Kamera, Ponsel, dan Internet. Aku Bukan Nomofobia!

Oh, Milenium. Ada sebuah peristiwa lucu yang pernah saya alami, saat saya hendak pergi mengunjungi pesta kembang api di Taman Kota. Janji yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari dengan seorang rekan terpaksa batal. Karena rekan saya memutuskan secara sepihak, dengan alasan tak punya kamera atau gadget untuk acara pesta kembang api tersebut. Ia bilang, “Lebih baik tak datang, jika tak punya kamera.”
Foto: Ryan Essa A.
Pada kesempatan lain saya juga mendapati hal serupa saat saya menghadiri pemutaran film indie di Surabaya. Dapat dipastikan saya menjumpai kawan-kawan yang gagal berangkat ke acara tersebut, dengan alasan tak mempunyai gadget untuk pendokumentasian acara. Halo, kalian bukan jurnalis atau wartawan yang setiap waktu mampu kalian rekam dan ceritakan.

Tak cukup disitu saja, fenomena mengenai kebutuhan gadget dan media perekam lainnya menjadi seru untuk dicermati bersama. Saat saya melakukan pendakian di Argopuro, beberapa kawan merasa murung gegara ia kehilangan beberapa momen untuk difoto. Padahal ia sudah membawa kamera dslr dengan lensa yang mempunyai seri yang termasuk komplit, mulai wide sampai fisheye. Sedangkan saya yang hanya membawa kamera pocket dengan baterai A3, woles saja jeprat sana jepret sini. Saya Cuma mbatin, mending kamera dslr yang kawan saya bawa itu dihibahkan saja kepada saya, kemudian kamera pocket saya untuknya. Haha, mungkin ini cukup adil.

Duaribu-tigabelas, tahun keemasan yang digadang-gadang oleh sebagian orang untuk upaya aktualisasi dan eksistensi. Arus media begitu cepat tersebar, mulai berkirim foto sampai mendapatkan berita sadapan pemerintahan. Semua orang bisa tahu, seperti waktu adalah makhluk yang seolah-olah hidup, bergerak, dan tumbuh. Kita lihat saja di negeri tercinta ini, setali tiga uang dengan kebutuhan gadget, internet memiliki porsi yang vital dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa survey menyebutkan pengakses internet di Indonesia, menghabiskan waktu rata-rata selama 3 jam dalam pemakaian internet per hari. untuk urutan pengguna media sosial seperti Twitter menduduki peringkat ke 5 terbanyak di dunia. Sedangkan menjadi urutan ke 8 dalam jumlah pengakses internet terbanyak di dunia. Bukankah ini sebuah prestasi kawan.

Hal ini belum lengkap jika kita tak berbicara nomofobia, yaitu ketakutan yang luar biasa jika hidup tanpa telepon seluler atau ponsel. Salah satu jenis fobia baru yang makin lama kian banyak pengidapnya. Menurut pelbagai sumber menyebutkan sekitar 70% perempuan merasa khawatir jika  tidak membawa ponsel. Jumlahnya 10% lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan kaum laki-laki 47% memiliki ponsel lebih dari satu. Sementara kaum perempuan yang memiliki lebih dari satu ponsel hanya 36%. Mungkin ini persentase awal untuk memulainya, mari kita lanjutkan beberapa fenomena yang terjadi pada nomofobia.

Kaum muda yang memiliki kisaran umur antara 18-24 tahun, 77% mengalami nomofobia yang berarti tidak dapat berpisah lebih dari satu menit dari ponselnya. Jika kita melakukan pendekatan perilaku untuk berapa kali seseorang rata-rata mengecek ponselnya, dalam angka akan menunjukkan kisaran sebesar 34 kali dalam sehari. Fenomena ini dapat dipastikan oleh beberapa ahli perilaku kemanusiaan akan mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Dapat dipastikan akan muncul jama’ah nomofobia-iyah (pengikut nomofobia) baru, entah saya, anda, atau mereka. Asal kita tahu, 11% orang Amerika lebih memilih keluar rumah dengan rela tak  mengenakan celana daripada tak membawa ponsel. Dunia memang selalu berubah kawan, apa dan siapa berikutnya?

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini