6 min Reading
Add Comment
Sebagai pecinta eco-adventure, tentu saya lebih menyukai
alam daripada perkotaan yang ingar-bingar. Maka jawaban saya tertuju pada
sebuah pulau bernama Gili Trawangan. Sudah tidak asing lagi di telinga kita
nama Gili Trawangan. Pulau yang menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan
mancanegara maupun wisatawan lokal untuk berlibur dan melepas segala penat rutinitas.
Namun saya baru mengetahuinya dari seorang rekan yang sekitar enam bulan lalu
berlibur kesana. Saya pun segera menyiapkan hari untuk mengunjungi Gili
Trawangan. Bermodal nekat. Perjalanan tanpa reservasi atau booking hotel, Just it flow Bro!
Tiga pulau kecil yang berada di lepas
pantai barat laut pulau Lombok yaitu Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan.
Menjadi salah satu spot terbaik bagi
pecinta aktifitas diving. Tidak salah
jika beberapa pelancong memilih tempat ini sebagai tujuan menyepi, merasakan
sebuah suasana tinggal di pulau terpencil sambil berenang dan menyelam. Fasilitas
menginap atau resort sungguh
menawarkan sensasi “bermanja” bagi para penghuninya. Desain penginapan seperti
gubuk-gubuk kecil beratapkan jerami kering yang tersusun rapi menghadap
langsung kearah pantai, kemudian di tambah kolam renang kecil berair tawar
berada di tengah-tengah cafe, memberikan nuansa bahwa pulau ini memang untuk
bermanja, berpesta dan bersenang-senang. Pulau yang bebas dari kendaraan
bermotor bisa kita nikmati sambil berjalan kaki, menggunakan sepeda kayuh, dan
jika tidak ingin repot ada transportasi kereta bermesin kuda, Cidomo namanya.
Dari tiga Gili, Gili Trawangan-lah
yang paling banyak penduduknya. Sekitar 1500 manusia berada disana, berpesta
dan menghabiskan waktu berlibur mereka. Sampai saat ini pun tidak diketahui
secara pasti jumlah penduduk asing yang berada disana. Karena hilir-mudik
wisatawan mancanegara begitu cepat mengunjungi Trawangan. Menyebabkan sulitnya
masyarakat lokal mendata secara pasti penduduk luar negeri yang berada di Gili
Trawangan. Bisa dibayangkan kita seperti bertamu di negeri sendiri. Bule
dimana-mana.
Kami merasakan langsung bagaimana
sensasi romantis di Gili Trawangan, saat kami disambut oleh cubitan pasir dan
belaian air di Pulau yang memiliki luas 6 kilometer persegi ini. Gili Trawangan sendiri mempunyai beberapa sejarah. Nama Trawangan yang berarti ‘Terowongan’, yang pada saat pendudukan Jepang dibangun untuk perang dunia ke-2. Dari
beberapa sumber secara singkat menyebutkan pada saat perang dunia ke-2, Jepang
mempergunakan pulau-pulau di Gili sebagai “a
lookout post and prisoner of war camp” sebagai lokasi pengintaian dan
lokasi tawanan perang. Beberapa peninggalan bersejarah ini juga dapat kita
temui saat kita menuju bukit yang berada di Gili Trawangan, bukit ini juga
menjadi spot paling asyik saat
menikmati senja dan menikmati hamparan pantai dengan formasi karang yang masuk
7 daftar penyelam dunia. Di Gili Trawangan juga terdapat bekas kapal yang karam
di perairan Gili, terdapat di kedalam lebih dari 45 meter di bawah permukaan
laut. Lokasi karamnya kapal ini menjadi spot
paling favorit para penyelam. Konon kabarnya menjadi salah satu lokasi terbaik untuk melihat formasi
karang yang hanya bisa ditemui di Indonesia.
Kemudian sebuah perkampungan yang
asri kami temui di Gili Trawangan, sebagian besar jalan di perkampungan masih
bertekstur kerikil dan tanah yang keras. Menurut informasi dari beberapa
masyarakat Gili Trawangan, rumah-rumah yang mereka tinggali berawal pada tahun
1970-an. Bangunan-bangunan permanen sebagai tempat tinggal mulai dibangun di
Gili Trawangan sekitar tahun tersebut. Sebelum tahun tersebut Pulau Gili masih
menjadi habitat satwa liar dan hutan bakau yang lebat.
Kemudian nelayan Bugis menemukan, singgah dan mempergunakan pulau-pulau di Gili sebagai pulau pemberhentian untuk melanjutkan perjalanan mereka berkeliling Nusantara. Pada tahun 1971, Gubernur Lombok pada saat itu, mulai menggalakkan perkebunan kelapa dan mempersilahkan hak untuk pengelolaan tanah bagi perusahaan swasta (began to establish coconut plantations and gave land rights to privatecompanies) di Gili. Sebagai tenaga kerja atas program pembangunan proyek
kelapa tersebut, didatangkanlah 350 narapidana dari penjara Mataram. Sebagian
dari mereka ada yang menetap sampai sekarang di Gili Trawangan.
