3 min Reading
Add Comment
Oh, Milenium. Ada sebuah
peristiwa lucu yang pernah saya alami, saat saya hendak pergi mengunjungi pesta
kembang api di Taman Kota. Janji yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari
dengan seorang rekan terpaksa batal. Karena rekan saya memutuskan secara
sepihak, dengan alasan tak punya kamera atau gadget untuk acara pesta kembang
api tersebut. Ia bilang, “Lebih baik tak
datang, jika tak punya kamera.”
Pada kesempatan lain saya juga
mendapati hal serupa saat saya menghadiri pemutaran film indie di Surabaya. Dapat dipastikan saya menjumpai kawan-kawan yang
gagal berangkat ke acara tersebut, dengan alasan tak mempunyai gadget untuk pendokumentasian acara.
Halo, kalian bukan jurnalis atau wartawan yang setiap waktu mampu kalian rekam
dan ceritakan.
bekal penting
opini
pejalan
![]() |
Foto: Ryan Essa A. |
Tak cukup disitu saja, fenomena
mengenai kebutuhan gadget dan media
perekam lainnya menjadi seru untuk dicermati bersama. Saat saya melakukan
pendakian di Argopuro, beberapa kawan merasa murung gegara ia kehilangan beberapa
momen untuk difoto. Padahal ia sudah membawa kamera dslr dengan lensa yang
mempunyai seri yang termasuk komplit, mulai wide
sampai fisheye. Sedangkan saya yang
hanya membawa kamera pocket dengan baterai A3, woles saja jeprat sana jepret sini. Saya Cuma mbatin, mending kamera dslr yang kawan saya bawa itu dihibahkan
saja kepada saya, kemudian kamera pocket saya untuknya. Haha, mungkin ini cukup adil.
Duaribu-tigabelas, tahun keemasan
yang digadang-gadang oleh sebagian orang untuk upaya aktualisasi dan eksistensi.
Arus media begitu cepat tersebar, mulai berkirim foto sampai mendapatkan berita
sadapan pemerintahan. Semua orang bisa tahu, seperti waktu adalah makhluk yang
seolah-olah hidup, bergerak, dan tumbuh. Kita lihat saja di negeri tercinta ini,
setali tiga uang dengan kebutuhan gadget,
internet memiliki porsi yang vital dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa survey
menyebutkan pengakses internet di Indonesia, menghabiskan waktu rata-rata
selama 3 jam dalam pemakaian internet per hari. untuk urutan pengguna media
sosial seperti Twitter menduduki peringkat ke 5 terbanyak di dunia. Sedangkan
menjadi urutan ke 8 dalam jumlah pengakses internet terbanyak di dunia.
Bukankah ini sebuah prestasi kawan.
Hal ini belum lengkap jika kita tak
berbicara nomofobia, yaitu ketakutan
yang luar biasa jika hidup tanpa telepon seluler atau ponsel. Salah satu jenis
fobia baru yang makin lama kian banyak pengidapnya. Menurut pelbagai sumber
menyebutkan sekitar 70% perempuan merasa khawatir jika tidak membawa ponsel. Jumlahnya 10% lebih
tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan kaum laki-laki 47%
memiliki ponsel lebih dari satu. Sementara kaum perempuan yang memiliki lebih
dari satu ponsel hanya 36%. Mungkin ini persentase awal untuk memulainya, mari
kita lanjutkan beberapa fenomena yang terjadi pada nomofobia.
Kaum muda yang memiliki kisaran
umur antara 18-24 tahun, 77% mengalami nomofobia
yang berarti tidak dapat berpisah lebih dari satu menit dari ponselnya. Jika
kita melakukan pendekatan perilaku untuk berapa kali seseorang rata-rata
mengecek ponselnya, dalam angka akan menunjukkan kisaran sebesar 34 kali dalam
sehari. Fenomena ini dapat dipastikan oleh beberapa ahli perilaku kemanusiaan
akan mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Dapat dipastikan akan muncul jama’ah
nomofobia-iyah (pengikut nomofobia)
baru, entah saya, anda, atau mereka. Asal kita tahu, 11% orang Amerika lebih
memilih keluar rumah dengan rela tak
mengenakan celana daripada tak membawa ponsel. Dunia memang selalu
berubah kawan, apa dan siapa berikutnya?
0 komentar:
Posting Komentar