3 min Reading
Novalsyah pernah mengutip kalimat
yang ampuh di sebuah majalah pejalan, Ia menceritakan bagaimana Rendezvous di Walidwipa. Kata Walidwipa
sendiri adalah kata yang terpahat pada prasati Blanjong dari Sri Kesari
Warmadewa yang bertarikh sekitar abad ke-9 Masehi. Sebutan tersebut merujuk
pada sebentuk daratan yang sebagian sisinya diolah menjadi persawahan
beralurkan subak nan indah, dijejaki
oleh gadis-gadis eksotis yang menarikan legong, serta liukan pesisir pantai
yang disesaki oleh jutaan pelancong yang berdiri terpana di atas pasirnya kala
senja tiba. Walidwipa berarti pulau
Bali, destinasi turistik yang bisa dibilang paling termasyur di negeri kita,
Indonesia.
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
Salah satu keindahan sejati Bali
terletak pada keteguhan penduduknya dalam menjalankan kehidupan yang selaras
dengan alam dan menjunjung keagungan Sang
Hyang Widhi Wasa. Kentalnya nilai-nilai budaya ini terus dipertahankan di
tengah deburan ombak modernisasi dan kebudayaan asing yang mendarat bersama
gairah pariwisata yang seakan tanpa jeda. Bagaimanapun, disadari atau tidak,
persentuhan antara kebudayaan lokal dan mancanegara di Bali memantik kondisi
saling mewarnai, bahkan saling mempengaruhi.
Sejurus kemudian, hasil dari
bauran antara kebudayaan Bali dan mancanegara tersebut mulai mencuat ke
permukaan. Seakan-akan suatu bentuk kebudayaan baru telah dilahirkan, misalnya
dalam hal cara berbusana pada berbagai aktifitas keseharian. Fesyen tidak bisa
dilepaskan, bahkan terekspresikan dengan sangat jelas bersama masyarakat yang
hidup dengan latar belakang kultur apresiasi seni yang kuat. Ritme akulturasi
juga terasa dalam sendi-sendi rutinitas lainnya. Mulai dari pasar tradisional
hingga pusat belanja modern, dari banten
sampai alat komunikasi mutakhir.
Budaya yang tercipta dari cipta,
rasa, dan karsa akan lebih langgeng jika dilestarikan dengan seni, sesuai
ajaran Tri Hita Karana: hidup selaras
bersama alam dan ajaran Yang Maha Kuasa untuk tercapainya kemakmuran dan
kedamaian. Bali merupakan simbol dari masyarakat yang mau membuka diri, menjadi
bagian masyarakat modern dengan tidak menentang, tetapi seraya mengembangkan
nilai-nilai leluhur. Terlepas dari argumentasi baik buruk, esensi adaptasi dan
toleransi terletak pada pelestarian tradisi sebagai dasar pengembangan budaya
atas dinamisnnya putaran zaman.
Mari kita ambil contoh sebuah
lokasi di Bali bernama Kuta dan Legian. Beberapa gang dengan ramai aktifitas
niaga terjadi di sana. Hiburan, kuliner, sampai dengan sajian jasa yang dapat
kita pilih sesuai dengan selera. Menarik sekali kita amati bagaimana
hilir-mudik wisatawan yang berjalan kaki sepanjang Legian dan Kuta. Berbagai style yang tersaji sebagai fenomena
budaya yang telah masuk di Bali. Miniatur budaya yang dapat kita gali lebih
dalam lagi untuk mengambil sebuah kesamaan dan bersahabat dengannya.
Berikut adalah sentilan yang unik
dari seorang rekan yang mencoba mendokumentasikan, bagaimana fesyen turis LN
(luar negeri) yang telah lama berada di Bali. Mungkin kali ini adalah Kuta dan
Legian. Selamat menikmati, dan jangan lupa untuk mengomentari jepretan nakalnya.
Terima kasih.
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Nugraha |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
 |
Foto: Ryan Essa Anugra |
Bali
fotoblog
opini
pejalan
0 komentar:
Posting Komentar