Reading
2
Comments
Pada sebuah sore, saya dan kedua teman saya
panggil saja: Doski dan Bastad. Berpindah tempat ngobrol karena hujan yang
sudah mulai mereda. Kami berpindah untuk mencari tempat makan, karena tempat
kami semula kurang pas buat kami, bukan karena tidak ada menu makanan, tetapi
menu makanan disini untuk ‘manusia tanggal muda’ sedangkan kami hanya mahasiswa
muda yang menua di akhir bulan. Selain itu kami bertiga adalah sosok ‘predator’
jika sudah di depan sajian makanan. Dan pada akhirnya kami memutuskan menuju ‘warung
penyetan’ untuk memuaskan perut yang sudah keroncongan. Murah dan meriah.
Singkat cerita, kami sudah menuntaskan sajian
yang ada. Seperti biasa kami menyalakan kretek sebagai penutup acara makan sore
kami. Sambil membuka pembicaraan dengan topik yang sepele, sederhana, kemudian
berujung pada cerita masing-masing dari kami yang sedikit ‘berbobot’. Mulai
dari pembicaraan bagaimana ikatan kimia dari obat yang digunakan para aktris
yang akhir-akhir ini lagi santer. Dan seperti biasa, penguasa di negeri kita
selalu telat untuk membuat peraturan. Membuat polemik yang membuat masyarakat
awam bingung. Tak luput juga media yang seolah-olah membuat sensasi dengan
bahasa ‘lebay-nya’ seperti berita di negeri ini tak lagi ekslusif untuk
didengar, dilihat, dan dibaca.
Sampai pada pebincangan mengenai masa depan. Beberapa
hal yang saya tangkap dari kejadian sore ini adalah kami bertiga memasuki
beberapa momen yang membosankan apalagi dengan rutinitas. Saya tak akan
mengulas bagaimana permasalahan kedua rekan saya di sini. Lebih tepatnya saya
akan mengangkat beberapa hal dari diri saya untuk saya ceritakan, mungkin
sedikit aneh tetapi itu lebih baik, daripada kita memperbincangkan orang lain.
***
Mari kita mulai,
Pada kesempatan lain, saya sempat menanyakan
beberapa hal yang membuat saya bingung kepada kedua orang tua saya. Mengenai
studi, dan beberapa hal mengenai masa depan. Pertanyaan yang sangat sepele,
tetapi percaya atau tidak, mungkin kita sempat terbesit untuk memikirkan dan
mempertanyakannya. Pertanyaan ini, dulu waktu saya masih duduk di bangku SMA ada
beberapa pertanyaan yang sering membuat resah.
Saya: “Ayah, kalau nanti saya nerusin kuliah di jurusan Biologi.
Memangnya nanti saya jadi apa? Kerja dimana?, kalau mau dagang, yang sesuai
dengan ilmu itu apa?”
Ayah: “Sebelum ayah jawab, Ayah mau tanya dulu. Selama kamu sekolah di
SMA, apa yang kamu dapat? Dan apa yang paling kamu sukai dan kuasai?”
(Saya
sedikit bingung waktu ingin menjawab. Tapi daripada saya terlalu lama
memikirkan itu, sedangkan ada sebuah kebingungan yang butuh perhatian khusus)
Saya: “Ya banyak yah yang saya
dapat. Yang paling saya sukai: menggambar, beberapa hal kuat dalam hafalan, dan
yang paling saya nanti adalah kegiatan yang ‘berbau’ outdor.”
Ayah: “Sebenarnya apa yang kamu takutkan itu hanya ‘bayangan’. Entah
besok kamu mau jadi apa dan bagaimana? Itu urusan belakang. Yang lebih penting
dari itu semua adalah bagaimana kamu belajar untuk ‘disiplin diri’. Dan
bagaimana porsi dari sebuah pikiran negatif dan positif yang kamu miliki saat
ini.”
Saya: (Saya diam dan tak meneruskan pertanyaan). Kemudian saya langsung
mencium tangan ayah, meminta restunya. Saya ingat kata Walter Pitkin: “Rencana
hidup memerlukan rencana energi”. Dan inilah salah satu yang saya lakukan untuk
refill energi.
