Reading
2
Comments
Saya tidak begitu suka dengan
tulisan mengenai kematian. Sangat sukar jika Saya harus menuliskan tentang
prosesnya, “apa dan bagaimana?” Bukan karena kehabisan ide atau acuan untuk
menuliskannya, lebih dari itu. Ini tentang “kehilangan,” dan beberapa orang
menyebutkan dengan sebuah proses “kepulangan manusia.”
ngomel
selebihnya dusta
self discovery
Atas dari kiri ke kanan: Alm. Mas Latif, Saya. Bawah dari kiri ke kanan: Mbak Ima, dan Adik Rahim. (Surabaya, 28/7/07) |
Satu lagi dari kami yang pulang
dan diantara kami merasa kehilangan. Kesan tentang kematian yang Saya rasakan,
mungkin banyak yang memakluminya. Terutama karena kematian adalah wilayah yang
ditelusuri oleh pengetahuan teramat sedikit. Setiap upaya menerangkan
wilayah-wilayah kematian, hampir selalu diikuti oleh ketakutan-ketakutan dan
kesedihan yang mendalam. Seolah membicarakan kematian, berarti mengakhiri hidup
dan berjuang melawan kenangan. Dahulu, ada seorang teman pernah bertanya kepada
Saya, “Mas kenapa manusia diciptakan,
jika sekarang harus diambil?” Kemudian Ia menimpali pertanyaannya dengan
kalimat, “Sakne mas, keluarga sing
ditinggal.” Tuhan lebih mengerti, mengapa demikan kawan.
Eckart Tolle pernah menulis dalam
Stillness Speak: “When dead is denied,
life lose its depth.” Ketika kematian disangkal, kehidupan kehilangan
kedalamannya. Memang benar, Saya pun setuju dengan apa yang dikatakan Eckart
Tolle, namun tak semudah itu dalam prosesnya.
Kita ketahui di negara tercinta
ini, bagaimana prosesi kematian menjadi sebuah prosesi yang begitu agung dan
sakral. Ambilah contoh untuk sebuah prosesi pemakaman di tanah Toraja, kemudian
prosesi pemakaman di Bali yang sering kita dengar nama Ngaben. Mereka semua
yang melakukan dan mengimani prosesi pemakaman tersebut, bukan menyangkal akan
adannya kehilangan dan kematian. Namun lebih dari itu, mereka gegap gempita
untuk mengatarkan seseorang yang meninggal untuk segera kembali dan berjumpa
dengan Sang Pencipta kehidupan. Kemudian kehidupan baru, segera dimulai.
Di tanah Jawa, khususnya Jawa
Timur juga punya tradisi untuk prosesi pemakaman. Seperti Upacara Brobosan,
upacara yang dilakukan denga cara semua anggota keluarga duka, berjalan
mengitari bawah keranda jenazah yang diangkat. Mengitari sebanyak tiga kali
untuk menghormati jasad yang hendak dibawa ke liang lahat dan dikuburkan.
Kemudian Saya teringat kembali
akan saudara sepupu Saya yang beberapa bulan yang lalu telah berpulang lebih
dahulu dari kami. Meninggalkan satu orang anak yang begitu lucu, sedangkan sang
istri sedang mengandung putra sekitar enam bulan. Lebih dari itu, sepupu Saya
ini adalah salah satu orang yang sangat menginspirasi kami khususnya Saya. Ia yang
Saya kenal sebagai sosok bapak pekerja keras untuk keluarga. Seorang kawan yang
tak sanggup melihat kawannya susah dan sedih. Ia adalah sosok yang sangat
jenaka, jika kami berada di sebuah momen bersama dalam keluarga. Jika orang tua
kami takut nantinya kami anak muda generasi yang akan “mematikan obor” seduluran, Ia adalah orang yang pertama
kali akan membantah hal itu tak akan pernah terjadi. Bertindak nyata untuk
saling mengikat hubungan keluarga dengan komunikasi dan silaturahim.
Saya beruntung telah mengenalnya
sebagai seorang saudara. Ia sangat melindungi keluarga dan adik-adiknya.
Baginya uang adalah hal kesekian, keluarga adalah hal yang paling utama. “Berapa pun kau minta, aku akan upayakan,
asalkan keluargaku tak kekurangan.” Itulah kata-kataya yang selalu Saya
ingat sampai sekarang.
Dia adalah sebuah pribadi yang
menyenangkan, jenaka, sederhana, dan begitu kreatif. Saya masih ingat, saat Ia
membuat sebuah proyek untuk buku tahunannya. Mungkin Ia tak pernah Saya dapati
tidur. Entah energi darimana yang Ia dapat, sehingga bisa seperti itu.
Semangatnya sungguh luar biasa. Ia selalu bilang kepada Saya, “lakukan dahulu yang paling tak kau kuasai,
kemudian lakukan apa yang kau sukai.”
