5 min Reading
Add Comment
Banyak alasan untuk menguraikan
pertanyaan di atas yang saya jadikan judul pada tulisan kali ini. Dengan
berbagai latar belakang dan sudut pandang yang beragam, mengapa seseorang ingin
berpetualang? Bagi saya pribadi, mungkin tidak ada alasan yang bisa diutarakan
secara jelas, mengapa berpetualang sangat nikmat dan begitu menyenangkan.
Argopuro
ngomel
opini
pejalan
Pendakian
Saya awali dari kebiasaan
keluarga saya, salah satunya adalah Ayah saya. Beliau sangat gemar melancong,
bisa karena pekerjaan yang mengharuskan Beliau untuk pergi ke luar kota ataupun
ke luar pulau. Untuk sekedar mengunjungi keluarga yang berada di pelosok desa
menanyakan kabar dan mengentaskan peluh. Waktu itu menurut saya jika hanya
sekedar berpergian, banyak orang sudah umum melakukannya. Kemudian runtun
pikiran saya berpendapat bahwa berpergian juga memerlukan “materi” yang tak
sedikit, selain itu fisik juga harus fit. Pikiran sempit saya waktu itu juga
mengutarakan, “mustahil seseorang yang tak berkecukupan ‘materi’ dan memiliki
fisik yang fit dapat melakukan kegiatan ini: Travelling.”
Dari proses berpergian Ayah saya,
kemudian saya dapat belajar banyak dari pegalamannya. terlebih setelah Beliau
tiba dirumah, bercerita apa dan bagaimana keadaan di luar sana. Seperti bercerita
bagaimana Pantai Popoh-Tulunganggung yang sebenarnya memiliki potensi bahari
yang luar biasa, timpang saat melihat hasil tangkapan nelayan yang tak laku
untuk dijual apalagi untuk dimakan. Sampai kunjungan beliau ke Lembah Baliem-Papua,
mendapati kearifan lokal warga lereng gunung yang hanya memakai “koteka” namun
tetap arif untuk memeluk setiap orang yang mereka temui.
Dari sanalah, kemudian saya
merumuskan sendiri apakah bisa seseorang melakukan petualangannya dengan
bermodalkan “materi” yang irit, tapi tak
pelit untuk dibagi. Artinya, tak hanya berkunjung ke suatu tempat, mengambil
foto lalu pulang. Lebih dari itu kawan. Menurut saya, seorang pelancong dan
petualang adalah bagaimana cara ia mengeksplorasi daerah tersebut, baik dari
segi sosial-budaya-kemanusiaan. Mendokumentasikannya, kemudian dibagikan kepada
dunia. The trip was to be an odyssey in
the fullest sense of the word, an epic journey that would change everything.
Bukankah seperti itu.
Mengambil istilah dari Rahung
dalam aktifitas melancongnya, sebagai seseorang “pelancong sosial” ia mencoba
menceritakan bagaimana suku dayak mampu memikat hatinya. Dengan apa yang ia
lakukan –melancong sosial– dunia semakin mengerti bagaimana kita seharusnya
melakukan petualangan. Bukan full kegiatan eksistensi diri semata.
Tetapi ada beberapa hal yang
mesti kita sendiri pahami, sebelum berbicara tentang bagaimana cara berbagi dan
mengabarkan pada dunia bahwa kita telah usai mengunjungi daerah tersebut.
Banyak sekali keuntungan yang kita dapat saat melakukan sebuah petualangan.
Seperti, kita mampu mengukur kelemahan dan kelebihan diri. Melatih kesabaran
dan ketangguhan diri. Saat kita memutuskan pergi ke hutan atau gunung
contohnya. Kita harus mengerti seberapa penting bekal yang harus kita bawa
sebelum bekal bawaan tersebut menyulitkan kita saat perjalanan, mini size me, pack small thing. Dan
perlu diingat menggunakan istilah: function
not fashion.
Selain itu, wawasan kita juga
semakin luas dan terbuka. Banyak hal-hal baru yang kita peroleh saat kita
memutuskan untuk berpetualang, mengenal orang baru, sampai menjalin
persaudaraan selepas dari petualangan.
“Mungkin banyak orang yang tidak mengerti esensi dari bertualang. Tapi
apabila tahu benefitnya saya yakin berbondong-bondong orang tiba-tiba akan
memutuskan bertualang.” –Efenerr–
Saya menganut paham “3B” untuk
melancong dan berpetualang yaitu: bereksplorasi, berbagi, dan bertanggung
jawab. Poin B yang terakhir, yang sering kita lupakan yaitu bertanggung jawab.
Bertanggung jawab di sini berarti bertanggung-jawab dengan diri sendiri dan dengan
orang lain. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan, seperti menyimpan putung
rokok saat tak menemukan tong sampah. Sepele, tapi sangaaaaat susah.
Sebagai pendatang bisa dibilang
kita lebih banyak mengerti akan dunia luar. Tapi apa salahnya kita coba untuk
membaca situasi daerah yang kita tuju. Melihat lebih lama, menjadi pendengar
yang baik, dan berbicara untuk lebih dekat. Kira-kira apa yang secara dasar
menjadi peluang untuk memberdayakan masyarakat di sana dan meningkatkan taraf
hidup mereka. Hal ini hanya dapat kita lakukan jika kita singgah dan
berinteraksi dengan masyarakat. Ambil contoh, saat saya ke Bromo. Masyarakat
yang berada di daerah penanjakan tak seperti yang kita lihat sekarang: banyak
berdiri villa dan homestay. Dulu hanya berupa ladang
bawang, kentang, dan kubis. Saran dari pelancong dan kepekaan masyarakat
tengger yang menjadikan peleburan itu terjadi: berdirilah penginapan untuk
turis dan wisatawan lokal. Akan tetapi kearifan lokal masyarakat tetap terjaga
di sana. Terbukti semua penginapan merupakan hak milik langsung dari masyarakat
lokal, bukan milik luar. Adat istiadat masyarakat tengger masih dijunjung
tinggi, sebagai warisan leluhur yang arif.
Banyak ilmu dan pengetahuan yang
kita peroleh saat kita memutuskan pergi berpetualang. Malah menurut saya, tak
banyak diperoleh saat kita duduk di bangku sekolah. Saya serius. Mungkin sepele
saat kita mengerti bagaimana proses fermentasi bahan alami menjadi sebuah
minuman tradisional yang mampu menghangatkan badan. Kemudian proses penanaman
kubis dengan teknik tanam suku tengger yang masih mengacu “tanam non sengkedan”
dan sangat menjunjung tinggi prosesi adat. Berbagai macam hal baru yang kita
peroleh, membuat kita terlihat bodoh dan kecil dihadapan mereka dan alam. Dan
pada akhirnya timbul rasa syukur akan karunia dari Allah SWT. Hal ini yang
seharusnya kita bagikan kepada dunia, bagaimana kita berpetualang. Yang mungkin
tidak didapatkan jika kita hanya duduk dan berdiam diri di rumah. Pengalaman
lebih mengena kawan, saat kita melakukannya secara langsung jika dibanding
hanya menonton dan membacanya dari depan layar kaca.
“Nothing is more damaging to the adventurous spirit within a man than a
secure future. The very basic core of a man’s living spirit is his passion for
adventure. The joy of life comes from our encounters with new experiences, and
hence there is no greater joy than to have an endlessly changing horizon, for
each day to have a new and different sun.” –Jon Krakauer, Into The Wild.
So, Gak ada alasan untuk tidak
mengangkat ransel dan berjalan keluar!. “Kalau bukan kamu, lalu siapa?, kalau
bukan sekarang, lalu kapan?”
0 komentar:
Posting Komentar