***
Kemudian beberapa
tahun setelah saya menjalani itu semua, saya menemukan sebuah artikel yang
menjawab apa arti dari sebuah “Disiplin Diri”. Artikel ini dari sebuah buku
yang usang di perpustakaan kampus.
Karya dari Robert Anthony. Dan semakin memperkuat
bagaimana saya akan melangkah.
Konon di Wadi Natrun, terdapat Gurun pasir Thevayid
di Mesir, di tengah-tengah gurun
pasir, bermil-mil jauhnya dari air atau manusia hidup, tumbuhlah sebatang pohon
amandel. Sebatang pohon amandel, tepat di tengah-tengah gurun pasir yang paling
kosong dan paling suram yang dapat anda bayangkan, dan pohon amandel itu sampai
di sana sebagai hasil disiplin diri.
Menurut yang saya
baca pada artikel tersebut: Pada tahun 346 M, ada seorang pendeta tua berrnama
Abba Amoy, dan ia di gurun pasir sedang berdoa dengan salah satu muridnya, dan
Abba Amoy mencoba untuk mengajar murid itu tentang hasil disiplin diri, dan
murid itu mengalami kesulitan untuk mengerti prinsip-prinsip yang diajarkan
oleh pendeta tua itu kepadanya. Maka pendeta itu mengambil tongkatnya di dalam
pasir. Lalu ia mengatakan kepada muridnya, yang bernama ‘Jhon, Si Pendek’.
Pendeta: “Berikan air kepada tongkat ini,” Katanya kepada Jhon, si
pendek. “Sampai ia berbuah dan anda akan mengerti apa yang saya maksud.” Lanjut
Pendeta itu.
Nah, tempat itu bermil-mil jauhnya dari sumur
yang terdekat, namun malam itu, ketika menjadi sejuk, Jhon si pendek, berjalan
menelusuri jalan ke sumur itu, mengisi gucinya dengan air, lalu berjalan
kembali dan memberikan air kepada tongkat itu. Ia mengerjakan ini tiap malam
selama tiga tahun dan pada akhir tiga tahun, tongkat itu mulai berbuah. Ketika itu
terjadi, Jhon si pendek mebawa biji-bijinya ke biara yang terdekat dan
mengatakan kepada para pendeta, “Lihatlah, buah dari disiplin diri.”
Setelah membaca artikel tersebut saya mencoba rollback pada beberapa tahun terakhir
saat saya dan Ayah saya berbincang mengenai bagaimana “disiplin diri”. Memang
pada saat itu saya merasa hidup seperti berada di gurun pasir mental, beberapa
hal mengenai: sakit hati, beberapa momen kesepian, masalah-masalah keluarga,
masalah-masalah sekolah, kesulitan keuangan. Sehingga terasa seperti saya
berada dan hidup di tengah-tengah gurun pasir. Dan sekarang saya dapat
mengatakan, bahwa gurun pasir itu bisa subur, seperti pohon amandel tadi, saya menjadi apa saja yang saya butuhkan, dengan disiplin diri.
Bertindaklah ‘seperti si pendek, Jhon’, dan
selalu sadarlah tentang apa yang anda pikirkan dan disiplin pikiran anda untuk
hanya memikirkan yang baik-baik saja. Serta jangan membiarkan kekalahan atau
pikiran-pikiran yang negatif memasuki pikiran anda. Alirkan air ke pikiran anda
dengan pikiran-pikiran tentang kasih sayang, kesehatan, kegembiraan, kedamaian
dan harmoni, dan anda akan mendapatkan buah disiplin diri tumbuh subur dan
berbunga dalam gurun pasir pengalaman anda sekarang, apapun buah itu.
Insya-Allah.
2 komentar
SubnaAllah sungguh sangat menggugah hati serta pikiran saya yang selama ini masih labil, benar-benar info yang bermanfaat..keep fight bro^^
BalasHapusiya mas, semoga bermanfaat. paling tidak ngamalin surat 'demi-masa'. saling ingat-mengingatkan. ;)
Hapus