Reading
2
Comments
![]() |
Angin surga dalam pekat larutan kopi - November. |
Pada pertengahan Maret,
saya membaca blog yang membahas tentang Agama Warung Kopi,
sebut saja author-nya November. Si November di dalam blognya
menuliskan tepat di bawah kata ‘November’ yang merupakan Judul
pembuka Blog dengan kalimat ‘Angin Surga Dalam Pekat Larutan
Kopi’. Kesan pertama saat membacanya, saya sedikit bingung apa
yang ingin ia sampaikan di dalam blog bikinannya, mungkin minum
larutan kopi, sama halnya dengan berada di surga dengan semilir angin
sepoi-sepoi, saya sendiri terlalu sulit membayangkan bagaimana
rasanya dikipasi dengan angin suargo?, haha.
Sebelum saya membahas
tulisan si November tentang Agama Warung Kopi. Sekedar info
saja, blog si November dulu berdisain dengan warna hampir semuanya
hitam kecuali tulisanya berwarna putih, mungkin hitam yang ingin ia
sampaikan mirip warna kopi yang misterius. Tetapi jika kita lihat
baru-baru ini, si November mengganti hampir sebagian besar disainnya
dengan warna putih, mungkin pikiran saya kopi yang hitam sekarang
ditambahi susu, cukup variatif sekali November mengubah cita rasanya.
Kopi susu, supaya gak misterius-misterius amat. Oya satu lagi, font
size yang November sajikan terlalu tiny untuk manusia
berkacamata seperti saya. Sangat menyiksa. Kalau orang psikolog
mengatakan bahwa pada sebuah tulisan yang berhuruf kecil, terdapat
sebuah ketakutan yang amatlah besar. Bisa jadi November adalah
penakut.
Dari paragraf pertama si
November berusaha menceritakan setting lokasi dimana ia berada
pada awal Maret. Ia memperjelas dimana lokasi yang ia ingin ceritakan
adalah warung kopi premium. Dari bahasanya terasa aneh untuk
dibaca, disatu sisi mungkin si November benci untuk ngopi,
disatu sisi ia berada disana mendiskripsikan dengan baik bagaimana
gedung pongah dan lain sebagainya, menunjukkan ia teramat sering
mendatanginya. Tetapi dari segi pencitraan lokasi warung kopi yang ia
sampaikan kepada pembaca, nampaknya ia cukup paham sikon
warung kopi tersebut. Mungkin ia seorang penikmat kopi sejati,
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain mencari larutan kopi
yang paling terkenal dan Top di daerahnya.
Ada kalimat yang tidak
saya sepakati, bahwa si November mengatakan, “kedai kopi jauh
lebih dihormati daripada gereja, mesjid, vihara, klenteng,
dan ikon lain yang seharusnya jadi pemersatu namun kerap kali
menjelma sebagai sumber pemecah nomer satu”. Menurut saya, ini
opini yang keliru dan kurang tepat. Kedai kopi tetaplah kedai kopi
yang berisikan heterogen profesi dan latar belakang para
pengunjungnya. Setiap manusia yang duduk di kedai kopi pun juga tidak
dapat disamakan tujuan dan visinya. Berbeda dengan tempat ibadah,
mereka yang datang memang sudah mendapat hidayah dan memang
menjadikan kewajiban utamanya untuk datang ke tempat ibadah, tujuan
mereka datang ke tempat ibadah haruslah satu, untuk beribadah kepada
Tuhan, tidak ada yang lain. Berbeda sekali dengan tujuan orang datang
ke kedai kopi, kita sendiri tak tau dan tak pernah tau isi hati dari
tamu-tamu kedai kopi. Kalau si November bisa menjelaskan kepada
pembaca tujuan tamu-tamu kedai kopi datang untuk apa?, saya yakin
penjelasan tak dapat gamblang dan jelas, dan berputar-putar
disitu-situ saja. Untuk kalimat ‘jauh lebih dihormati’
yang November maksud, apa mungkin sering didatangi (dikunjungi) atau
dijunjung tinggi?. November menyajikan kalimat yang ambigu, bagi
pembaca seperti saya.
Jadi untuk paragraf
pertama, saya tak sepakat jika menduakan tempat ibadah dengan kedai
kopi. Saya menjunjung tinggi tempat ibadah dengan segala hormat saya.
Karena pembaca akan mendapat sebuah informasi yang bisa jadi keliru,
pembaca dapat beropini bahwa keretakan umat beragama bermula dari
kedai kopi, dan mungkin bagi sebagian masyarakat tidak ingin kejadian
orde baru terulang kembali, ‘pengarungan’
generasi-generasi yang jika saya dapat katakan adalah generasi kedai
kopi jaman dahulu. Janganlah, jangan sampai hal hina itu terulang
kembali.
