4 min Reading
2
Comments
![]() |
HUT Surabaya ke 720 Tahun. |
Selamat Sore Ibu
Surabaya, semoga Ibu selalu diberi kesejahteraan dan kedamaian.
Sebelumnya saya ingin meminta maaf, karena telat untuk mengucapkan
hari jadimu. Tak hanya itu Bu, saya juga tak bisa meluangkan waktu
untuk memberimu kado di hari yang luar biasa ini untukmu. Maafkan
saya, Ibu Surabaya. Sebagai putramu, sebenarnya saya sangat malu
untuk membicarakan ini. Namun untuk beberapa hal yang dapat
mengingatkan saya, saya harus menuliskannya dan membicarakannya.
Karena manusia adalah mangkuk dari sebuah hal yang bernama salah dan
lupa.
Mungkin baru pertama kali
saya memberanikan diri untuk menuliskan surat untukmu. Mungkin
tahun-tahun sebelumnya, saya hanya bisa menghabiskan malam dengan
gemerlapnya lampu kota yang menghias hari jadimu, dengan paket
keramaian yang telah tersedia untuk memeriahkan malammu. Ibarat
seorang Ratu, kau di puja dan di lontar dengan teriakan “Surabaya”.
Saya pun juga sangat menikmatinya kala itu.
Namun tahun ini berbeda,
saat kau menginjak angka 720 tahun. Saya ibarat seorang putra yang
tak bergeliat dengan keramaian. Malam-malam yang begitu semarak
sebagai wujud kecintaan atas hari jadimu, perlahan ku hindari dengan
mengalihkan diri kedalam kontemplasi dan perenungan yang dalam. Saya
lebih senang berjalan di pinggiran batas kotamu, menyelami bagaimana
geliat yang berbeda yang dapat saya saksikan untuk memeriahkan hari
jadimu, hai Ibu Surabaya. mungkin keputusanku untuk ini, terasa
kontra dengan saudara-saudaraku yang lain, yang nampak selalu
antusias dengan setiap acara untuk merayakanmu. Mereka menggandeng
kekasih, dengan pakaian yang senada dengan iklim tropis. Begitu tipis
antara malu dan memalukan terasa tak ada batasnya.
Saya lebih terkesan jika
mereka—saudara-saudaraku—yang mungkin juga adalah anakmu wahai
Ibu Surabaya, tidak menyemarakkan hari jadimu dengan cara yang
seperti itu. Mungkin jalan tunjungan, adalah saksi bisu dari
perkembangan dan wajah putra-putrimu saat ini. Mereka menjadikan
acara malam itu bak karpet merah, bak seorang yang haus perhatian.
Bagaimana rambut, lengan, sampai paha mereka dapat di nilai dari
seberapa banyak mereka dilihat lebih lama. Dan mungkin mereka lebih
ingin merasa disebut pemudi ‘wah’ jika mereka memakai pakaian
seperti itu. Padahal jika mereka tahu, jalan tunjungan merupakan
tempat heroik untuk para pejuang yang bertaruh nyawa merebutkan
harkat dan martabat bangsa. Seolah perjuangan mereka tak ada
harganya.
Ibu Surabaya, jika kau
mengerti bagaimana cara menyemarakkan hari jadimu dengan yang
semestinya, supaya kau bahagia dan merasa damai, akan aku lakukan itu
untukmu. Bukan hanya sekedar menggelar konser bak tujuh rupa bintang
dengan beribu taburan cahaya lampu supaya kau dapat lebih dilihat
oleh masyarakat luar. Jika kau tahu saat konser berlangsung bagaimana
putra-putrimu keroyokan sehabis minum, dan membuat onar di
tengah-tengah konser. Bukankah alunan musik syarat dengan hiburan dan
kegembiraan, mengapa mereka saling tonjok sesama saudara. Saya lebih
memilih menyingkir dan pulang, wahai Ibu Surabaya yang kucintai.
Mereka—saudara-saudaraku—semua haus perhatian.
Saat saya beranjak untuk
pulang, niatan itu urung. Saya berbelok ke sebuah gang kecil, gang
yang sering disebut dengan nama: keputran. Terasa pas sekali dengan
diriku sebagai wujud putramu, hai Ibu Surabaya. Saya memesan kopi,
kemudian memanjakan perut dengan sajian khas kotamu. Sederhana namun
sangat membekas Ibu. Tetapi Ibu, tahukah kau saat aku bertanya kepada
sang empunya warung kalau malam itu adalah hari jadimu, mereka hanya
tersenyum tak mengetahui. Warung yang tak besar, berada di sebelah
trotoar untuk pejalan kaki, yang mulai ramai oleh para ‘lijo’
yang akan menyambut pagi dengan sayur, daging, dan buah yang mereka
jual. Sebagai wujud untuk bakti terhadapmu supaya tak nampak hina
jika menganggur.
Trotoar yang begitu apik,
dengan keramik yang selalu bersih. Meski jarang terlihat pejalan kaki
menggunakannya. Mereka lebih suka dengan berkendara motor, walaupun
bahan bakar akan naik mereka tak ambil pusing. Ibu Surabaya apakah
benar, rencana monorail akan segera menjawab bagaimana
kemacetan kota ini semakin nyata.
Braaaaakkk!
Tiba-tiba terdengar suara benturan yang memecah obrolanku dengan
penjaga warung. Ku tengok, ternyata seorang pemuda paruh baya,
tersungkur di sisi motornya. Tak jauh dari tempatnya jatuh, terlihat
seorang Ibu dengan tas belanjaan juga tergeletak tak bergerak.
Mulailah muncul keramaian di sana, tempat sumber suara benturan itu
terjadi. Aku tak mengerti setelahnya. Aku hanya berdoa, kepada Tuhan.
Semoga hari jadimu bukan hanya terucap melalui sms, dan media
informasi internet yang semakin marak akhir-akhir ini, melainkan
lebih kepada tindakan nyata untuk membangun, memberi, dan membagi.
Semarakkan hari jadi
kota Surabaya, dengan karya bukan dengan kata. –tuan ali
2 komentar
konsisten bray, kalo dari awal pake saya, ya terusin ae pake saya. jangan berubah-berubah dari saya menjadi "aku/ku" dalam sebuah tulisan. biar enak dan gak ganjil mbacanya. #saran
BalasHapusIya mas Trisandi. Trima kasih dan mohon bimbingan dari sang suhu Trisandi. :)
Hapus