Saya menyesal saat Ia dijemput oleh
segerombolan malaikat pencabut nyawa, Saya tak ada disampingnya. Sial memang! Saya
merasa Ia sendirian saat itu. Menghadapi detik-detik yang begitu perih. Membayangkan
nafas yang semakin berat, mata yang mulai mengaburkan kefokusan, kesadaran yang
hanya menyisakan telinga yang selalu mencari suara dzikrullah terdekat yang mampu Ia dengar. Kemudian mencari tenaga
untuk mengucapkan kalimat keikhlasan untuk berpulang kepada pencipta.
“Maafkan Saya mas, ini memang kelewatan. Saat kau terbaring lemas di
rumah sakit, dengan nafas yang begitu berat. Saya malah berada di luar pulau.
Jika kau tahu, waktu itu Saya berusaha mencari jalan keluar untuk segera pulang
dan mendampingimu.”
Meski Ia dulu pernah berujar pada
Saya, “Jika kau yakin benar, jangan
pernah meminta maaf, sekalipun terhadap dirimu sendiri.” perlahan Saya
mengiyakan kalimat tersebut, untuk menutupi penyesalan dan kesedihan atas
kepulangannya yang begitu cepat. Mungkin Ia dulu pernah menasihati, “Agar hidup jangan terlalu baik. Sebab
terlalu banyak manusia yang hidupnya teramat baik kemudian mati muda.” Dan
kemudian Ia tertawa karena kami mengatakan, “Mari
menjadi orang jahat!”
Lebih dari itu semua, Ia juga
pernah menyelipkan kalimat dengan sedikit nada angkuh, “Aku tak akan pernah takut Mati!” Saya mengerti sekarang makna dari
kalimat tersebut, bukan karena Ia frustasi, bukan karena Ia dihimpit banyak
penyakit, bukan juga sombong kemudian menantang Tuhan. Saya mengerti, saat
manusia mengatakan hal tersebut, mereka memasuki wilayah kepasrahan dan sebuah
keikhlasan. Membukakan tangan bagi datangnya sang kematian, manusia mana pun
langsung memasuki wilayah-wilayah kebebasan.
Memang kematian sudah dialami
oleh banyak orang sebagai sebuah hantu yang menakutkan. Hantu yang tak sedikit
membuat kita bergerak dalam ruang-ruang ketakutan yang serba sempit.
“when you are detached from the outcome you are in process, and you are
allowing the outcome to take care of your self.” Ya, kita semua ikhlas
untuk kepulangannya. Setidaknya Ia tak usah memikirkan laptop rusak, dan deadline kerja foto yang seambrek itu. Sekarang Ia bisa santai di
sana. Oya, Saya lupa bilang, “Tolong
siapkan kamar bergaya art deco, dengan berbagai buku Travelling yang berisikan
foto-foto syur gadis pantai.” Haha
Saya hanya bercanda untuk membuang rindu. Sebentar lagi kami persiapkan untuk
mengenang 40 hari kepulangan itu. Semoga Ia senang dengan apa yang kami
lakukan. Sampai jumpa Masbro!
2 komentar
Salam kenal Mas. Tulisan Anda sangat bagus, sangat menyentuh, tanpa mengesampingkan alasan bahwa gaya penulisan Anda memang bagus dan mengalir, tetapi karena Beliau yang Anda maksud dalam tulisan ini adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Setiap apa yang Anda tulis tentangnya selalu mengingatkan saya akan segala kebaikannya, keramahannya, setia kawannya, kerja kerasnya, kreatifitasnya. Tidak pernah pelit ilmu, karena Beliau tahu bahwa tabungan ilmu adalah simpanan yang memiliki bunga paling tinggi dan itu hak semua orang. Beliau yang menginspirasi saya di dunia fotografi, mungkin tujuh tahun silam. Foto pertama saya di depan kamera DSLR kesayangannya, cahaya temaram di bawah lampu jalan di dekat kampus C Unair. Sy ingat betul momen itu, "Yak Lun kmu diam aja ya ngk usah bergerak sampai aq bilang boleh". Skg foto itu akan jadi kenangan buat saya akan kebaikannya. Sudah lama tidak kontak, ada rindu untuk bertanya kabar, namun alangkah terkejutnya saya, hari ini, saat saya buka halaman Facebook nya, justru ucapan belasungkawa yang saya dapatkan. Berbagai pertanyaan, kenapa, bagaimana, kapan, sepertinya tadi itu yang memenuhi kepala saya. Namun setelah saya membaca tulisan Anda, saya tersadar bahwa sekarang hanya Doa yang bisa saya berikan sebagai seorang sahabatnya. Selamat jalan sabahat, terima kasih atas segala ilmu dan kebaikan yang kau berikan selama ini. -=Culun=-
BalasHapusSalam kenal mas/mbak Tisna.
HapusMaafkan jika ada kesalahan dari mas Latif. Mungkin tulisan yang buruk dari saya di atas, sedikit menjadi "pengingat" untuk kita akan selalu belajar dan berkarya.