Beralih ke paragraf kedua
masih di dalam November. Ada kebingungan lagi jika saya membaca
paragraf kedua dari November, pada paragraf pertama ia mengejek
gedung pongah kedai kopi premium, sekarang ia nampak menjadi manusia
paling memerlukan belas kasihan dengan menjadi manusia ‘hemat’
dan mungkin tak tega untuk mengeluarkan budget lebih untuk
menikmati secangkir kopi (saja). Memakai embel-embel Wifi
dan ruangan ber-AC untuk sebuah kenikmatan dalam tradisi
medang (baca: ngopi). Berarti dugaan saya tentang
November sebagai penikmat kopi adalah salah, penikmat kopi
sejati bukan November. Oya, ada beberapa hal yang lucu pada
kalimat, “Tapi ada beberapa kedai yang juga menawarkan fasilitas
lain, seperti kursi sofa, kamar mandi yang bersih, dan mushola kecil.
Benar sekali, ini sindiran halus untuk beberapa kedai kopi yang
pernah saya datangi.” Saya mulai ragu pada November, apakah
‘angin suargo dalam larutan kopi’ yang macam ini yang ia
maksudkan? Menghabiskan waktu berjam-jam di kedai kopi, saya rasa
penikmat kopi tak butuh itu. Kalau kau mau kursi yang nyaman
datanglah ke XXI karena pemutaran film harus ditunjang sofa yang
empuk. Kalau kau mau ke kamar mandi yang bersih pulanglah, di sana
ada kamar mandi untuk kau mandi dan gosok gigi, bukan di kedai kopi.
Kedai kopi untuk kopi dan damai, selebihnya kau yang urus
sendiri. Kemudian, syukur-syukur ada beberapa kedai yang menyiapkan
mushola, terasa timpang saat di paragraf pertama November bilang,
“kedai kopi lebih dihargai dari tempat ibadah”. Bagaimana
bisa menghargai tempat ibadah, jika di kedai kopi masih ada mushola,
kenapa tak sekalian gereja, klenteng, dan vihara dibangun juga di
kedai kopi?. Haha.
Jika dalam agama Islam
ada pemeluk agama yang baru saja masuk dikatakan mualaf, saya
bisa menyebutkan bahwa si November adalah mualaf agama warung
kopi. Pada paragraf terakhirnya ia berusaha mengomentari beberapa
anak muda, ia mengatakan anak muda berwajah bayi sedang merokok.
Dengan kalimat lengkapnya seperti ini, “Ah, kali ini pandangan
saya sedang tertuju dengan 6 pak rokok putih berbagai merk yang
tertumpuk di meja seberang. Setengah lusin penikmatnya adalah
anak-anak berwajah bayi. Asap putih membubung tinggi di ruangan ini
dan rokok putih menjadi alat eksistensi, bukan lagi sebagai bahasa
keakraban atau nilai kesederhanaan. entahlah, tapi saat itu saya
melihat para perokok amatir itu duduk dengan pongah, sepongah gedung
ini.” Kalau boleh saya menyebutkan bahwa November mungkin
mengalami sebuah kecemburuan tingkat dewa, untuk secangkir kopi dan
hisapan kretek yang saat itu dilakukan anak muda berwajah bayi di
gedung pongah.
Mungkin sekian dulu
tulisan dari saya untuk si November sang mualaf agama warung kopi,
yang sekarang tak lagi minum kopi dan hisap kretek. Jika itu
adalah benar, dengan segala hormat kepada November untuk mengganti
kalimat dalam blog buatannya yang bertuliskan, “Angin surga
dalam pekat larutan kopi” diganti dengan “sementara
berada di neraka, bersama teh hangat buatan kekasih”.
Jika suatu waktu November membaca dan merasa ini hal yang buruk
baginya, mari kita hormati warung kopi untuk membuat janji di
sana, kita selesaikan secara damai dengan larutan kopi terbaik,
(jangan pikirkan harga) yang lebih penting bagaimana
kau bisa berdamai dengan hidupmu dan kembali menghisap kretek
terbaikmu, tunjukkan pada pemuda berwajah bayi tentang bahasa
keakraban dan nilai kesederhanaan, dan ajari perokok-perokok amatir
itu bagaimana merokok dengan baik dan benar?. Terima kasih.
2 komentar
wuiiiihhh... here we gooo!!! :))))
BalasHapusmari kita bersulang!
BalasHapus