Reading
Add Comment
Beberapa bulan yang lalu sebelum Festival
Jazz Gunung diadakan, kami menyempatkan datang ke Bromo. Tak ada ritus khusus
atau janji yang sudah kami buat untuk mengharuskan kami datang kesana.
Melainkan rasa rindu untuk menikmati udara dingin dan menikmati pemandangan
Bromo dengan secangkir kopi pagi hari. Sangat woles rasanya.
Saya masih ingat, saat Saya dan
Ryan berada di warung kopi Pak Sis malam itu. Si Ryan sudah benar-benar merasa
kepanasan, gerah dan berkeringat. Musim penghujan yang hanya berselimutkan
mendung, membuat Surabaya benar-benar seperti terbakar malam itu. Kami sepakat
kabur ke Bromo, hanya mengenakan pakaian seadanya malam itu. Kami berangkat
menuju dimana cerita rakyat bernama Kasodo lahir, yaitu Bromo Tengger.
Bromo
opini
pejalan
self discovery
Tengger
![]() |
Foto: Ryan Essa Anugra |
Singkat cerita, kami sudah berada
di Bromo. Mengunjungi Bapak Yogi pemilik penginapan yang berada di daerah
penanjakan. Perkenalan Ryan dengan Bapak Yogi setahun yang lalu, membuat kami
mendapat porsi tersendiri sebagai tamu. Penginapan Bapak Yogi adalah salah satu
yang paling favorit bagi turis mancanegara, entah dari sisi mananya yang
membuat penginapan bapak Yogi begitu famous.
Saat kami datang semua kamar sudah full.
Maklum, sekarang Bromo sudah menjadi sebuah rute utama turis luar negeri mengelilingi
Nusantara. Saya dan Ryan sengaja tidak mengambil kamar, kami hanya datang untuk
ngadem barang sejenak. Menikmati dini
hari di Bromo, kemudian sore hari memutuskan untuk kembali ke Surabaya.
Praktis kami dibuat sungkan oleh
Pak Yogi, kami dipersilahkan masuk ke rumahnya yang menjadi satu dengan
penginapan turis-turis. Kami dipersilahkan membuat apa saja yang ada di dapur
Beliau: kopi, teh, atau ‘menyeduh bir’ dengan bebas. Saya dan Ryan hanya
senyam-senyum, antara sungkan dan benar-benar mengharapkan. Haha..
Ada beberapa hal yang dapat kami ambil
pelajaran saat itu, kami bertukar cerita dengan Pak Yogi. Pak Yogi bercerita,
bagaimana waktu mudanya benar-benar mengalami proses akan perjuangan: menolak
kemiskinan. Ia menjadi buruh angkut di pasar Keputran Surabaya, membawa
sebagian hasil pertanian yang ada di lahan Tengger kemudian dijual ke Surabaya.
Beliau melakukannya selama kurang lebih 18 tahun. Sampai pada akhirnya Beliau
memutuskan untuk berhenti dan kembali menjadi seorang petani, meneruskan lahan
yang digarap oleh orang tua Bapak Yogi.
Tidak diceritakan secara lugas
berapa lama Beliau menjalani perjuangan ‘menolak kemiskinan’ sebagai seorang
Petani. Sampai pada akhirnya arus wisatawan yang datang ke Bromo semakin membludak. Bisa jadi akibat Baliho, dan poster
yang memasang pemandangan Bromo dari segala view,
semakin sering terlihat di Kota-kota besar. Praktis membuat Bapak Yogi memutar ulang
resolusi karirnya. Saran dan beberapa pertimbangan yang Beliau terima dari
berbagi turis-turis yang datang untuk membuat sebuah homestay. Beliaupun akhirnya membangun homestay untuk peristirahatan turis-turis.
Setelah Bapak Yogi merasakan homestay-nya membuahkan hasil, lantas
Beliau tidak begitu saja meninggalkan pertanian yang sudah ia lakoni 30 tahun
itu. Menurut Beliau Pertanian harus tetap ada, sebagai lahan untuk rasa syukur
diri dan pembelajaran anak-anak muda di desanya. Karena menurut Beliau,
anak-anak muda di desanya sekarang tak mau mencangkul apalagi ngarit. Mereka lebih suka mencari turis
untuk mengisi penginapan yang kosong dan menemani turis jalan-jalan.
Saya tengok jam menunjukkan pukul
05:00 WIB, saatnya kami turun untuk olahraga pagi diantara kabut Bromo yang
lembut sebelum matahari mendahului kami. Sepertinya Bapak Yogi juga akan
melakukan aktifitasnya: kembali ke ladang, kemudian siang hari meninjau homestay. Kami pamit kepada Bapak Yogi,
untuk turun menuju lautan pasir dan ijin menitipkan sepeda motor di dekat dapur
Beliau.
***
Demikanlah kisah singkat kami
bercengkrama dengan salah satu putra Tengger di Bromo. Salah satu motivator
terbaik yang kami jumpai saat kami melakukan perjalanan ke Bromo. Kami juga
sepakat bahwa, setiap orang yang kami jumpai adalah seorang guru hidup yang
banyak mengajarkan cara berjuang, beradaptasi, dan bersyukur atas kehidupan.
Mungkin kali ini saya bertemu
Bapak Yogi di Tengger, mengajarkan pada kami bagaimana Beliau berjuang menolak
kemiskinan, bersahabat dengan alam dan menjaga budaya Tengger diantara gerusan
budaya pendatang yang semakin tak terbendung. Barupaya tetap arif, dan tetap
bersahabat dengan keadaan. Tanpa saling menyalahkan atau menghina satu sama
lain.
Sebelum kami pamit sore itu,
Bapak Yogi berpesan kepada kami untuk datang kembali ke Tengger pada upacara
Kasodo bulan Juli. Beliau berjanji akan menemani kami, jika nanti kami ingin
lebih dekat untuk mengetahui bagaimana prosesi upacara Kasodo berlangsung.
Beliau juga menyarankan, untuk datang tiga hari sebelum hari H supaya kami lebih
dekat dengan masyarakat Tengger. Menginap di salah satu tetua adat, untuk
berkomunikasi lebih dekat dengan masyarakat Tengger sehingga lebih mengenal sejarah
budaya Nusantara. Beliau juga menjamin jika nanti kami datang kembali, sajian
yang kami makan akan jauh lebih meriah.
Ya Seandainya, kami bisa datang kembali
ke Tengger..
PS: tulisan singkat ini untuk
mengingatkan kembali cerita tentang perjalanan singkat kami ke Bromo tiga bulan
yang lalu. Sekaligus sebagai pengantar upacara Kasodo yang diadakan pada
tanggal 23 Juli 2013. Terima kasih kepada Ryan Esa Nugraha untuk tumpangannya
menuju Yog’homestay dan berkesempatan mengenal sang owner, yang sungguh luar biasa awesome.
0 komentar:
Posting Komentar