan si-sumsum,
tiba-tiba terdengar suara nyaring dari sebelah meja tempat kami
makan. Seperti suara hentakan tangan kemeja, dan hampir mirip dengan
Hakim saat memukulkan palu saat persidangan. “Dokk, DooKK,
DoKK!.” Saya langsung menoleh kearah suara itu berasal,
ternyata salah seorang kakek dengan peci hitam yang sedikit miring
sedang memegang tulang, tetapi aneh dari pandangan saya, sang kakek
memegang tulang tersebut dengan posisi terbalik, posisi tulang
pangkal berada di atas, sedangkan bagian bibir atau celah dari tempat
kita mengambil sumsum menghadap kearah bawah. Seperti hendak
mengeluarkan semua isi (sumsum) dari tulang, atau bisa saya
sampaikan: mungkin sedikit gemas melihat sumsum tulang Sapi
tidak mau keluar.
Ini yang saya tunggu,
saya pun mencoba metoda ekstrim ini, awalnya saya sempat malu-malu
karena takut menghilangkan selera orang yang makan di rumah makan
ini, dan bisa-bisa saya diusir dan membayar kerugian, karena membuat
meja makan jadi lubang dan rusak. Tetapi metoda menghentak-hentakan
tulang dan memukul-mukulkan bagian tulang dari masakan kaldu super Al
Ghazali ini yang membuat ciri khas tersendiri bagi pecinta kuliner
untuk datang dan membuktikan fenomena yang ada. Sampang menggema!,
dan kami berlima-pun menikmatinya.
Catatan
tambahan
: Rumah makan Al Ghazali, dulunya hanya rumah makan sederhana dengan
lokasi yang masih menjadi satu dengan rumah pemilik. Sekarang sudah
cukup luas dengan berpindah agak
barat dari lokasi semula. Rumah makan Al Ghazali dengan best
seller-nya yaitu ‘kaldu
super’,
yang menjadi daya pikat pecinta kuliner Madura. Di lokasi rumah makan
Al Ghazali juga terdapat Mushola,
jika anda sangat lapar dan tidak cukup waktu untuk mencari masjid.
Dan untuk anda pecinta batik Madura, mungkin bisa sedikit bangga
karena di rumah makan Al Ghazali ini juga menjual batik khas Madura.
Saya sempat melirik harga dari kain batik ini, hampir setengah juta
rupiah. Mungkin tak masalah jika anda memang batik
lover.
0 komentar:
Posting Komentar