Reading
Add Comment
Waktu itu adalah sebuah malam
yang sangat sepi menurutku. Malam yang hampir tergantikan oleh pagi. Begitu
berulang hampir empat hari. Padahal aku sudah tak menyulut kretek, atau
menyeduh kopi. Aku hanya sedikit menguranginya akhir-akhir ini. Bukan karena tak
ingin, tetapi kantong lagi sangat kering. Memalukan mungkin. Entah seperti
berada di alam yang berbeda, seperti tak bernyawa dan tak seimbang. Jika aku
mengingatnya mungkin aku tak sanggup. Lebih baik aku menuliskannya meski amat
menyakitkan. Untukmu dan untukku.
Jika ada yang berpendapat “kita harus
berjuang untuk mimpi.” Mungkin waktu itu kaulah mimpiku. Bersamamu mungkin
seperti tak seimbang, tapi bukankah hidup juga perlu begitu, salah satunya karena
cinta. Menggelikan memang, tapi kita menang demikian. Mungkin sekarang mulai
berubah, saat cinta bukan lagi dikatakan sebagai sebuah pengorbanan. Aku mulai
sependapat. Karena waktu itu, aku menikmatinya disaat semua penonton
mengkhawatirkan tentang kita dan cinta.
ngomel
Aku masih mengingatnya saat
pertama kali kita bertemu. Kau memang berbeda dari yang lain. Mungkin Tuhan
membuatnya demikian, supaya aku melihatmu waktu itu. Mungkin sudah kehendaknya,
membuatmu nampak berbeda atau hanya bias mataku yang berbinar menatapmu.
Intinya, waktu itu aku berbunga-bunga melihatmu.

Aku lengkap, mungkin kau tak
lengkap. Nampak luar jika mereka mengamatinya. Bukankah waktu itu kau pernah
mengatakan tentang arti ‘berbagi’ padaku. Akupun belajar berbagi darimu. Kau
sempurna dan lengkap, meski kau sesekali menangisinya. Seperti pelangi, kau
menyambutku setiap pagi. Seperti kencan kita di pagi buta, menunggu mentari di
sebuah pantai yang indah. Disitulah pertama kalinya aku sependapat, bahwa
wanita cantik itu saat pagi hari karena bangun dari tidur malamnya.
Ada beberapa ketakutan yang aku
perebutkan di dalam hatiku dan hatimu. Perkara bijak yang mengajarkan dengan
ejawantahnya yang berbeda. Mungkin salah, jika aku terlalu mencintaimu. Waktu
itu aku pikir mencintai adalah hal yang selalu dekat dan selalu terdekap karena
jauh adalah sebuah kesakitan. Saat mencinta adalah nafas, kaulah nafas itu. Aku
tak bisa jauh darimu.
Tuhan tak mau jika ia diduakan. Meski
ia tak butuh aku ataupun kamu. Mencoba dengan sedikit tarikan yang membuat kita
seolah terasa jauh. Membuat sebuah uluran yang sering buat kita bersinggungan.
Aneh memang, apakah amarah juga bagian dari cinta. Sekarang Tuhan memberiku
sebuah cinta. Kali ini sangat berbeda. Dulu cinta itu selalu dengan dekapan
namun sekarang ia memberiku cinta dalam kejauhan. Jika mencintai berarti juga
bisa melepaskan. Kali ini aku belum pernah mengetahuinya. Yang ku tahu sekarang
kau benar-benar jauh dariku. aku mencintaimu dari kejauhan.
Ingin sekali mengetahuinya,
bagaimana caranya. Hidupkan aku lebih lama lagi. Aku akan belajar banyak
tentang ini. Tentang kesembuhanku dalam mencarimu. Harus berapa lama aku
berjalan, harus berapa kota aku labuhkan untuk semua pengertianku tentang
perjalanan mencarimu. Saat ini, aku duduk di pinggir tebing gunung Bromo yang
dapat melihat malam dengan sinar malam Kasada, menyerupai taburan bintang
ciptaannya. Sangat indah, tapi kuhabiskan sendiri-sayang tak besamamu. Jika
dahulu Roro Anteng dan Joko Seger adalah sebuah sejarah dari perjuangan cinta
suku Tengger. Mungkin mereka abadi, tapi tak semanis kenangan bersamamu. Kemudian
salah seorang kawan yang bijak berkata padaku tentang perjalalanan, “bahwa kita
berjalan ibarat sebuah sponge yang
kering, dan menyerap sari patinya untuk kita bawa pulang.” Aku hanya bisa
berkata, “aku sangat rindu padamu, pulanglah bersamaku.”
0 komentar:
Posting Komentar