Sedangkan para Backpacker datang menemukan Gili
Trawangan dan beberapa Gili yang lain, mulai pada tahun 1980-an. Ini adalah
dampak dari memekarnya daerah wisata di Bali. Pengembangan tujuan alternatif
pengganti wisata Bali yang semakin sesak mencoba menjadikan Lombok sebagai destinasi
empuk. Gayung bersambut, fenomena ini tak disia-siakan oleh investor luar.
Mereka merespon dengan cepat dengan mengambil beberapa tempat dan membangun beberapa homestay, cafe, dan restoran untuk para pelancong. Fenomena ini mulai berlangsung akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Akibatnya terjadi penggusuran rumah dan beberapa tempat usaha
lokal. Beberapa usaha-usaha lokal berganti dengan usaha modern yang dimiliki
oleh investor luar. Oh, sungguh fenomena yang luar biasa pelik.
Jika kita datang ke Gili
Trawangan, memang tak secara pasti kita menemui polisi atau secara jelas
berjumpa dengan penjaga keamanan. Karena masyarakat desa yang arif sangat
kompak menjaga desa mereka. Tatanan desa yang menurut kami menjadi sebuah
pertemuan budaya yang luar biasa Bhineka-nya. Saat kita ke pantai, kita dapat
leluasa melihat bagaimana aktifitas pelancong dengan berbagai style menikmati keindahan pantai dan
berenang. Tetapi saat beberapa meter kita menuju kearah perkampungan Gili
Trawangan, berdiri sebuah masjid yang megah dengan gaya masjid di Jawa pada
umumnya. Oh indahnya perbedaan.
Menginjak malam kita juga dapat
menyaksikan geliat perekonomian penjual aneka hiasan dan cinderamata. Bar,
Cafe, dan sebuah pasar malam yang penuh gairah kulinerian yang sayang jika
dilewatkan sensasinya. Gili Trawangan juga terkenal oleh beberapa pelancong sebagai lokasi bebas untuk mendapatkan ‘obat anti galau’. Konon kabarnya ada pelancong yang mati akibat overdosis saat mengkonsumsi aneka ‘obat anti galau’ ini. Meskipun dapat kita jumpai beberapa tawaran yang dilontarkan secara bebas
dari beberapa pemuda lokal, namun kita harus berhati-hati. Bukankah kita datang
ke pulau ini untuk bersenang-senang dengan badan dan pikiran yang sehat,
sehingga keindahan alam nusantara dapat benar-benar kita nikmati dan syukuri.
Keesokan harinya sayang jika tak berlari menuju
pantai, berenang dan menyelam. Menurut informasi yang kami dapat selama tahun
1990-an, industri menyelam sudah mulai digalakkan di Gili Trawangan. Tumbuh
cepat dan berkembang menjadi kelas menyelam dunia yang sekarang mampu menampung
skala yang lebih luas. Saat sebuah lokasi digali, mereka yang arif tahu
bagaimana cara menjaga dan menyulamnya. Pada tahun 2000, sebuah organisasi non-profit yang bernama Gili Eco Trust
didirikan untuk melindungi terumbu karang yang mengitari pulau-pulau sekitar
dan memberi beberapa pendidikan lingkungan. Organisasi ini didukung penuh oleh
satgas (satuan petugas) masyarakat setempat dan beberapa toko-toko menyelam
yang berada di Gili Trawangan. Many
projects have since been organised to protect and restore coral reefs, improve
waste management, struggle against erosion, treat animals, raise awareness and
educate.
Post-Scriptum: Tulisan yang singkat dan memiliki penutup yang menggantung ini, saya persembahkan kepada Mama dan Adik saya di rumah yang selalu merindukan saya saat berpergian. Serta untuk selalu mengingat kakak sepupu saya Alm. Taufik Hasyim Latif yang memliki umur yang cukup singkat. Seorang tua pernah bertutur, jangan menjadi manusia yang terlalu baik, karena manusia baik akan mati muda.
Post-Scriptum: Tulisan yang singkat dan memiliki penutup yang menggantung ini, saya persembahkan kepada Mama dan Adik saya di rumah yang selalu merindukan saya saat berpergian. Serta untuk selalu mengingat kakak sepupu saya Alm. Taufik Hasyim Latif yang memliki umur yang cukup singkat. Seorang tua pernah bertutur, jangan menjadi manusia yang terlalu baik, karena manusia baik akan mati muda.
0 komentar:
Posting Komentar